Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 010
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar)Siapakah yang mampu menolak ketetapan Allah ketika Ia menakdirkan lahirnya seorang nabi yang kemudian dibesarkan di lingkungan musuh besarnya. Dialah Musa u, Nabi yang sempat mengenyam asuhan dari istri sang angkara murka, Fir’aun. Kisahnya yang agung banyak menghiasi lembar Al Qur’an serta memberikan banyak pelajaran berharga bagi umat nabi lain di kemudian hari.
Allah I memaparkan kisah Nabi Musa bin ‘Imran dan saudaranya Harun i demikian panjang. Allah menceritakan sejarah mereka pada beberapa tempat dalam Al Qur’an dengan uslub atau gaya bahasa yang berbeda-beda, kadang dengan ringkas dan kadang meluas sesuai dengan keadaannya. Tidak ada kisah yang lebih besar dalam Al Qur’an selain kisah Nabi Musa u. Karena beliau betul-betul berupaya memperbaiki Fira’un dan tentara-tentaranya, juga terhadap Bani Israil dengan upaya yang demikian hebat.
Musa u adalah nabi yang paling utama di kalangan Bani Israil, begitu pula syariat serta kitabnya, Taurat. Beliau ‘u adalah sumber rujukan para nabi Bani Israil dan para ulama mereka. Pengikut beliau termasuk umat terbanyak di samping umat Nabi Muhammad r.
Nabi Musa u memiliki kekuatan dan ghirah (kecemburuan) yang besar dalam menegakkan agama Allah dan mendakwahkannya, yang tidak dimiliki oleh yang lain. Beliau dilahirkan pada masa semakin hebatnya penindasan Fir’aun terhadap Bani Israil, di mana ia menyembelih setiap bayi laki-laki dari kalangan Bani Israil dan membiarkan hidup bayi perempuan untuk dijadikan sebagai pelayan dan sekaligus cobaan. Ketika ibunya melahirkan Nabi Musa, timbullah rasa takut yang begitu hebat. Karena Fir’aun telah mengirimkan mata-mata yang mengawasi wanita yang sedang hamil dan akan melahirkan.
Rumah ibu Nabi Musa berada di tepi sungai Nil. Lalu Allah ilhamkan kepada ibunya agar meletakkan bayi Musa di dalam sebuah peti dan menghanyutkannya ke sungai Nil setelah mengikatnya agar tidak terhanyut karena goncangan air. Dan merupakan kelembutan Allah kepadanya adalah dengan mengilhamkannya:
“Janganlah kamu khawatir dan jangan pula bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya salah seorang dari para Rasul.” (Al-Qashash: 7)
Setelah menghanyutkan ke air, pada suatu hari terlepaslah ikatan peti yang membawa Musa kecil itu dan meluncur bersama aliran air. Dan dengan taqdir Allah peti itu jatuh ke tangan salah seorang keluarga atau pengikut Fir’aun. Akhirnya Musa kecil dibawa kepada isteri Fir’aun yang bernama Asiyah. Begitu melihatnya, spontan tumbuh rasa cinta yang begitu besar dalam diri Asiyah terhadap Nabi Musa. Dan memang Allah telah meletakkan rasa cinta tehadap beliau dalam hati setiap orang.
Berita ini segera terdengar oleh Fir’aun dan dia meminta agar Musa kecil dibunuh. Isteri Fir’aun berkata: “Janganlah (engkau) membunuhnya. Dia adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Mudah-mudahan ia bermanfaat bagi kita atau kita ambil ia menjadi anak.”
Maka selamatlah Nabi Musa dari kekejian mereka. Dan ini memberikan pengaruh dan juga pengantar yang baik sebagai usaha yang perlu disyukuri di sisi Allah. Ini termasuk salah satu sebab bagi isteri Fir’aun mendapat petunjuk dan beriman kepada Nabi Musa sesudah itu.
Adapun ibu Nabi Musa, betapa terkejutnya dia dan menjadi kosonglah hatinya. Hampir saja kesabarannya goyah dan dia membocorkan rahasia tentang Musa, seandainya Allah tidak meneguhkan hatinya, supaya dia temasuk orang yang beriman (kepada janji Allah). Dia berkata kepada saudara perempuan Nabi Musa: “Ikuti dan awasilah dia.”
Pada waktu itu isteri Fir’aun sudah berkali-kali menawarkan siapa yang mau menyusui Nabi Musa, namun beliau tidak mau menerima susu dari wanita manapun. Akhirnya beliau kehausan sampai melingkar karena laparnya. Akhirnya mereka membawanya keluar ke jalan-jalan, barangkali Allah akan memudahkannya menerima susu dari seorang wanita. Saudara perempuan Nabi Musa memperhatikan dari tempat yang tersembunyi dan merasa iba. Setelah mengetahui bahwa mereka mencari orang yang bisa menyusui Nabi Musa, diapun berkata kepada mereka sebagaimana firman Allah:
“Maukah kalian aku tunjukkan ahlul bait yang akan memeliharanya untuk kalian dan mereka dapat berlaku baik kepadanya? Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan tidak berduka cita.” (Al-Qashash: 12-13)
Allah sebutkan kisah Nabi Musa ini secara rinci dan jelas dan bagaimana perubahan-perubahan keadaan yang dialami beliau. Dengan membaca surat ini saja sudah cukup menerangkan berbagai pengertian yang terkandung di dalamnya karena begitu jelas dan gamblang uraian kisah ini. Dan Allah Ta’ala tidaklah memperinci suatu permasalahan melainkan agar kita mengambil manfaat dan pelajaran dari masalah itu. Akan tetapi karena begitu banyak faidah dan pelajaran yang dapat diambil dari kisah ini maka kami perlu memberikan sedikit keterangan terhadap sebagiannya.
Pelajaran dari kisah Nabi Musa u
Di antara pelajaran yang dapat dipetik, antara lain:
1. Maha Lembutnya Allah terhadap ibu Nabi Musa dengan memberikan ilham (agar menghanyutkan Nabi Musa) sehingga menyelamatkan beliau. Kemudian berita gembira dari Allah yang akan mengembalikan Nabi Musa kepadanya, yang kalau tidak demikian dia merasa akan mati karena kesedihan mendalam saat mengingat puteranya. Kemudian Allah mengembalikannya dengan mentakdirkan beliau menolak air susu yang ditawarkan oleh para wanita ketika itu.
Diketahui dari kisah ini bahwa sifat Maha Lembutnya Allah kepada para wali-Nya tidak akan tergambar dalam benak siapapun, bahkan tidak mungkin dapat diungkapkan dengan kalimat seindah apapun. Perhatikanlah bagaimana berita gembira ini terjadi: Dia (ibu Nabi Musa) didatangi oleh puteranya, menyusukannya secara terang-terangan, kemudian menerima upah, sehingga lengkaplah dia sebagai ibu secara syar’i dan juga berdasarkan taqdir Allah. Maka menjadi tenteramlah hatinya dan bertambah pula keimanannya. Dan kejadian ini menjadi pendukung bagi firman Allah I:
“Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu.” (Al-Baqarah: 216)
Dan memang tidak ada yang lebih dibenci oleh ibu Nabi Musa daripada jatuhnya Musa ke tangan Fir’aun, padahal ternyata kejadian berikutnya dan pengaruhnya sangat terpuji.
2. Ayat-ayat (tanda kekuasaan) Allah dan pelajaran yang terjadi pada umat-umat sebelumnya mengandung pelajaran berharga. Adapun yang dapat memetik pelajaran atau mengambil cahaya dari kisah tersebut hanyalah orang-orang yang beriman. Allah telah menguraikan kisah-kisah itu memang untuk mereka, sebagaimana Allah I nyatakan dalam kisah ini:
“Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun dengan benar untuk orang-orang yang beriman.” (Al-Qashash: 3)
Kalau Allah menghendaki sesuatu, niscaya Dia mempersiapkan sebab-sebabnya dan memun-culkannya satu persatu secara berangsur-angsur, tidak sekaligus.
3. Kaum yang lemah dan tertindas sedemikian rupa, tidak sepantasnya mereka dikuasai oleh sikap malas, tidak mau berusaha memenuhi hak mereka, dan tidak pula sepantasnya berputus asa untuk menggapai kedudukan yang tinggi, terutama sekali apabila mereka adalah orang-orang yang didzalimi.
Sebagaimana Allah telah menyelamatkan Bani Israil dari kelemahan dan keadaan mereka menjadi budak-budak Fir’aun dan para pembesarnya, kemudian mengokohkan kedudukan mereka di muka bumi dan menyerahkan kekuasaan kepada mereka mengatur negeri Fir’aun.
Bangsa manapun juga, selama dia berada dalam keadaan terhina dan tertindas, tidak mungkin dapat menuntut hak-hak mereka. Bahkan tidak tegak urusan agama mereka, sebagaimana halnya urusan dunia mereka.
4. Rasa takut yang bersifat naluriah pada seseorang tidaklah menafikan dan melenyapkan keimanannya sebagaimana yang dialami ibu Nabi Musa terhadap Nabi Musa. Iman itu dapat bertambah dan berkurang, sebagaimana firman Allah:
“Agar dia termasuk orang-orang yang beriman.” (Al-Qashash: 10)
Yang dimaksud dengan kata Al-Iman di sini adalah pertambahannya dan bertambah ketenangannya.
5. Di antara nikmat Allah yang paling besar terhadap seorang hamba adalah kekokohan yang Allah berikan kepadanya ketika menghadapi rasa takut dan gelisah. Karena sesungguhnya, sebagaimana bertambahnya keimanan dan pahala yang diperolehnya, maka semakin kuat dorongan untuk mengucapkan dan melakukan hal-hal yang benar. Tinggallah pendapat dan pemikirannya yang kokoh.
Adapun mereka yang tidak memperoleh keteguhan ini, maka kegelisahan dan ketakutannya akan membuatnya menyia-nyiakan akal pikiran sehingga tidak berguna baginya dalam keadaan demikian.
6. Seorang hamba apabila dia mengetahui bahwa qadha dan qadar adalah haq (pasti), dan janji Allah pasti terjadi, niscaya dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk melakukan usaha-usaha yang bemanfaat. Karena sesungguhnya suatu sebab dan upaya untuk menjalankannya termasuk bagian dari taqdir Allah. Allah telah berjanji kepada ibu Nabi Musa untuk mengembalikan puteranya kepadanya. Namun ketika Nabi Musa dipungut oleh Fir’aun, dia segera berupaya dengan mengutus saudara perempuan Nabi Musa untuk mengintai dan menjalankan upaya-upaya lain yang terkait dengan keadaan waktu itu.
7. Diizinkannya seorang wanita keluar dari rumah untuk suatu keperluan dan boleh pula mengajak bicara seorang laki-laki dengan syarat tidak ada perkara yang diharamkan, sebagaimana yang dilakukan oleh saudara perempuan Nabi Musa dan dua orang wanita yang dijumpai Nabi Musa di Madyan.
8. Diizinkannya mengambil upah dalam menjaga dan menyusukan anak, sebagaimana yang dilakukan oleh ibunda Nabi Musa. Dan syariat umat sebelum kita adalah juga syariat bagi kita selama tidak ada yang menghapusnya dalam syariat kita.
9. Tidak boleh membunuh orang kafir yang mempunyai ikatan perjanjian atau kesepakatan dengan kita. Ini terlihat dari penyesalan Nabi Musa setelah membunuh seorang bangsa Qibti dan beliau memohon ampun dan bertaubat kepada Allah atas perbuatan tersebut.
10. Orang yang membunuh satu jiwa tanpa alasan yang benar dikatakan sebagai jabbar yang berbuat kerusakan di muka bumi. Meskipun tujuannya adalah untuk menimbulkan rasa takut, dan menganggap dirinya sebagai orang yang mengadakan perbaikan, sampai jelas-jelas ada ketentuan syariat yang membolehkan membunuh.
11. Berita dari seseorang kepada orang lain dengan suatu nukilan tentang keadaan dirinya dalam bentuk peringatan dari kemungkinan buruk yang akan menimpanya bukanlah dianggap sebagai namimah. Bahkan boleh jadi merupakan suatu kewajiban, seperti yang diuraikan Allah dalam bentuk pujian, tentang seorang laki-laki dari dalam kota yang segera menemui Musa untuk mengingatkannya.
12. Apabila dikhawatirkan kebinasaan karena membunuh tanpa alasan yang benar dan akan diberlakukannya hukuman di suatu tempat, hendaknya jangan menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan atau menyerah. Tapi hendaklah jika dia sanggup melarikan diri dari tempat itu seperti yang diperbuat oleh Nabi Musa.
13. Apabila suatu ketika mau tidak mau seseorang dihadapkan kepada dua mafsadah (kerusakan), maka jelas baginya untuk mengambil yang paling ringan dan lebih selamat serta menolak mafsadah yang lebih berat dan berbahaya. Di sini ketika Nabi Musa berada di antara dua pilihan; tetap tinggal di Mesir tapi ditangkap dan dibunuh, atau melarikan diri ke negeri lain yang sama sekali belum diketahui arahnya. Dan beliau tidak mempunyai penunjuk jalan kecuali hanya mengharapkan bimbingan Rabb-nya. Dan sebagaimana diketahui hal ini lebih dekat kepada keselamatan, maka beliau memilih yang kedua.
14. Dalam kisah ini terdapat penjelasan yang halus bagi orang yang mempelajari suatu masalah, yaitu di saat seseorang ingin beramal atau berfatwa, namun belum jelas baginya mana dari dua pendapat yang dihadapinya ini yang lebih kuat, maka hendaklah dia memohon hidayah kepada Rabb-nya dan memohon agar Dia membimbingnya kepada yang lebih mendekati kebenaran dari kedua pendapat tersebut. Dan ini tentunya sesudah dia bersungguh-sungguh mengadakan penelitian dan memang mempunyai niat yang tulus mencari kebenaran. Allah pasti tidak akan menyia-nyiakan orang yang demikian keadaannya. Sebagaimana yang dialami Nabi Musa ketika dia mengarah ke negeri Madyan dalam keadaan belum tahu arah dan jalan mana yang harus ditempuhnya. Allah I berfirman:
“Dan tatkala ia menghadap ke jurusan negeri Madyan ia berdoa: Mudah-mudahan Rabbku memimpinku ke jalan yang benar.” (Al-Qashash: 22).
Allah I telah membimbingnya dan memberikan apa yang diharapkannya.
Wallahu ‘alam bish-shawab.
1 Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 97
2 Seperti Al-Imam An-Nawawi di dalam Kitab Riyadhus Shalihin dan Al-Hafidz Ibnu Hajar menulis sebuah judul di dalam kitab Bulughul Maram Kitab Al-Jami’ bab Al-Adab, dsb.
3 Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 45
4 Sebagaimana firman Allah:
Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. (Al-Mujadilah: 11)
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 011
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar)Kisah Nabi Musa dan Nabi Harun u banyak memberikan pelajaran berharga bagi umat sesudahnya. Allah I menceritakan kisah tersebut di dalam Al-Quran juga agar umat Islam bisa mengambil pelajaran tersebut. Berikut ini beberapa pelajaran yang bisa dipetik.
1. Rahmat dan limpahan kebaikan Allah terhadap hamba-hamba-Nya, ada yang mengetahuinya adapula yang tidak. Sebagian dari akhlak para Nabi dan perbuatan yang ihsan adalah membantu memberi minum hewan ternak. Terutama terhadap mereka yang lemah. Hal ini ditunjukkan oleh perbuatan Nabi Musa bersama dua anak perempuan salah seorang penduduk Madyan, di mana beliau melihat keduanya tidak dapat memberi minum ternak mereka sebelum para penggembala lain menjauh dari sumur itu.
2. Allah I menyukai apabila ada hamba-Nya yang berdoa dengan bertawassul kepada-Nya melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta nikmat-Nya yang umum maupun yang khusus. Dia juga menyukai apabila orang yang bedoa itu bertawassul kepada-Nya dengan (menyebutkan) kelemahan, kefakiran serta ketidakmampuannya dalam mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudaratan dari dirinya, sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Musa dalam firman Allah I:
“Wahai Rabbku, sesungguhnya aku sangat membutuhkan kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (Al-Qashash: 24)
Karena sikap yang demikian menunjukkan kerendahan dan ketundukan seseorang dan kefakirannya kepada Allah, di mana sesungguhnya hal inilah hakekat penghambaan seseorang di hadapan-Nya.
3. Hidup dan imbalan atas suatu kebaikan sudah merupakan tradisi atau kebiasaan orang-orang yang shalih sejak dulu. Seorang manusia apabila dia beramal ikhlas karena Allah kemudian memperoleh suatu imbalan tanpa dia mengharapkannya, maka tidaklah dia tercela dan tidak pula menghapus keikhlasan dan pahalanya. Sebagaimana Nabi Musa menerima upah atas kebaikannya yang beliau sendiri tidak menginginkan atau mengharapkan imbalan atas pertolongannya itu.
4. Bolehnya memberi upah atas suatu pekerjaan yang telah diketahui manfaatnya atau sudah diketahui berapa lama batas waktunya. Patokannya adalah kebiasaan yang berlaku di suatu masyarakat. Bahkan boleh pula memberi upah sebagai imbalan memperoleh manfaat berupa pernikahan. Sebagaimana yang disebutkan oleh orang Madyan itu dalam firman Allah I:
“Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini.” (Al-Qashash: 27)
Dari ayat ini dibolehkan seseorang menikahkan puterinya dengan seorang laki-laki bila dia adalah wali bagi perempuan tersebut dan hal itu bukanlah suatu cacat atau aib. Bahkan boleh jadi mengandung manfaat dan menunjukkan kemuliaan. Sebagaimana yang dilakukan orang tua yang shalih di Madyan itu dengan Nabi Musa u.
5. Firman Allah I yang mengisahkan ucapan salah seorang perempuan itu kepada ayahnya:
“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja pada kita ialah orang yang kuat lagi terpercaya.” (Al-Qashash: 26)
Dengan kedua sifat inilah sempurnanya suatu pekerjaan. Semua bentuk usaha baik perwalian, pelayan, perusahaan, atau pekerjaan yang membutuhkan pemeliharaan dan pengawasan terhadap para karyawan dan pekerjaan mereka, apabila kedua sifat ini yaitu kuat (kesanggupan) mengerjakannya sesuai dengan keadaan pekerjaan itu dan dapat dipercaya melaksanakannya, sempurnalah pekerjaan itu dan tercapailah hasil serta tujuan yang diharapkan. Sedangkan kesalahan dan kekurangan yang terjadi, sebabnya adalah karena ketiadaan kedua sifat ini pada diri seseorang atau salah satunya.
6. Termasuk akhlak yang mulia adalah memperbaiki sikap atau perilaku dengan semua yang berhubungan dengan kita. Apakah dia seorang pelayan, buruh, isteri, anak atau relasi atau yang lainnya. Di mana seseorang memberikan keringanan bagi seorang yang bekerja pada kita berdasarkan firman Allah I:
“Aku tidak ingin memberatkan kamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang saleh.” (Al-Qashash: 27)
7. Dalam kisah ini, diterangkan bolehnya memberikan semangat kepada relasi atau pegawai dengan imbalan dan upah dengan menerangkan keadaan dirinya sebagai orang yang baik dalam bermu’amalah. Akan tetapi tentunya dengan syarat dia jujur dalam menyebutkan hal itu.
8. Bolehnya pula melakukan akad suatu mu’amalah persewaan atau yang lainnya tanpa menghadirkan saksi, karena adanya dalil dari firman Allah I:
“Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan.” (Al-Qashash: 28)
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa dengan adanya saksi akan memudahkan terjaganya hak-hak orang-orang yang bersangkutan, minimalnya (bila terjadi) persengketaan. Dan manusia dalam masalah ini bertingkat-tingkat, begitu pula hak mereka masing-masing.
9. Diterangkan di dalam kisah ini ayat-ayat (tanda kekuasaan) yang sangat jelas. Di mana dengan ayat-ayat itu Allah memperkuat kedudukan Nabi Musa. Seperti mengubah tongkatnya menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat, lalu mengembalikannya seperti semula. Juga ketika dia memasukkan tangannya ke leher bajunya lalu mengeluarkannya dalam keadaan putih bercahaya bagi orang-orang yang melihatnya, dan bukan karena penyakit.
Disebutkan pula betapa besar rahmat dan pembelaan Allah terhadap Nabi Musa dan Harun dari Fir’aun dan para pembesarnya. Dia membelah lautan ketika Musa memukulkan tongkatnya ke laut hingga terbelah menjadi dua belas jalan yang dilalui oleh Musa beserta para pengikutnya dengan selamat. Sedangkan Fir’aun dan pasukannya yang mencoba menyusul, akhirnya binasa.
Demikian seterusnya ayat-ayat dan bukti-bukti yang berturut-turut Allah tunjukkan bagi mereka yang melihat dan menyaksikan kejadian tersebut atau bagi mereka yang hanya mendengar (ketika dibacakan kepada mereka). Karena sesungguhnya sumber penukilannya adalah kitab-kitab samawi dan dinukil turun temurun, generasi demi generasi. Dan tidaklah ada yang mengingkari ayat-ayat seperti ini melainkan orang yang bodoh, sombong, dan zindiq. Seperti itu pula ayat-ayat yang ada pada Nabi yang lainnya.
10. Ayat-ayat yang ada pada para Nabi dan karamah para wali atau ayat-ayat yang Allah jadikan sebagai sesuatu yang menakjubkan; seperti perubahan sebab akibat atau terhalangnya sesuatu menjadi sebab bagi suatu akibat, atau diperlukannya suatu sebab yang lain bagi suatu akibat, atau adanya penghalang yang merintangi pengaruh sebab itu terhadap suatu akibat, adalah bukti yang nyata tentang wahdaniyyah Allah (keesaan Allah). Dia adalah Dzat Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Di mana tidak satupun persoalan besar maupun kecil yang lepas dari kodrat Allah I.
Mukjizat dan karamah serta perubahan-perubahan ini tidaklah meniadakan semua sebab inderawi dan aturan baku yang telah Allah berlakukan pada makhluk ini. Kita tidak akan mendapati adanya ganti dan perubahan terhadap Sunnatullah ini. Dan sesungguhnya Sunnatullah pada semua makhluk yang sudah terjadi ataupun yang akan terjadi itu, terbagi dua:
a. Yang merupakan perkara yang baru (apa yang berhubungan dengan makhluk), kejadian alam, ketetapan hukum syariat atau kodrati, atau yang berkaitan dengan pembalasan, tidaklah akan berubah dan berganti dari semua yang telah diketahui manusia sebab-sebabnya.
Bagian ini juga berada di bawah qadha dan qadar Allah. Dari sini kita mengetahui betapa sempurnanya hikmah Allah I pada ciptaan dan hukum-hukum syariat-Nya. Dan siapa saja yang menempuh semua sebab akibat dengan cara yang benar akan mendapatkan buah dan hasil yang baik. Sebaliknya, siapa yang menempuhnya tidak dengan cara yang benar, niscaya tidak akan memperoleh hasil sebagaimana yang telah ditetapkan pada amalan itu menurut kodrat dan syariat.
Ini mendorong seorang manusia agar bersungguh-sungguh dalam menjalankan sebab-sebab yang berkaitan dalam masalah agama dan dunia yang berguna bagi mereka, dengan diiringi doa memohon pertolongan kepada Allah dan memuji-Nya agar memudahkan sebab-sebab itu dan semua perangkatnya.
b. Kejadian yang berasal dari mu’jizat para Nabi yang berita kejadiannya dinukil oleh setiap generasi, juga kemuliaan yang Allah berikan kepada para hamba-Nya dengan dikabulkannya doa mereka, dilepaskannya mereka dari kesulitan, memperoleh apa yang diharapkan dan dijauhkannya semua kemudaratan yang dia tidak mampu melenyapkannya. Juga gerbang Rabbani dan ilham ilahi serta cahaya yang Allah letakkan ke dalam makhluk-makhluk pilihan-Nya sehingga menambah keyakinan dan ketenangan jiwa mereka serta ilmu pengetahuan yang belum tentu dapat diperoleh dengan hanya mempelajarinya atau melakukan sebab-sebab lainnya.
Dan juga merupakan pertolongan yang diberikan-Nya kepada para Rasul serta para pengikut mereka, bahkan kehinaan yang ditimpakan-Nya terhadap musuh-musuh-Nya adalah juga perkara yang dapat disaksikan pada sebagian besar perjalanan masa.
Pada bagian kedua ini sama sekali tidak ada peranan makhluk untuk mengetahui sebab-sebab semua kejadian ini. Tidak pula mereka dapat membuat suatu patokan untuk sampai pada hakekat dan kenyataannya. Hanya saja perkara yang baru ini (berupa mu’jizat dan seterusnya), sesungguhnya Allah Yang Maha Agung Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu telah menaqdirkan semua sebab-sebab, hukum dan sunnah-sunnah (ketetapan) yang tidak mungkin dapat dipahami makhluk manapun. Tidak pula dapat ditangkap dan diperkirakan oleh panca indera mereka sehingga bisa memahami hakekat kejadian tersebut. Namun para Rasul dan para pengikut mereka sejak dari yang pertama sampai kepada yang terakhir beriman kepadanya.
Dengan perkara ini pula semakin jelaslah keagungan Allah Yang Maha Pencipta. Seluruh ubun-ubun hamba-hamba-Nya ada di tangan-Nya. Apa yang dikehendaki oleh Allah I pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki Allah I pasti tidak akan terjadi. Dengan demikian jelas pula kebenaran semua ajaran yang dibawa oleh para Rasul tersebut, sebagaimana juga dari bagian pertama tadi kita dapat pula mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah I.
Tidak ada jalan bagi seorang hamba di dunia ini untuk memahami hakekat keadaan atau sifat Yaumil Akhir (hari kiamat), bahkan apa dan bagaimana hakekat al-jannah serta an-nar. Bahwa hamba-hamba Allah I itu mengetahui sebagian keadaan hari kiamat itu adalah dengan melalui apa yang telah diterangkan oleh para Rasul dan yang terdapat dalam Kitab-Kitab Allah I. Tidak ada jalan bagi penduduk bumi ini untuk sampai ke alam langit, dan tidak ada jalan bagi mereka untuk menghidupkan yang sudah mati, menciptakan ruh pada benda-benda padat. Begitupula halnya bagian terbesar dari kejadian ini. Dan kami paparkan panjang lebar masalah ini, karena dua hal:
a. Orang-orang zindiq masa kini yang mengingkari keberadaan (wujud) Allah Yang Maha Pencipta, juga mengingkari semua perkara ghaib yang dibawa oleh para Rasul dan Kitab-Kitab Samawi. Mereka menolak ilmu-ilmu itu kecuali yang dapat ditangkap oleh panca indera dan teori-teori dari percobaan mereka yang dangkal terhadap sebagian kejadian alam ini. Mereka mengingkari yang selain itu, yakni mengingkari semua yang tidak dapat dibuktikan secara eksperimental. Mereka menganggap bahwa alam ini dan gejala-gejala (hukum-hukum) alam yang ada di dalamnya, tidak mungkin dapat diubah atau mengubah suatu sebab. Menurut mereka juga, bahwa alam ini dengan semua perangkatnya terjadi secara tiba-tiba bukan karena adanya yang menciptakan. Alam ini berjalan dengan sendirinya, tidak ada Yang Mengatur, Pencipta atau Rabb (Pemilik atau Penguasa).
Padahal semua penganut agama yang ada mengakui betapa sombong dan angkuhnya mereka. Orang-orang zindiq (atheis) ini, di samping mengingkari ajaran agama, juga sesungguhnya telah kehilangan akalnya. Hal ini karena mereka telah menentang hakekat yang paling nyata dan jelas, bahkan bukti dan tanda kekuasaan Allah yang paling besar. Mereka tersesat dengan akal mereka yang sempit dan pemikiran mereka yang rusak. Urusan mereka sebetulnya sudah sangat jelas.
b. Sebagian ulama masa kini yang terlihat (seakan-akan) membela Islam, masuk bersama orang-orang zindiq ini dalam suatu perdebatan tentang masalah ini. Harapan mereka, bahwa dengan ijtihad atau ketertipuan mereka dapat menyesuaikan sunnah-sunnah ilahiyyah ke dalam permasalahan akhirat agar dapat dipahami manusia dengan panca indera dan teori-teori hasil eksperimen (percobaan) mereka. Melalui cara ini, mereka mencoba membelokkan pengertian mu’jizat, menolak ayat-ayat yang sangat jelas.
Namun mereka tidak mendapat manfaat sedikitpun kecuali mudharat yang akan menimpa diri mereka sendiri dan orang-orang yang membaca buku-buku mereka dalam masalah ini. Dan karena kelemahan iman mereka kepada Allah yang ditunjukkan dengan menolak adanya mu’jizat para Nabi ini, melalui tahrif yang membawa kepada keingkaran terhadap mu’jizat ini dan keingkaran bahwa semua itu adalah merupakan qadha dan qadar Allah I. Juga karena lemahnya iman mereka yang membaca buku para tokoh filsafat (zindiq) ini, dan tidak adanya ilmu dan pengetahuan agama mereka untuk menolak bagian ini.
Dan ternyata mereka juga sama sekali tidak berhasil menarik orang-orang atheis materialis itu kembali kepada hidayah dan ajaran Islam. Bahkan semakin bertambah jauh mereka tenggelam dalam madzhab itu, ketika melihat orang-orang seperti itu berusaha memasukkan nash-nash (dalil dari ayat dan hadits) dan mu’jizat para Nabi ini ke dalam ilmu mereka yang dangkal yang hanya didasari hasil-hasil teori dan pengamatan panca indera.
Sungguh alangkah besarnya musibah ini, dan betapa kejinya kejahatan yang dihiasi. Akan tetapi memang, kelemahan ilmu serta kekaguman terhadap orang-orang zindiq atheis ini tentu akan mendorong seseorang untuk tunduk menerima ucapan-ucapan mereka. Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah I.
11. Pelajaran lain dari kisah ini, hukuman terbesar yang dialami seorang manusia adalah jika dia menjadi imam atau pemimpin suatu kejahatan dan juru dakwah yang mengajak kepada kejahatan tersebut. Sebagaimana dikatakan bahwa nikmat terbesar yang Allah I berikan kepada seorang manusia adalah menjadikannya sebagai imam atau pelopor (pemimpin) dalam kebaikan, sebagai pemberi petunjuk sekaligus terbimbing. Allah I berfirman tentang Fir’aun dan orang-orang yang seperti dia:
“Dan Kami jadikan mereka imam-imam yang mengajak kepada neraka.” (Al-Qashash: 41)
Untuk yang kedua, Allah I menyatakan:
“Dan Kami jadikan mereka sebagai imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami.” (Al-Anbiya: 73)
12. Dalam kisah ini terdapat sisi pendalilan benarnya risalah Nabi Muhammad r, karena Allah menerangkan kisah ini atau yang lainnya secara terperinci, sesuai dengan kenyataan untuk menjadi suatu patokan yang sesuai. Suatu kisah yang membenarkan para Rasul, dan dukungan terhadap kebenaran yang nyata. Padahal beliau tidak menyaksikan sedikitpun kejadian itu, dan tidak pula mempelajarinya sedikitpun sehingga mengetahui kejadian tersebut secara terperinci. Bahkan beliau tidak pernah duduk dan menimba ilmu dari seorang ulamapun.
Semua ini tidak lain adalah risalah dari Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, wahyu yang diturunkan kepadanya oleh Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Pemberi anugerah agar beliau memberi peringatan kepada seluruh manusia dengan wahyu ini. Oleh karena itulah Allah I menyebutkan pada bagian akhir kisah ini:
“Dan tidaklah kamu berada di dekat gunung Thur.” (Al-Qashash: 46)
“Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi sebelah barat ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa.” (Al-Qashash: 44)
“Dan tiadalah kamu tinggal bersama-sama penduduk Madyan.” (Al-Qashash: 45)
Semua ini adalah satu dari bukti-bukti kebenaran risalah beliau.
13. Sebagian ulama menyebutkan pelajaran dari jawaban Nabi Musa ketika ditanya tentang tongkatnya dalam firman Allah I:
“Dan apa yang di tangan kananmu itu, hai Musa? Berkata Musa:” Inilah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku…” (Thaha: 17-18)
Yaitu dianjurkan menggunakan tongkat karena ada manfaat tertentu dan untuk keperluan lain, seperti disebutkan dalam lanjutan ayat itu:
“…dan bagiku ada lagi keperluan lain padanya.” (Thaha: 18)
14. Dari ayat-ayat ini dapat dipetik pelajaran adanya kasih sayang terhadap hewan ternak, berbuat kebaikan dan berusaha melepaskannya dari hal-hal yang menyusahkannya.
15. Firman Allah I:
“Tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Thaha: 14)
Ingatnya seorang hamba kepada Rabb-nya itulah yang menjadi tujuan dia diciptakan dan di situlah kebaikan dan keberuntungannya. Tentunya tujuan menegakkan shalat itu adalah juga menegakkan tujuan utama ini. Kalau bukanlah karena shalat itu selalu berulang-ulang dikerjakan orang-orang mukmin dalam sehari semalam untuk mengingatkan mereka kepada Allah, di mana dalam shalat itu mereka terikat untuk selalu membaca Al Qur’an, memuji Allah, berdoa kepada-Nya, tunduk merendah kepada-Nya yang mana hal ini adalah ruh dari dzikir tersebut. Dan kalaulah bukan karena kenikmatan ini tentulah mereka termasuk orang-orang yang lalai.
Dzikir (mengingat Allah) itu adalah tujuan utama dari penciptaan makhluk. Dan seluruh peribadatan itu tidak lain adalah dzikrullah (mengingat Allah). Maka dzikir itu akan membantu seseorang melaksanakan ketaatan meskipun hal itu berat dirasakannya. Dzikir itu meringankan seseorang untuk menghadapi para penguasa yang sewenang-wenang, memudahkannya berdakwah mengajak manusia ke jalan Allah I.
Allah I berfirman:
“Supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau.” (Thaha: 33-34)
“Pergilah engkau dan saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai mengingat-Ku.” (Thaha: 42)
16. Kebaikan Nabi Musa u terhadap saudaranya Nabi Harun u, karena beliau memohon kepada Allah agar Harun juga menjadi Nabi bersamanya. Beliau juga mengharapkan adanya bantuan dan pertolongan dalam kebaikan ketika berdoa:
“Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku.” (Thaha: 29-32)
17. Kefasihan dan keterangan yang jelas adalah hal-hal yang sangat membantu dalam memberikan pelajaran dan dakwah. Oleh sebab itulah Nabi Musa meminta agar Allah melepaskan kekakuan lidahnya supaya mereka mengerti perkataannya. Lidah yang celat (gagap) bukanlah suatu aib selama ucapan masih dapat dipahami. Dan salah satu adab Nabi Musa bersama Rabb-nya, beliau tidak meminta agar Allah menghilangkan secara keseluruhan celat dari lidahnya. Namun beliau hanya meminta agar dihilangkan apa-apa yang dengan hilangnya perkara tersebut tercapailah tujuan yang diinginkan.
18. Perlunya sikap dan kata-kata yang lemah lembut ketika berbicara dengan seorang raja, penguasa atau pemimpin dan mendakwahi atau menasehati mereka. Sehingga hal itu akan memberikan pemahaman kepada mereka tanpa harus menimbulkan keributan atau kekerasan. Dan ini sangat diperlukan dalam keadaan apapun juga. Akan tetapi sudah tentu hal ini sangat diperlukan dalam persoalan-persoalan penting seperti dakwah ini. Yaitu jika diperlukan dengan sikap ini tujuan yang diharapkan, seperti firman Allah I:
“Mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 44)
19. Barangsiapa yang berada dalam taat kepada Allah I, selalu memohon pertolongan kepada Allah I, yakin dengan kebenaran janji Allah I, mengharapkan pahala dari Allah I, maka sesungguhnya Allah I bersamanya sehingga tidak ada lagi kekhawatiran padanya, karena firman Allah I: (“Janganlah kamu berdua merasa takut”) diteruskan oleh Allah I dengan:
“Sesungguhnya Aku bersama kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.” (Thaha 45)
Dan firman Allah I:
“Di waktu dia berkata kepada temannya: ”Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.” (At-Taubah: 40)
20. Sebab-sebab turunnya adzab Allah, adalah adanya dua keadaan ini:
“Sesungguhnya telah diwahyukan kepada kami, bahwa adzab itu akan ditimpakan atas orang-orang yang mendustakan dan berpaling.” (Thaha: 48)
Yaitu mendustakan semua berita yang datang dari Allah dan para Rasul-Nya; berpaling dari ketaatan terhadap Allah dan para Rasul-Nya. Dan sama seperti ini juga adalah firman Allah I:
“Tidak ada yang masuk ke dalamnya (an-naar) kecuali orang yang paling celaka, yang mendustakan dan berpaling.” (Al-Lail 15-16)
21. Firman Allah I:
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” (Thaha: 82)
Di sini Allah I mengungkapkan semua sebab atau jalan yang mendatangkan ampunan dari Allah, yaitu:
Yang pertama: At-Taubah (bertaubat), yakni rujuk dari segala perkara yang dibenci Allah lahir dan batin, kepada semua yang dicintai oleh Allah lahir dan batin. Dan taubat ini akan memutuskan dosa-dosa sebelumnya, besar maupun kecil.
Yang kedua: Al-Iman (beriman), yaitu pernyataan keyakinan dan pembenaran yang pasti yang meliputi semua yang diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya, yang menumbuhkan amalan dalam hati. Kemudian diikuti dengan amalan yang dilakukan oleh anggota tubuh. Dan tidak diragukan lagi bahwa apa yang di dalam hati, berupa keimanan kepada Allah, Malaikat, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-Nya dan hari akhir (hari kiamat) merupakan landasan dan asas ketaatan yang paling utama.
Tidak disangsikan pula bahwa sesuai dengan tingkat kekuatan iman tersebut, dia akan menjauhkan keburukan-keburukan; menolak hal-hal yang belum terjadi sehingga menghalangi orang yang beriman itu agar tidak terjatuh pada keburukan itu. Iman itu juga akan menjauhkan apa yang sudah terjadi dengan mendatangkan perkara yang dapat menghapusnya dan tiak ada keinginan untuk terus-menerus melakukannya di dalam hati. Maka seorang mukmin yang didalam hatinya terdapat keimanan dan cahayanya, tidak akan mengumpulkan kemaksiatan.
Yang ketiga: Amal shalih, ini mencakup semua amalan hati, anggota badan dan perkataan. Dan kebaikan itu akan menghapus kejelekan.
Yang keempat: Terus-menerus di atas keimanan dan hidayah serta menambahnya. Maka barangsiapa yang menyempurnakan keempat sebab ini, hendaklah dia bergembira dengan maghfiratullah (ampunan Allah) yang menyeluruh. Oleh sebab inilah Allah menyebutkan sifat-Nya ini dalam bentuk mubalaghah (menunjukkan lebih):“dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun.”
Kami cukupkan sampai di sini kisah Nabi Musa u dengan pelajaran berharga yang termuat dalam kisah tersebut bagi mereka yang mau memperhatikan.
(Diterjemahkan dari Taisir Al-Lathifil Mannan, hal. 180-187, karya Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t)
No comments:
Post a Comment