Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 005
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib)Dalam berdakwah menghadapi kaumnya, Nabi Ibrahim q banyak melakukan dialog yang penuh dengan hikmah dan hujjah, yang bila hati seseorang masih bersih niscaya akan menerima dakwah beliau. Namun mereka tetap pada kekafirannya, termasuk ayah Nabi Ibrahim q sendiri.
Allah l telah menyebutkan dalam Al-Qur’an berbagai berita dan sejarah Nabi Ibrahim q. Dalam kisah itu terdapat teladan bagi kita terhadap para nabi secara umum, khususnya Nabi Ibrahim q.
Karena sesungguhnya Allah l telah memerintahkan Nabi kita dan kita semua untuk mengikuti millah (agama) Ibrahim. Yang dimaksud adalah akidah atau keyakinan, akhlak dan amalan beliau.
Allah l telah menganugerahkan hidayah kepada Nabi Ibrahim q dan mengajarkannya hikmah sejak masih kecil. Allah l perlihatkan kepada beliau kekuasaan Allah l di langit dan bumi. Karena inilah beliau menjadi manusia yang paling kuat keyakinan dan ilmunya dalam agama serta paling besar kasih sayangnya kepada sesama hamba Allah l.
Allah l utus Nabi Ibrahim q ke tengah-tengah kaum musyrikin yang menyembah matahari, bulan, dan bintang. Mereka adalah ahli-ahli filsafat Shabi’ah yang merupakan golongan yang paling keji dan paling besar bahayanya terhadap hamba Allah l. Nabi Ibrahim q telah berusaha mengajak mereka dengan berbagai cara.
Mula-mula beliau mengajak mereka dengan cara yang semestinya tidak mungkin seorang yang berakal akan lari dari dakwah beliau. Maka tatkala mereka seperti biasa menyembah tujuh bintang yang beredar yang termasuk di antaranya adalah matahari dan bulan, bahkan mereka membangun berbagai kuil untuk beribadah kepada benda-benda angkasa ini. Beliau mengajak mereka berpikir dan merenungkan perbuatan mereka, ”Kemarilah, wahai kaumku. Kita lihat apakah benda-benda angkasa ini memang pantas mempunyai sifat-sifat ilahiyyah (sebagai sesembahan) dan sifat-sifat rububiyyah (sebagai pengatur atau pencipta dan penguasa):
“Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang, (lalu) dia berkata, ‘Inilah Rabbku’.” (al-An’am: 76)
Keadaan dalam sebuah diskusi atau dialog ilmiah berbeda dengan keadaan lain yang biasa. Artinya, bahwasanya seorang yang berbicara pada sebuah diskusi kadang mengatakan sesuatu yang bukan merupakan keyakinannya, tapi hanya bermaksud membangun suatu argumentasi bagi pernyataan yang akan dilontarkannya untuk membantah pendapat lawan diskusinya. Sebagaimana yang beliau lakukan setelah menghancurkan patung-patung yang disembah oleh kaumnya, mereka bekata kepadanya:
“Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap sesembahan kami, wahai Ibrahim?” (al-Anbiya: 62)
Maka beliau menunjuk kepada berhala yang tidak dihancurkan, dan berkata,
“Sebenarnya patung yang besar inilah yang melakukannya.” (al-Anbiya: 63)
Tentunya sangat jelas kita ketahui bahwa beliau hanya bermaksud menggiring mereka untuk menerima hujjah (argumentasi) beliau, dan berhasil.
Maka di sini, dengan mudah kita pahami maksud ucapan beliau dalam ayat tadi:
“Inilah Rabbku.” (al-An’am: 76)
Yakni, kalau dia memang berhak menyandang sifat-sifat ilahiyyah sesudah memerhatikan keadaan dan sifat-sifat benda tersebut, maka dialah Rabbku. Padahal tentu saja beliau sudah meyakini secara pasti bahwa sesungguhnya benda-benda itu sama sekali tidak berhak menyandang sifat rububiyyah dan ilahiyyah sedikit pun. Akan tetapi di sini beliau hanya ingin menggiring mereka untuk menerima hujjah beliau.
Firman Allah l:
“Tetapi tatkala bintang itu tenggelam.” (al-An’am: 76)
Yakni, hilang dari pandangan.
“Beliau berkata, ‘Saya tidak suka kepada yang tenggelam’.” (al-An’am: 76)
Karena sesungguhnya, sesuatu yang keadaannya kadang-kadang ada dan kadang tiada atau ghaib, jelas diketahui oleh mereka yang mempunyai akal bahwa sesuatu itu tidak sempurna, sehingga tidak pantas menjadi sesembahan (ilah). Kemudian perhatiannya beralih ke bulan. Ketika beliau melihat bulan itu muncul:
“Inilah Rabbku. Tetapi tatkala bulan itu pun terbenam dia berkata, ‘Sesungguhnya jika Rabbku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat’.” (al-An’am: 77)
Nabi Ibrahim q memperlihatkan kepada kaumnya dengan menggambarkan keadaan dirinya seakan-akan menyetujui keyakinan mereka, namun bukan berdasarkan taklid (mengikuti sesuatu tanpa dasar ilmiah). Bahkan beliau di sini bermaksud menunjukkan bukti nyata tentang (apakah pantas) bintang dan bulan ini menyandang sifat ilahiyyah. Nah, sekarang bulan itu telah tenggelam pula, maka jelaslah dengan dalil-dalil (bukti) secara ‘aqli (rasio) dan sam’i (dari firman Allah l) tentang batilnya sifat ilahiyyah dua benda angkasa tersebut. Seakan-akan beliau ingin mengatakan,”Bahwa sampai saat ini belum mantap keyakinan saya tentang Rabb dan Ilah Yang Mahabesar.”
“Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit…” (al-An’am: 78)
Yakni, ketika melihat munculnya matahari, Nabi Ibrahim q berkata, “Ini lebih besar dari bulan dan bintang. Maka kalau berlaku padanya seperti halnya kedua benda angkasa sebelumnya, berarti dia sama saja dengan keduanya.”
“Maka tatkala matahari itu pun terbenam…” (al-An’am: 78)
Telah jelas bagi semuanya tentang hal sebelumnya bahwasanya beribadah kepada sesuatu yang terbenam (mudah lenyap) adalah kebatilan yang paling batil. Maka saat itulah beliau menggiring mereka untuk menerima argumentasi (hujjah) dan menerangkannya kepada mereka:
“Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku hanya menghadapkan diriku…” (al-An’am: 78—79)
Yakni, lahir dan batinku.
“Kepada Rabb yang telah menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang lurus dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang musyrik.” (al-An’am: 79)
Demikianlah bukti logis yang sangat jelas bahwa hanya Dzat Yang Menciptakan seluruh alam inilah—baik alam yang di atas maupun yang di bawah—yang patut untuk dituju dengan segenap ketauhidan dan keikhlasan (dalam beribadah). Juga bahwasanya seluruh benda angkasa dan bintang-bintang atau yang lainnya, semua adalah makhluk yang berada di bawah aturan dan kendali Allah l. Tidak sedikit pun mereka memiliki sifat-sifat yang mengharuskan mereka berhak menerima peribadatan. Akhirnya, mereka pun mencoba menakut-nakuti Nabi Ibrahim q bahwa sesembahan mereka pasti akan menimpakan penyakit gila kepadanya.
Ini merupakan bukti bahwa yang ada pada orang-orang musyrik itu hanyalah khayalan yang rusak, pemikiran yang rendah, di mana mereka berkeyakinan bahwa sesembahan mereka itu akan memberi manfaat bagi orang-orang yang menyerahkan ibadah kepadanya, serta menimpakan kemudaratan bagi mereka yang tidak mau menyerahkan ibadahnya kepada sesembahan tersebut, ataupun mencelanya. Lalu Nabi Ibrahim q menjelaskan kepada mereka bahwa dia tidak takut sedikit pun dengan ancaman itu, bahkan merekalah yang seharusnya takut. Beliau mengatakan seperti yang diceritakan oleh Allah l dalam firman-Nya:
”Dan bagaimana mungkin aku takut kepada sesembahan yang kalian persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak pernah menurunkan hujjah (keterangan) kepada kalian untuk mempersekutukan-Nya. Maka manakah di antara dua golongan ini yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka), jika kalian mengetahui?” (al-An’am: 81)
Allah l menjawab pertanyaan ini dengan jawaban yang umum sifatnya meliputi kisah ini dan keadaan yang serupa sepanjang masa. Firman Allah l:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-An’am: 82)
Allah l mengangkat derajat khalil-Nya Ibrahim dengan ilmu dan hujjah. Sementara orang-orang musyrik tidak mampu sama sekali mempertahankan dan membela kebatilan atau kesesatan mereka. Namun mereka tetap bersikeras untuk terus menjalankan keyakinan yang mereka anut. Tidak ada gunanya teguran, peringatan, dan hujjah buat mereka. Beliau pun tetap berusaha mengajak mereka untuk kembali kepada Allah l dan melarang mereka dari mengikuti apa yang diibadahi oleh bapak-bapak mereka dengan larangan yang umum dan khusus kepada orang tertentu.
Yang lebih khusus lagi adalah ajakan beliau kepada ayahnya, Azar. Beliau menyampaikan dakwah kepada ayahnya dengan berbagai cara yang mungkin bermanfaat. Akan tetapi,
“Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka ketetapan Rabbmu, tidaklah akan beriman. Meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, sampai mereka menyaksikan azab yang pedih.” (Yunus: 96—97)
Di antara perkataan beliau kepada ayahnya adalah seperti dalam firman Allah l:
“Ingatlah ketika ia berkata kepada ayahnya, ‘Wahai ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun? Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu yang tidak datang kepadamu…” (Maryam: 42—43)
Pembaca, coba perhatikan begitu indahnya pembicaraan ini, begitu menyentuh kalbu. Beliau tidak mengatakan kepada ayahnya, “Engkau jahil (bodoh)”, agar dengan kata-kata yang kasar ini justru menyebabkannya lari, bahkan beliau mengatakan, dalam ayat itu juga:
“Maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahku, janganlah engkau menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Allah Yang Maha Pemurah. Wahai ayahku, sesungguhnya aku khawatir bahwa engkau akan ditimpa azab dari Allah Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.” (Maryam: 43—45)
Beliau beralih dari satu cara ke cara yang lain dalam berdakwah, barangkali itu akan lebih manjur atau memberikan manfaat. Akan tetapi, meskipun sudah demikian, ayahnya tetap mengatakan (sebagaimana firman Allah l):
Dia berkata, “Bencikah kamu kepada sesembahanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan kurajam dan tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama.” (Maryam: 46)
Demikian yang diceritakan Allah l tentang apa yang dikatakan oleh ayah Nabi Ibrahim q kepadanya. Nabi Ibrahim qtidak marah apalagi membalas ucapan tersebut. Bahkan sebaliknya, beliau membalas perbuatan itu dengan:
“Nabi Ibrahim berkata, ‘Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu’.” (Maryam: 47)
Yakni, saya tidak akan berbicara denganmu kecuali dengan kalimat-kalimat yang baik, tidak dengan kekasaran dan kekerasan, serta aku tidak berputus asa agar engkau suatu saat mendapat hidayah. Firman Allah l mengisahkan perkataan Ibrahim q kepada ayahnya:
“Aku akan memintakan ampunan bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (Maryam: 47)
Yakni, bahwa Allah l sangat baik dan menyayangiku. Kelembutan-Nya menggiringku untuk selalu membiasakan hal-hal yang menarik, dan Dia senantiasa mengabulkan doaku. Nabi Ibrahim juga selalu berdakwah dan berdebat dengan kaumnya. Beliau senantiasa mematahkan hujjah mereka sehingga mereka terdiam.
Nabi Ibrahim q berupaya menghadapi mereka dengan keterangan yang paling besar serta menghadapi kekejaman, kesewenangan, kekuasaan, dan kekuatan mereka itu, tanpa rasa takut dan gentar. Ketika mereka keluar pada hari raya mereka, beliau pun keluar bersama mereka, kemudian memandang ke arah bintang-bintang dan berkata, ”Saya sakit.”
Beliau katakan demikian karena khawatir kalau dengan alasan yang lain tidak dapat meninggalkan acara tersebut dan tidak pula berhasil tujuannya. Karena beliau betul-betul menampakkan rasa permusuhan dan larangannya yang keras dalam menghadapi orang-orang musyrik itu. Ketika mereka sampai di tengah lapangan beliau segera pulang dan menuju ke rumah berhala-berhala mereka dan membuatnya hancur terpotong-potong kecuali patung yang paling besar, dengan tujuan untuk membawa mereka menerima hujjah beliau. Setelah mereka pulang dari acara hari raya itu, mereka segera menuju ke tempat pemujaan dengan penuh rasa cinta. Ternyata mereka melihat pemandangan yang menakutkan:
“Mereka berkata, ‘Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap sesembahan kita, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim.’ Mereka berkata, ‘Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini’…” (al-Anbiya: 59—60)
Yakni, menyebut berhala-berhala itu dengan sifat-sifat yang rendah dan buruk. Selanjutnya:
“…yang bernama Ibrahim.” (al-Anbiya: 60)
Setelah mereka membuktikan bahwa dialah yang melakukannya:
“Mereka berkata, ‘(Kalau demikian), bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan’.” (al-Anbiya: 61)
Yakni, agar dihadiri orang banyak dan mereka akan mencaci-maki serta menyiksa beliau. Inilah yang memang diharapkan oleh Nabi Ibrahim q yang ingin menampakkan kebenaran di hadapan khalayak ramai.
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 006
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Idral Harits)Karena menghancurkan seluruh berhala milik kaumnya—hanya menyisakan patung yang paling besar—Nabi Ibrahim q pun ditangkap dan dibawa ke tengah lapangan. Namun sesungguhnya inilah yang diharapkan beliau agar dirinya bisa menegakkan hujjah (keterangan) di depan orang banyak.
Setelah kaumnya berkumpul, Nabi Ibrahim q dibawa ke hadapan mereka:
“Mereka bertanya, ‘Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap sesembahan kami, wahai Ibrahim?’ Ibrahim menjawab, ‘Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya….’.” (al-Anbiya: 62—63)
Nabi Ibrahim q berkata demikian sambil memberi isyarat ke arah patung yang masih utuh. Kaum Nabi Ibrahim q berada dalam dua posisi: mau mengakui kebenaran karena tidak mungkin (tidak masuk akal) bila sebuah benda padat yang dibuat oleh tangan mereka sendiri mampu melakukan penghancuran terhadap patung-patung lain, atau mengatakan bahwa patung itulah yang menghancurkan patung-patung lain dan Nabi Ibrahim q bebas dari tuduhan. Padahal sudah sama diketahui bahwa mereka tidak akan mungkin menjawab dengan jawaban kedua. Nabi Ibrahim q mengatakan sebagaimana dalam firman Allah l:
“Maka tanyakanlah kepada berhala itu, kalau mereka memang dapat berbicara.” (al-Anbiya: 63)
(Ayat) ini menghubungkan suatu masalah dengan sesuatu yang mereka ketahui bahwa itu adalah mustahil. Pada waktu itu tampak jelas kebenaran, mereka pun mengakuinya dan kembali kepada kesadaran, lalu berkata sebagaimana diceritakan oleh Allah l:
“Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menzalimi (diri sendiri). Kemudian kepala mereka jadi tertunduk..” (al-Anbiya: 64—65)
Yakni, mereka mengakui kebatilan sifat Ilahiyyah pada berhala tersebut dalam waktu yang begitu singkat. Tampak hujjah Nabi Ibrahim q saat itu juga, sehingga tidak mungkin lagi bagi mereka untuk sombong menolak kebenaran tersebut.
Akan tetapi alangkah cepat kembalinya keyakinan sesat mereka yang telah begitu kokoh tertanam dalam hati sehingga menjadi sifat yang lazim (sehingga begitu sulit diubah). Kalaupun ada yang menafikan keyakinan (sesat) tersebut, dia hanya datang sekejap untuk kemudian hilang lenyap. Firman Allah l:
“Kemudian kepala mereka jadi tertunduk, (lalu berkata), ‘Sesungguhnya kamu (wahai Ibrahim), telah mengetahui bahwa berhala-berhala ini tidak dapat berbicara’.” (al-Anbiya: 65)
Nabi Ibrahim q pun mencela mereka sesudah hujjah (keterangan) yang demikian jelasnya telah membungkam seorang pembantah di hadapan khalayak ramai. Beliau berkata kepada mereka sebagaimana diceritakan Allah l:
“Mengapakah kalian beribadah kepada selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak pula memberi mudarat kepada kalian? Cis (celakalah) kalian dan apa yang kalian ibadahi selain Allah. Maka apakah kamu tidak berakal?” (al-Anbiya: 66—67)
Kalau mereka betul-betul mempunyai akal pikiran yang sehat, niscaya mereka tidak akan menyerahkan peribadatan kepada sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat dan mudarat, bahkan tidak dapat membela diri sendiri dari perbuatan orang yang ingin menimpakan kejelekan atasnya. Ketika mereka merasa tidak mampu untuk menandingi hujjah ataupun bukti ilmiah yang dikemukakan Nabi Ibrahim q, maka mereka menggunakan kekuasaan, kekerasan, dan kesewenang-wenangan untuk menghukum beliau. Mereka berkata,
“Bakarlah dia dan bantulah sesembahan kalian, jika kalian benar-benar hendak bertindak.” (al-Anbiya: 68)
Mereka pun segera menyalakan api yang demikian besar gejolaknya lalu melemparkan Nabi Ibrahim q ke dalamnya. Ketika sudah berada dalam keadaan demikian, beliau hanya berucap:
“Cukuplah Allah bagiku dan Dia adalah sebaik-baik Pelindung.”
Maka Allah l berkata kepada api,
“Wahai api, jadilah dingin dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.” (al-Anbiya: 69)
Api itu pun tidak mampu memberi mudarat sedikit pun kepada Nabi Ibrahim q. Kaum Ibrahim q hendak berbuat makar terhadap Nabi-Nya dalam rangka membela sesembahan mereka dan menumbuhkan ketundukan serta penghormatan besar kepada sesembahan tersebut dalam hati dan para pengikut mereka. Namun makar itu justru menjadi kebinasaan bagi mereka. Pembelaan mereka ini betul-betul pembelaan yang besar menurut siapa pun yang menyaksikan peristiwa itu ataupun yang tidak menyaksikan.
Nabi Ibrahim q mendapat pertolongan dan kemenangan dari semua yang mengetahui hal itu. Sampai raja mereka pun mendebat Nabi Ibrahim q tentang Rabbnya dengan kedengkian dan sikap melampaui batas karena Allah l telah memberikan kepadanya pemerintahan. Nabi Ibrahim q mengatakan,
“Rabbku adalah yang telah menghidupkan dan mematikan.” Raja itu berkata, “Saya dapat menghidupkan dan mematikan.” (al-Baqarah: 258)
Kemudian Nabi Ibrahim q menggiring dia untuk menggugurkan dalilnya sendiri dengan tasharruf (perbuatan Allah l) yang mutlak. Beliau berkata,
“Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat.” Lalu heran terdiamlah orang kafir itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (al-Baqarah: 258)
Nabi Ibrahim q Pergi ke Syam
Nabi Ibrahim q akhirnya keluar bersama istri dan anak saudaranya, yaitu Nabi Luth q, meninggalkan kaumnya menuju daerah Syam. Setelah di Syam, suatu kali Nabi Ibrahim mengajak istrinya, Sarah, pergi ke Mesir. Sarah adalah wanita tercantik di masa itu. Maka ketika dia terlihat oleh raja Mesir yang kejam dan bengis, segera raja itu tak dapat menguasai diri dan menginginkan Sarah untuk menjadi miliknya.
Sarah memohon kepada Allah l agar menimpakan malapetaka kepada raja itu, sehingga raja itu hampir mati karenanya. Kemudian Raja itu menjauhi Sarah, namun berusaha mengganggu lagi untuk kedua kalinya. Akhirnya setiap kali raja itu berusaha mendekat, Sarah berdoa seperti semula yang mengakibatkan raja itu tersungkur. Kemudian Sarah berdoa agar raja itu kembali seperti semula. Barulah raja tersebut membebaskannya, bahkan memberi hadiah seorang pelayan Qibthi (Mesir) bernama Hajar.
Sejak muda Sarah adalah wanita mandul. Maka dia menghadiahkan pelayan itu kepada Nabi Ibrahim untuk menjadi istri keduanya, dengan berharap Allah l memberi beliau rezeki seorang anak dari pelayan tersebut. Akhirnya Hajar melahirkan Isma’il di saat usia Nabi Ibrahim sudah demikian lanjut.
Nabi Ibrahim begitu bahagia mendapatkan Isma’il. Namun sebaliknya, Sarah, semoga Allah l meridhainya, dihinggapi cemburu yang hebat. Dia bersumpah meminta Nabi Ibrahim q untuk tidak membiarkan Hajar tinggal bersamanya. Demikianlah yang memang diinginkan oleh Allah l. Semua ini merupakan salah satu sebab berangkatnya Nabi Ibrahim q bersama Hajar ke tempat di mana terletak Baitul Haram (Ka’bah). Seandainya tidak, maka hal itu juga sesungguhnya telah ada dalam diri beliau q.
Maka berangkatlah beliau bersama Hajar dan putranya Isma’il, menuju Makkah yang pada waktu itu belum ada penghuninya, belum ada air, tumbuhan, dan lain-lain. Beliau meninggalkan bekal untuk Hajar dan putranya berupa sekantung air dan kurma, kemudian menempatkan mereka di dataran yang dekat dengan lokasi sumur Zamzam. Kemudian beliau meninggalkan keduanya. Setelah tiba di lembah yang tak terlihat oleh Hajar dan putranya, beliau berdoa:
“Wahai Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Wahai Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Ibrahim: 37)
Sampai akhir doa.
Hajar pun tunduk menerima keputusan Allah l dan mulai memakan bekalnya sampai akhirnya bekal itu pun habis. Mulailah Hajar dan putranya merasakan haus. Ibu Isma’il beranjak melihat-lihat keadaan sekitar dengan harapan menjumpai seseorang atau sesuatu yang dapat mengurangi lapar dan haus putranya. Dia mencoba mendaki bukit kecil Ash-Shafa dan melihat-lihat, namun ternyata tidak terlihat satu manusia pun. Kemudian ia mendaki bukit yang satunya yaitu Marwah akan tetapi juga tidak melihat seorang pun.
Demikianlah dia lakukan berulang-ulang sambil terus memohon pertolongan Allah l untuk dirinya dan putranya, serta sesekali dia menoleh ke arah putranya khawatir kalau-kalau ada hewan buas yang mengganggu. Setiap kali menuruni lembah, Hajar mempercepat langkah sampai mendaki bukit yang satunya agar tetap matanya mengawasi putranya.
Setiap kesulitan itu pasti ada jalan keluarnya. Setelah tujuh kali turun naik dari bukit ash-Shafa dan Marwah dia mendengar suara malaikat menggali tempat sumur Zamzam, maka memancarlah air dari tempat tersebut. Sungguh betapa gembiranya ibu Isma’il melihat ini. Dia pun minum sepuasnya dan menyusui Isma’il. Ia pun memuji Allah l atas nikmat yang demikian besar, kemudian ia membendung air itu agar tidak menyebar kemana-mana. Rasulullah n pernah bersabda:
“Semoga Allah merahmati Ummu Isma’il. Seandainya dia membiarkan air Zamzam begitu saja tentulah Zamzam akan menjadi mata air yang mengalir.”
Membangun Ka’bah
Kemudian datanglah serombongan kabilah Arab Jurhum dan tinggal di sana. Semakin lengkaplah nikmat yang diperoleh Ummu Isma’il.
Isma’il tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah. Dia memiliki perangai, kemauan, dan kewibawaan yang membuat kagum kabilah Jurhum. Setelah mencapai usia dewasa, ia pun menikah dengan salah seorang gadis dari kabilah tersebut. Pada masa-masa itu Hajar wafat, semoga Allah l meridhainya.
Suatu ketika Nabi Ibrahim q datang ke Makkah, sedangkan Isma’il ketika itu tidak berada di rumah tapi pergi berburu. Nabi Ibrahim menemui istri Isma’il dan bertanya kemana suaminya dan apa pekerjaannya. Wanita itu menceritakan bahwa suaminya pergi berburu dan kehidupan mereka sangat sulit. Nabi Ibrahim q kemudian berkata, “Kalau suamimu datang, sampaikan salam dari saya dan katakan kepadanya supaya mengganti palang pintu rumahnya.”
Kemudian Nabi Ibrahim q pun segera pulang karena suatu hikmah yang Allah l kehendaki. Tatkala Isma’il datang, dia seakan merasakan sesuatu. Lalu ia bertanya kepada istrinya. Istrinya menceritakan, “Tadi ada seorang tua yang keadaannya demikian (ia sebutkan sifat-sifat Nabi Ibrahim q). Ia bertanya tentang engkau dan saya terangkan kepadanya. Dia bertanya tentang kehidupan kita dan saya katakan kami dalam kesulitan. Dia titip salam untukmu dan berpesan agar engkau mengganti palang pintu rumahmu.”
Mendengar penuturan istrinya, Nabi Isma’il berkata, “Itu adalah ayahku dan engkaulah yang dimaksud dengan palang pintu itu. Kembalilah kau ke rumah orang tuamu.”
Setelah itu Nabi Isma’il menikah lagi dengan wanita yang lain. Tak lama datang pula Nabi Ibrahim, dan Nabi Isma’il kebetulan sedang pergi berburu. Beliau pun menemui istri Nabi Isma’il dan bertanya tentang Nabi Isma’il dan diterangkan oleh istrinya itu. Nabi Ibrahim juga bertanya tentang kehidupan mereka.
Istri Isma’il menceritakan bahwa kehidupan mereka dalam keadaan penuh kenikmatan dan kebaikan (ia adalah wanita yang baik, selalu mensyukuri nikmat Allah l dan kebaikan suaminya). Kemudian Nabi Ibrahim q berkata, “Kalau suamimu datang, sampaikan salamku dan katakan kepadanya supaya menetapkan palang pintu rumahnya.”
Setelah itu Nabi Ibrahim pun pulang dengan segera sebelum bertemu dengan Isma’il untuk suatu rahasia hikmah yang Allah l kehendaki. Ketika Nabi Isma’il pulang dari berburu, dia bertanya kepada istrinya, “Apakah tadi ada yang mengunjungi kamu?”
Istrinya menjawab, “Ya. Tadi ada seorang tua keadaannya demikian, demikian.”
Nabi Isma’il bertanya pula,”Apakah dia mengatakan sesuatu?”
Istrinya menjawab, “Dia bertanya kepada kami tentang dirimu dan saya pun bercerita. Dia bertanya pula tentang kehidupan kita, dan saya sampaikan bahwa kita dalam kenikmatan dan saya mengucapkan syukur serta memuji Allah l.”
Nabi Isma’il bertanya pula, “Kemudian apa lagi yang dia katakan?”
Istrinya berkata, “Dia titip salam untukmu dan memerintahkan agar engkau menetapkan palang pintu rumahmu.”
Nabi Isma’il berkata, “Itu adalah ayahku, engkau adalah palang pintu yang dimaksud, dan dia menyuruhku untuk tetap menahanmu (sebagai istri).”
Kemudian Nabi Ibrahim datang untuk ketiga kalinya. Beliau bertemu dengan Isma’il yang sedang memperbaiki sumur Zamzam. Ketika melihat ayahnya datang, dia berdiri menyambut sebagaimana layaknya seorang anak yang bertemu dengan ayahnya yang disayangi dan menyayanginya.
Nabi Ibrahim q berkata, “Wahai Isma’il, sesungguhnya Allah memerintahkan aku untuk membangun sebuah rumah di sini sebagai tempat ibadah bagi manusia sampai hari kiamat.”
Nabi Isma’il menjawab, “Saya akan membantumu.”
Maka mulailah keduanya membuat fondasi rumah tersebut. Nabi Ibrahim yang membangun sedangkan Nabi Isma’il mengambil dan menyerahkan batu-batu kepada beliau. Keduanya berdoa:
“Wahai Rabb kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Wahai Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk berserah diri kepada-Mu dan jadikanlah di antara anak cucu kami umat yang tunduk berserah diri kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Wahai Rabb kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Al-Baqarah: 127-129)
Setelah bangunan itu sempurna dan lengkap sebagai peninggalan yang besar dari Khalil (kekasih) Allah (Nabi Ibrahim q), Allah l memerintahkan beliau memanggil manusia untuk mengerjakan ibadah haji di Baitullah ini. Maka mulailah mereka menyeru manusia yang kemudian berdatangan menuju bait tersebut dari berbagai tempat yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat di dunia dan akhirat, sehingga mereka akan berbahagia dan hilang segala kesengsaraan mereka.
Pada saat demikian, ketika semakin tumbuh kecintaan terhadap Isma’il dalam hati Nabi Ibrahim q, Allah l berkehendak menguji Nabi Ibrahim q agar ia mengutamakan kecintaan kepada Allah l dan menjadi khalil-Nya yang semua itu tidak menerima adanya saingan ataupun sekutu. Maka Allah l memerintahkan beliau lewat mimpinya untuk menyembelih Isma’il, dan mimpi seorang nabi adalah wahyu dari Allah l. Nabi Ibrahim q berkata kepada Isma’il:
“Sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Maka tatkala keduanya telah berserah diri…” (ash-Shaffat: 102—103)
Yakni, setelah keduanya tunduk dan siap melaksanakan perintah Allah l yang mengejutkan dan hampir-hampir
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 007
Sekali lagi Allah menyempurnakan nikmat-Nya kepada Ibrahim u dan
merahmati pula isterinya Sarah yang telah berusia lanjut dan mandul
dengan berita gembira akan lahirnya seorang putera dari rahimnya yaitu
Ishaq u.Sebagaimana dengan nabi-nabi terdahulu, ketika Allah mengutus Nabi Luth u kepada kaumnya, mereka juga mendurhakainya. Allah pun kemudian memutuskan untuk menyiksa mereka. Nabi Luth u sendiri boleh disebut sebagai murid Nabi Ibrahim sehingga hak Nabi Ibrahim terhadapnya sangat besar.
Datanglah para malaikat yang diutus untuk menghancurkan kaum Nabi Luth kepada Nabi Ibrahim dalam wujud manusia. Ketika mereka menemuinya dan mengucapkan salam, beliau menjawab salam itu dan segera menjamu mereka. Dan Allah memberi rizki yang luas dan kedermawanan kepada beliau di mana rumah beliau merupakan persinggahan para tamu.
Diam-diam beliau segera menemui isterinya kemudian menjumpai tamunya sambil membawa daging anak sapi gemuk yang telah matang dan menyuguhkannya kepada mereka. Beliau berkata:
“Silakan kalian makan.” (Adz-Dzariyat: 27)
Firman Allah I:
“Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut.” (Hud: 70)
Yakni, karena menyangka jangan-jangan mereka pencuri.
Firman Allah I:
“Malaikat itu berkata: ‘Jangan takut. Sesungguhnya kami adalah (malaikat-malaikat) yang diutus kepada kaum Luth’.” (Hud: 70)
Pada waktu itu, Sarah-lah yang melayani mereka. Para malaikat itu memberi kabar gembira kepada Nabi Ibrahim dengan seorang anak yang alim (Ishaq). Mendengar berita ini, Sarah terpekik dan menepuk mukanya sendiri sambil tercengang, bingung bercampur rasa bahagia. Dia berkata:
“Apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua?” (Hud: 72)
Dan sebelumnya aku adalah seorang wanita yang mandul. Allah I mengisahkan hal ini dalam firman-Nya:
“Dan ini, suamikupun dalam keadaan sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar sesuatu yang sangat aneh. Para malaikat itu berkata: ‘Apakah kamu merasa heran tentang keputusan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan berkah-Nya dicurahkan atas kalian, wahai ahlul bait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Mulia.’” (Hud: 72-73)
Malaikat itu memberi kabar gembira kepada keduanya dengan kelahiran Ishaq yang nantinya akan mempunyai anak bernama Ya’qub. Dan Nabi Ibrahim dan istrinya akan berjumpa dengan cucunya itu. Oleh karena itulah, Nabi Ibrahim memuji Allah atas kesempurnaan nikmat yang diberikan-Nya. Firman Allah I:
“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tuaku, Isma’il dan Ishaq. Sesungguhnya Rabbku, benar-benar Maha Mendengar doa.” (Ibrahim: 39)
Pelajaran dari Kisah Al-Khalil u
Perlu diketahui, semua yang dikisahkan oleh Allah I kepada kita melalui sejarah Nabi Ibrahim Al-Khalil u, maka kita dapatkan suatu perintah khusus, firman Allah I:
“(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim.” (Al-Hajj: 78)
Yakni, tetaplah kamu mengikuti agama itu.
Firman Allah I:
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): ‘Ikutilah agama Ibrahim yang lurus’.” (An-Nahl: 123)
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia ketika mereka berkata kepada kaumnya…” (Al-Mumtahanah: 4)
Perintah khusus itu adalah agar mengikuti apa yang diyakini oleh beliau dalam masalah tauhid, pokok-pokok keyakinan (keimanan), akhlak, dan semua berita yang sampai kepada kita tentang beliau. Maka ketaatan kita mengikuti beliau merupakan bagian dari agama kita. Dan karena perintah ini merupakan perintah yang umum sifatnya untuk mengikuti semua hal ihwal beliau. Namun Allah I menyebutkan pula satu hal yang dikecualikan dalam perintah tersebut, yaitu firman-Nya:
“Kecuali ucapan Ibrahim terhadap ayahnya: “Sungguh saya akan memintakan ampun untukmu…” (Al-Mumtahanah: 4)
Maksudnya, untuk yang satu ini, janganlah kita menirunya, yaitu memohon ampunan untuk orang-orang musyrik. Dan permohonan ampunan dari Nabi Ibrahim untuk ayahnya ini sesungguhnya merupakan janji yang beliau ucapkan kepadanya. Maka ketika telah jelas baginya bahwa ayahnya ternyata adalah musuh Allah, beliaupun berlepas diri darinya.
1- Allah telah mengangkat Ibrahim sebagai khalil. Dan khullah lebih tinggi derajatnya dari al-mahabbah. Kedudukan khalil ini tidak didapatkan siapapun kecuali dua orang yaitu Nabi Ibrahim dan Muhammad r.
Kemuliaan yang Allah I berikan kepada beliau, Allah telah menjadikan nubuwwah dan Kitab ini berada di tangan anak-anak cucunya. Allah I mengeluarkan dari tulang sulbi (keturunan langsung) beliau dua golongan umat atau bangsa yang paling utama, yaitu bangsa Arab dan Bani Israil. Allah I memilihnya untuk membangun rumah-Nya yang merupakan rumah ibadah yang paling mulia dan paling awal diletakkan bagi manusia. Dia berikan karunia anak-anak kepadanya di saat usianya sudah lanjut. Allah I penuhi dunia ini, timur dan baratnya dengan sebutan atau namanya, bahkan hati setiap manusia pun mencintai dan memujinya.
2- Allah I mengangkat derajatnya dengan ilmu, keyakinan dan kekuatan hujjah. Allah I berfirman:
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang ada) di langit dan bumi agar dia termasuk orang-orang yang yakin.” (Al-An’am: 75)
“Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am: 83)
3- Allah I menceritakan kerinduan Nabi Ibrahim untuk mencapai puncak suatu ilmu dan batasnya, di mana beliau berdoa kepada Allah I:
“…Wahai Rabbku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman: “Belum yakinkah engkau?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).” Allah berfirman: “Ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya. Kemudian letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah: 260)
4- Sesungguhnya barangsiapa yang bertekad mengerjakan suatu ketaatan dan mencurahkan segenap kemampuannya dalam melakukan hal-hal yang menggiring kepada amalan ketaatan tersebut, namun ternyata ada yang menghalangi sempurnanya pekerjaan itu, maka balasannya telah Allah I tetapkan. Sebagaimana yang Allah I katakan tentang orang yang hijrah kemudian mati sebelum tiba di tempat tujuannya. Juga seperti yang diterangkan oleh Allah I dalam kisah penyembelihan, di mana Allah I menyempurnakan pahala bagi Nabi Ibrahim dan Isma’il ‘alaihimussalam ketika keduanya telah menyerah tunduk kepada Allah Idan siap melaksanakan perintah-Nya. Allah I mengangkat kesulitan yang mereka alami dan Allah I berikan kepada keduanya pahala dunia dan akhirat.
5- Di dalam kisah Nabi Ibrahim ini terdapat pula adab berdiskusi, cara dan tahapannya yang bermanfaat, serta bagaimana menggiring lawan dengan cara yang sangat jelas dipahami oleh mereka yang berakal. Di sini juga Allah tunjukkan bagaimana menundukkan para penentang yang keras kepala agar mengakui kesesatan pendapat atau pemikirannya sekaligus menegakkan hujjah kepada mereka dan sebagai bimbingan bagi mereka yang memang mencari petunjuk.
6- Di antara kenikmatan yang Allah I berikan adalah anak yang shalih. Dengan demikian, wajib bagi yang mendapatkannya untuk bersyukur, memuji Allah serta memohon kepada-Nya kebaikan bagi keturunannya sebagaimana yang dilakukan Al-Khalil u. Allah I menerangkan hal ini dalam firman-Nya:
“Segala puji hanya bagi Allah yang telah menganugerahkan aku di hari tuaku Isma’il dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Mendengar doa. Wahai Tuhan kami, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, wahai Tuhan kami, perkenankanlah doaku. Wahai Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” (Ibrahim: 39-41)
Dan Allah I menyebutkan pula pujian secara umum bagi mereka yang berdoa kepada Allah I untuk kebaikan anak cucunya:
“…sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya mencapai 40 tahun, ia berdoa: ‘Wahai Rabbku, tunjukilah aku agar mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku, dan supaya aku dapat beramal shalih yang Engkau ridhai. Dan berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri’.” (Al-Ahqaf: 15)
Karena apabila seorang hamba Allah meninggal dunia, terputuslah amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shalih yang mendoakan kebaikan untuknya.
7- Masya’ir atau tempat-tempat pelaksanaan manasik (haji dan umrah) merupakan suatu ketetapan. Di dalamnya terdapat berbagai pelajaran berkaitan dengan kedudukan Ibrahim Al-Khalil dan keluarganya dalam beribadah kepada Rabb mereka, juga dalam beriman kepada Allah dan para rasul-Nya. Juga adanya anjuran untuk menjadikan mereka sebagai panutan dalam setiap keadaan agama mereka. Firman Allah I:
“Dan jadikanlah sebagian maqam (tempat berdiri) Ibrahim sebagai tempat shalat.” (Al-Baqarah: 125)
8- Adanya perintah menyucikan Masjidil Haram dari berbagai najis kemaksiatan, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan sebagai pengagungan kepada Allah dan perhatian serta dorongan bagi orang-orang yang beribadah di dalamnya atau di dalam masjid lainnya, karena adanya firman Allah I:
“…Dan bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, i’tikaf, ruku’ dan sujud.” (Al-Baqarah: 125)
“(bertasbih kepada-Nya) di dalam rumah-rumah (masjid-masjid) yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya.” (An-Nur: 36)
9- Wasiat yang paling utama secara mutlak adalah wasiat Nabi Ibrahim dan Nabi Ya’qub kepada anak-anaknya. Yaitu wasiat agar tetap menjalankan agama (Islam) dan agar bertakwa kepada Allah I serta bersatu padu di atasnya. Ini juga merupakan wasiat Allah I bagi orang-orang yang terdahulu dan yang terakhir, karena merupakan sumber kebahagiaan abadi dan keselamatan dari kejahatan dunia dan akhirat.
10- Seorang yang beramal, di samping wajib mengokohkan amalannya dan bersungguh-sungguh melaksanakan sesempurna mungkin, juga wajib untuk tetap berada di antara dua keadaan, takut dan berharap. Dan hendaknya ia memohon dengan penuh ketundukan kepada Rabbnya agar menerimanya, menyempurnakan segala kekurangan, serta memaafkannya. Sebagaimana yang dilakukan Ibrahim dan Isma’il ketika meninggikan pondasi Baitullah.
11- Berdoa kepada Allah I meminta kebaikan dunia dan agama adalah jalan para nabi Allah I. Begitu pula usaha untuk memperolehnya. Adapun kebaikan dalam agama merupakan pokok dan tujuan yang untuk itu makhluk diciptakan. Sedangkan dunia hanyalah sarana dan perantara. Doa Nabi Ibrahim u untuk penduduk Baitul Haram dengan dua hal tersebut dan alasan beliau memohonkan urusan dunia ini, adalah agar menjadi wasilah untuk bersyukur. Allah I berfirman menyebutkan hal ini:
“Dan berilah mereka rizki dari buah-buahan mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Ibrahim: 37)
12- Dalam kisah Nabi Ibrahim u juga diterangkan syariat memuliakan tamu dan adab bertamu. Karena Allah I menerangkan tentang tamu tersebut bahwa mereka adalah orang-orang yang dimuliakan; mulia di sisi Allah. Dan Nabi Ibrahim u juga memuliakan mereka dengan menyambut mereka dengan ucapan dan perbuatan. Memuliakan tamu termasuk bagian dari iman. Dan di sini beliau melayani sendiri tamu-tamunya dengan segera menyambut mereka sebelum melakukan sesuatu. Kemudian beliau menemui mereka dengan harta terbaik berupa daging sapi gemuk yang beliau tawarkan kepada mereka tanpa perlu meninggalkan mereka mencarinya ke tempat lain. Lalu mengundang mereka makan dengan kalimat yang sangat lembut:
“Silakan kalian makan.” (Adz-Dzariyat: 27)
13- Disyariatkannya mengucapkan salam juga terdapat dalam kisah Ibrahim dan yang memulai lebih dahulu adalah yang akan masuk ke dalam rumah, dan wajib dibalas. Disyariatkan pula mengenali orang yang berhubungan dengan kita: shahabat, relasi atau tamu, karena disebutkan demikian dalam fiman Allah I:
“Sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang tidak dikenal.” (Al-Hijr: 62)
Yakni, saya tidak mengenali kalian, dan saya suka kalau kalian memperkenalkan diri kalian kepada saya. Dan ucapan ini lebih lembut dari pada ucapan: “Saya mengingkari kalian”, atau semacamnya.
14- Anjuran agar keluarga (isteri) dan siapa saja yang bertanggung jawab mengatur urusan rumah tangga selalu bersiap diri. Maka Nabi Ibrahim dalam keadaan ini segera menemui isterinya dan seketika itu pula dia dapatkan makanan untuk tamunya telah siap dan hanya tinggal dihidangkan.
15- Mendapat anak dari Sarah yang telah senja dan mandul merupakan salah satu mukjizat Nabi Ibrahim u dan kemuliaan bagi Sarah sebagai wali Allah I .
Kisah seperti ini juga dialami Maryam yang memperoleh ‘Isa u, dan juga Yahya u bagi Nabi Zakariya u dan isterinya. Dan Allah I telah jadikan tanda adanya berita gembira ini bagi Nabi Zakariya u yaitu dengan beliau tidak berbicara dengan manusia selama tiga hari padahal beliau sehat, kecuali dengan isyarat. Keadaan ini dan yang sejenis adalah ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah I. Lebih ajaib daripada ini adalah diciptakannya Adam u dari tanah. Maha Suci Allah Yang Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
16- Dalam kisah Nabi Ibrahim u terdapat pujian Allah I terhadap beliau yang menghadap Rabbnya dengan hati yang selamat. Firman Allah I:
“Pada hari yang tidak bermanfaat harta dan anak-anak, kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat.” (Asy-Syu’ara: 88-89)
Yaitu hati yang selamat dari kejahatan dan semua sebab-sebabnya. Hati yang penuh dengan kebaikan dan kemuliaan, bersih dari syubhat yang merusak ilmu dan keyakinan, bersih dari syahwat yang menghalangi seseorang mendapatkan kesempurnaan, bersih dari kesombongan dan riya’ (pamer), perpecahan, kemunafikan dan akhlak yang buruk, juga bersih dari khianat dan dendam. Penuh dengan tauhid dan iman serta tawadhu’ terhadap kebenaran dan rendah hati terhadap sesama manusia. Dan juga adalah hati yang penuh dengan nasehat bagi kaum muslimin, rasa suka beribadah kepada Allah I dan memberi manfaat bagi sesama hamba Allah I.
17- Apa yang Allah I sebutkan dalam kisah Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Harun dan Ilyas ‘alaihimussalam:
“Kesejahteraan dilimpahkan atas Nuh di seluruh alam.” (Ash-Shaffat: 79)
“Kesejahteraan dilimpahkan kepada Ibrahim.” (Ash-Shaffat: 109)
Disusul dengan firman Allah I:
“Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Ash-Shaffat: 80)
Di sini Allah Yang Maha Pencipta menjanjikan bahwa setiap orang yang berbuat ihsan (baik) dalam ibadahnya serta berbuat baik pula terhadap sesama hamba Allah I, maka Allah I akan memberi pujian yang baik dan doa dari seluruh alam sesuai dengan perbuatan ihsannya. Ini adalah pahala yang disegerakan dan juga yang ditangguhkan. Semua ini adalah berita gembira bagi seseorang dalam kehidupan di dunia dan akhirat, dan merupakan tanda-tanda kebahagiaan.
No comments:
Post a Comment