Translate this blog

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Sunday, 28 October 2012

Makan Ala Islam (3)

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah)

Menjilati jari-jemari usai makan atau memungut makanan yang berceceran kemudian memakannya, bagi sebagian orang perbuatan ini akan dipandang sebagai sesuatu yang menjijikkan dan tidak beradab. Namun dalam Islam, justru dua perkara itu menjadi adab yang dianjurkan. Memang terasa ganjil, tetapi memang demikian adanya. Dalam pembahasan berikut akan didapati penjelasan bahwa dua perbuatan itu mengandung banyak kebaikan yang kadang tidak pernah terpikirkan oleh kita.

Sesungguhnya mengikuti jejak Rasulullah n adalah sebuah kemenangan dan ketinggian derajat, kebahagian dan keselamatan dunia dan akhirat. Mengikuti jejak beliau merupakah sebuah hidayah, ridha dan cinta Allah. Sungguh sangatlah mustahil bila seseorang ingin meraih kemenangan dalam memperjuangkan diri dan agamanya dengan meninggalkan jalan Rasulullah n. Kalaupun dalam pandangannya dia menang dan jaya, maka hal tersebut tidak lebih dari fatamorgana.
Sinyal kemenangan dalam sejarah perjuangan yang telah dilakukan oleh hamba-hamba yang shalih pengikut Rasulullah n dari kalangan para shahabat dan generasi setelahnya adalah dengan mengikuti jejak Rasul mereka n. Mengikuti jejak beliau n dengan tidak menjatuhkan diri ke dalam kubangan ifrath dan tafrith. Ifrath artinya berlebih-lebihan sehingga menyebabkan terjatuh dalam sikap mengada-ada dalam permasalahan yang beliau tidak pernah ajarkan, sedangkan tafrith artinya meremehkan ajaran yang datang dari Rasulullah n, hanya menerima yang mencocoki perilakunya dan membuang yang tidak mencocokinya ke belakang punggung. Rasulullah n bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengangkat dengan kitab ini suatu kaum dan merendahkan kaum yang lain dengannya.” (HR. Muslim no. 817)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata: “Allah akan mengangkat derajat seorang hamba sesuai dengan (kekuatan dia dalam) berpegang dengan Sunnah Rasulullah n.”
Tidak ada seorangpun dari kita melainkan ingin mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah, mendapatkan kecintaan dan pengampunan dari-Nya. Sesungguhnya jawabannya adalah sangat singkat, yaitu firman Allah:
“Katakan (hai Nabi), jika kalian benar-benar cinta kepada Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Mengikuti jejak Rasulullah n adalah sebuah kecintaan dari Allah, sebuah keridhaan dan sebuah hidayah dari-Nya, Allah berfirman:
“Jika kalian menaatinya, niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk.” (An-Nur: 54)
Asy-Syaikh Abdurrahmah As-Sa’di t mengatakan: “Jika kalian menaati Rasulullah n niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus baik ucapan maupun perbuatan. Dan tidak ada jalan untuk mendapatkan hidayah melainkan dengan menaatinya, dan tanpa (menaatinya) tidak mungkin (akan mendapatkan hidayah) bahkan mustahil.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 521)
Di antara Sunnah Rasulullah n yang banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin dalam masalah menyantap hidangan adalah:
a.    Mengambil bila makanan itu terjatuh
Termasuk dalam tuntunan cara makan Rasulullah n adalah mengambil bila makanan tersebut terjatuh dari tangan. Ini bukan berarti bahwa Islam tidak menjaga kebersihan dan kesehatan. Oleh karenanya ketika mengambil makanan yang jatuh tersebut harus dibersihkan bila terdapat kotoran padanya. Dalam hal ini seseorang tidak boleh beranggapan bahwa mengambil makanan yang jatuh termasuk merusak adab Islam. Dengarkan apa yang diajarkan dan dibimbingkan oleh Rasulullahn kepada umatnya:
“Apabila terjatuh makanan salah seorang dari kalian, maka ambillah lalu bersihkan kotoran yang ada padanya kemudian makanlah dan jangan membiarkannya bagi setan.” (HR. Muslim no. 2033)
Dalam hadits ini, Rasulullah n menyebutkan salah satu adab makan dan minum yaitu apabila ada makanan yang terjatuh, dianjurkan bagi kita untuk mengambilnya bila tidak terdapat kotoran padanya, dan bila padanya ada kotoran maka hendaklah kita member-sihkannya bila memungkinkan. Bila tidak memungkinkan apa yang harus diperbuat?
Al-Imam An-Nawawi t mengatakan: “Di dalam hadits-hadits ini terdapat beberapa sunnah… (di antaranya) disunnahkan mengambil dan memakan makanan yang jatuh setelah dibersihkan dari kotoran, yang demikian ini bila makanan itu tidak terjatuh pada tempat najis. Bila terjatuh pada tempat yang najis, maka makanan tersebut akan menjadi najis dan harus dibasuh jika memungkinkan. Bila tidak memungkinkan maka dia memberikannya untuk binatang dan jangan dia membiarkan untuk setan.” (Syarah Shahih Muslim, 7/204)
Hadits Rasulullah n ini mengingatkan kepada kita jangan sampai kita membiarkan kesempatan bagi setan untuk menyantap makanan yang pada akhirnya mendapatkan kekuatan untuk mengganggu Bani Adam.
Telah dinukilkan oleh pengarang kitab Ar-Raudhah An-Nadiyyah, dari salah seorang ulama bahwa dia berkata: “Salah seorang sahabat kami berziarah (mengunjungi) kami, lalu kami keluarkan makanan baginya. Di saat mereka makan, banyak makanan yang berjatuhan dari tangannya dan berserakan di tanah. Dia berusaha dengan penuh kesungguhan untuk mengambilnya dan kemudian memakannya, lalu aku menjauh darinya dan hal ini menjadikan yang hadir terheran-heran. Pada suatu hari ada seseorang kesurupan, lalu setan tersebut berbicara melalui lisannya dan di antara perca-kapannya adalah: “Sesung-guhnya aku akan melewati orang yang sedang makan dan makanan itu sangat mengundang selera. Orang tersebut tidak mau memberiku sedikitpun, aku berusaha menyambarnya dari tangannya lalu dia mencabutnya balik dari tanganku.” (At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah, 3/81)
b. Tidak bernapas di bejana atau meniup makanan
Hal ini telah dijelaskan oleh Rasulullah n sebagaimana dalam riwayat Abu Qatadah z bahwa beliau berkata:
“Rasulullah n melarang seseorang untuk bernapas di dalam bejana.” (HR. Al-Bukhari no. 5630 dan Muslim no. 267)
Di dalam lafadz yang lain dalam riwayat Al-Bukhari:
“Apabila salah seorang dari kalian minum maka janganlah dia bernapas di bejana.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Ibnu Abi Syaibah menambahkan dari jalan yang lain dari Abdullah bin Abu Qatadah dari bapaknya tentang larangan bernapas di dalam bejana dan meniupnya. Hal ini juga memiliki penguat dari hadits Ibnu ‘Abbas dalam riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi bahwa Rasulullah melarang untuk bernapas di dalam bejana dan meniup padanya. Dan larangan meniup di dalam bejana disebutkan dalam banyak hadits, begitu juga larangan bernapas padanya.” (Lihat Fathul Bari, 10/106)
Demikianlah gambaran kesempurnaan Islam dalam mengatur urusan setiap insan, pengaturan yang penuh kebijakan dalam menjaga hubungan antara sesama. Mungkin bila engkau bernapas di dalam bejana akan menimbulkan bau yang busuk, terlebih bila yang bernapas itu memiliki bau mulut yang tidak sedap. Dan terkadang akan mengakibatkan sakit bila yang bernapas itu membawa penyakit yang berbahaya. Islam melarang setiap orang untuk mengganggu orang lain dan memudharatkan orang lain.
Di antara pelajaran yang diambil adalah pemeliharaan Islam terhadap kesehatan individu pemeluknya, karena terkadang bersama napas tersebut keluar air ludah, dahak, dan bau yang busuk yang mengakibatkan berubahnya bau air dan berikut bejananya (lihat Fathul Bari, 10/106). Lihat pula ucapan Al-Imam Al-Qurthubi di dalam Fathul Bari, 10/108.
Tentang meniup dalam bejana telah disebutkan oleh Rasulullah n larangannya dalam hadits berikut:
Dari Abu Sa’id Al-Khudri ia berkata: “Rasulullah n telah melarang meniup di dalam minuman.” Seseorang lalu berkata: “(Bagaimana bila) aku melihat kotoran di dalam bejana?” Lalu beliau berkata: “Tuangkanlah ia.” Dia berkata: “Aku tidak bisa minum dengan satu napas?” Beliau berkata: “Jauhkanlah bejana itu dari mulutmu.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ad-Darimi di dalam Sunan beliau no. 2029, Al-Imam Malik di dalam kitab Al-Muwattha‘ 2/945, Al-Imam At-Tirmidzi (1887) dan Al-Imam Ahmad (3/32) semuanya dari jalan Ayyub bin Habib dan beliau mendengar Abu Mutsanna An-Nuhani menyebutkan dari Abu Sa’id Al-Khudri z. Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t di dalam kitab Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1538 dan di dalam kitab Ash-Shahihah no. 385, dishahihkan pula oleh Asy-Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali dalam kitab Bahjatun Nazhirin, 2/70.
Juga hadits dari Ibnu ‘Abbas c:
“Bahwa Rasulullah n telah melarang bernapas di dalam bejana atau melarang untuk meniup padanya.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi di dalam Sunan beliau no. 1975, Ibnu Majah no. 3429, Abu Dawud no. 3728 semuanya dari jalan ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas c. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t di dalam kitab Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1539 dan Shahih Sunan Abu Dawud no. 3171, Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2768, Al-Misykat no. 4277 dan Al-Irwa` no. 1977. Dishahihkan pula oleh Asy-Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali dalam kitab Bahjatun Nazhirin, 2/70.
Lalu bagaimana dengan hadits Rasulullah n sebagaimana dalam riwayat Anas bin Malik z yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 5631 dan Muslim no. 2028:
“Adalah Rasulullah n bernapas tiga kali ketika minum.”
Bukankah hadits ini bertentangan dengan hadits yang melarang bernapas pada bejana?
Al-Imam An-Nawawi t menjelaskan bahwa kedua hadits ini tidak bertentangan. Beliau mengatakan yang dimaksud hadits ini adalah di luar bejana (bukan di dalamnya seperti hadits Abu Sa’id dan Ibnu ‘Abbas di atas).
b.    Menjilat tangan atau bejana
Termasuk dari pendidikan tawadhu’ dari Rasulullah n adalah agar bila selesai makan seseorang hendaknya menjilat tangannya. Hal ini bukan termasuk sifat kerakusan atau keluar dari adab yang Islami. Sungguh adab yang Islami adalah apabila sejalan dan seiring dengan tuntunan Rasulullah n. Rasulullah n telah menjelaskan adab ini dalam sebuah sabdanya:
“Apabila salah seorang dari kalian makan, maka janganlah dia mengusap tangannya sampai dia menjilatnya atau memberikan kepada orang lain untuk menjilatnya.”1
Rasulullah n menyebutkan hikmah dalam perkara ini sebagai berikut:
“Sesungguhnya dia tidak mengetahui tempat terletaknya barakah.”
Al-Imam An-Nawawi t dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan: “Maknanya, wallahu ‘alam, janganlah dia mengusap tangannya sampai dia menjilatnya. Dan jika dia tidak melakukannya, hendaknya dia memberikan orang lain untuk menjilatnya. Tentunya orang-orang yang tidak merasa jijik dengan hal tersebut, seperti kepada istrinya, budaknya, anaknya, atau pembantunya, yang mereka itu mencintainya dan mereka merasakan kenikmatan atas hal yang demikian.” (Syarah Shahih Muslim, 7/206)
Beliau juga menjelaskan tentang makna hadits Rasulullah n: “Kalian tidak mengetahui tempat terletaknya barakah”: “Maknanya, wallahu ‘alam, bahwa makanan yang dimakan oleh seseorang terdapat padanya barakah. Namun setiap manusia tidak mengetahui di mana letak barakah tersebut. Mungkin saja barakah tersebut terdapat pada apa yang telah dia makan atau pada apa yang tersisa di tangannya, atau yang masih ada di bejana, atau yang berjatuhan. Sehingga sudah sepantasnya setiap orang memperhatikannya agar bisa mendapatkan barakahnya.” (Syarah Shahih Muslim, 7/206)
Ibnu Hajar t menjelaskan: “Di dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap orang yang membenci perbuatan menjilat tangan (setelah makan) karena alasan jijik. Perasaan jijik itu terjadi bila dia melakukan penjilatan ketika makan, karena setelah menjilatnya dia mengambil makanan lagi dan di tangannya terdapat air liur. Al-Khaththabi berkata: “Suatu kaum telah menganggap bahwa menjilat jari adalah perbuatan kotor, (anggapan) ini disebabkan kerusakan akal mereka karena sifat angkuh, seakan-akan mereka tidak mengetahui bahwa makanan yang dijilat (yang berada) di tangannya atau di bejana makannya adalah bagian dari makanan yang mereka telah santap. Dan jika semua bagian makanan tersebut adalah tidak jijik, lalu bagaimana sisa makanan yang sedikit akan menjadi jijik? Dan menjilat jari itu tidaklah lebih besar perkaranya dibanding dengan menjilat seluruh tangan (ketika makan). Sungguh bagi orang yang berakal tidak ada keraguan lagi bahwa hal itu tidak mengapa. Bahkan terkadang seseorang berkumur-kumur lalu menggosok giginya dan seluruh bagian dalam mulutnya dengan jari-jemarinya, dan setelah itu tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa ini menjijikkan atau termasuk adab yang jelek. Di dalam hadits ini terdapat anjuran mengusap tangan setelah makan.” (Fathul Bari, 9/662)
Beliau menjelaskan: “Dalam hadits Ka’b bin ‘Ujrah yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ath-Thabrani di dalam Al-Ausath terdapat sifat (tata cara) menjilat jari-jemari: “Aku melihat Rasulullah n  makan dengan tiga jari: Ibu jari, telunjuk dan jari tengah, kemudian aku melihat beliau menjilat ketiga jari beliau sebelum beliau mengelapnya. (Beliau memulai dengan) jari tengah kemudian telunjuk dan lalu ibu jari.” Syaikh kami berkata di dalam At-Tirmidzi, seakan-akan rahasianya adalah bahwa jari tengah lebih banyak terlumuri makanan sehingga sisa makanan padanya lebih banyak dari yang lain, dan karena lebih panjang tentu lebih dahulu turun dan menyentuh makanan. Dan mungkin beliau menjilatnya mulai dari ujung ketiga jarinya menuju ke atas, dan bila beliau memulai dari jari tengah lalu pindah ke jari telunjuk. Demikian juga ibu jarinya, wallahu ‘alam.” (lihat maraji’ (rujukan) sebelumnya)
c. Makan makanan yang sangat panas
Di antara perkara yang banyak dilalaikan oleh mayoritas orang yang justru dengan melalaikannya akan menyebabkan luputnya banyak barakah adalah memakan makanan atau minumam dalam keadaan sangat panas. Dan semestinya kita makan atau minum dalam keadaan dingin atau tidak terlalu panas. Asma‘ bintu Abu Bakr c apabila dibawakan tsarid kepada beliau, beliau menyuruh menutupnya sehingga hilang panasnya yang sangat dan asapnya. Dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah n bersabda: “Hal ini akan menyebabkan barakah lebih banyak.”2
Abu Hurairah z berkata: “Makanan tidak boleh dimakan melainkan setelah hilang asap panasnya.”3
Sungguh para ulama telah mengecam orang-orang yang memakan makanan dalam keadaan yafur, yaitu mereka makan makanan dalam keadaan panas sekali dan dia tidak bersabar menunggu sampai dingin. Akibatnya, bila dia makan dalam keadaan panas akan terbakar mulutnya dan matanya menangis, yang terkadang mengakibatkan dia mengeluarkan makanan tersebut dari dalam mulutnya atau dengan segera mengi-ringinya dengan meminum air dingin dikarenakan ususnya terbakar.
Pertanyaan: Ada beberapa minuman yang tidak diminum melainkan dalam keadaan panas seperti minum teh dan sebagainya, lalu bagaimana jalan keluarnya?
Jawabnya: Hendaknya dia menunggu sampai menghilang asap panasnya kemudian dia minum, walaupun dalam keadaan panas. Minumlah dengan tenang sambil menikmatinya.
Wallahu a’lam.

1 Hadits ini diriwayatkan dari beberapa shahabat Rasulullah n, di antaranya Abdullah bin ‘Abbas z, dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 5456, Al-Imam Muslim no. 2031, Al-Imam Ahmad no. 3319, Al-Imam Abu Dawud no. 3349, Al-Imam Ibnu Majah no. 3260 dan Al-Imam Ad-Darimi no. 1940. Diriwayatkan juga dari shahabat Jabir bin Abdullah z, dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim no. 2033, Al-Imam Ahmad no. 14410, Al-Imam Ibnu Majah no. 2261. Juga dari shahabat Ka’b bin Malik z, dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim no. 2032, Al-Imam Abu Dawud no. 4450, Al-Imam Ahmad no. 25914 dan Al-Imam Ad-Darimi no. 1946
2 Dikeluarkan oleh Al-Imam Ad-Darimi, 2/100; Ibnu Hibban (no. 1344); Al-Imam Al-Hakim 4/118; Ibnu Abid Dunya di dalam kitab Al-Ju’, 14/2 dan Al-Baihaqi, 7/280 dari jalan Qurrah bin Abdurrahman dari Ibnu Syihab, dari ‘Urwah bin Az-Zubair dari Asma` bintu Abu Bakr, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Silsilah Ahadits Ash-Shahihah no. 392 dan di dalam kitab Al-Irwa` pada penjelasan hadits no. 1978
3 Dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Baihaqi, 7/280; dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Irwa’ no. 1978.

No comments: