Kategori: Majalah "Syariah" Edisi 3
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran)Cinta bukanlah milik anak manusia, namun anugerah dari Rabb alam semesta. Siapa yang dapat mencegah, bila cinta Rasulullah r tertambat pada seorang wanita shalihah, ‘alimah, faqihah, yang tertulis namanya di sepanjang perjalanan sejarah manusia…
Dialah ‘Aisyah bintu Abi Bakr ‘Abdillah bin Abi Quhafah ‘Utsman bin ‘Amir bin ‘Amr bin Ka’b bin Sa’d bin Taim bin Murrah bin Ka’b bin Lu`ai Al-Qurasyiyyah At-Taimiyyah Al-Makkiyyah x. Dia mendapat sebutan Al-Humaira`. Ibunya bernama Ummu Ruman bintu ‘Amir bin ‘Uwaimir bin ‘Abdi Syams bin ‘Attab bin Udzainah al-Kinaniyyah. Dia lahir ketika cahaya Islam telah memancar, sekitar delapan tahun sebelum hijrah. Dihabiskan masa kanak-kanaknya dalam asuhan sang ayah, kekasih Rasulullah r, seorang shahabat yang mulia, Abu Bakr Ash-Shiddiq z.
Belum tuntas masa kanak-kanaknya ketika datang pinangan Rasulullah r. Usianya baru menginjak enam tahun saat Rasulullah r melaksanakan akad pernikahan dengannya. Wanita mulia yang diperlihatkan oleh Allah I kepada Rasulullah r dalam wahyu berupa mimpi untuk memberitakan bahwa dia kelak akan menjadi istri beliau.
Dilaluinya hari-hari setelah itu di tengah keluarganya hingga tiba saatnya Rasulullah r menjemputnya –tiga tahun kemudian, seusai beliau kembali dari pertempuran Badr– untuk memasuki rumah tangga yang dipenuhi cahaya nubuwwah di Madinah. Tidak satu pun di antara istri-istri beliau yang dinikahi dalam keadaan masih gadis kecuali ‘Aisyah x.
Seorang wanita yang mulia, sabar bersama Rasulullah r di tengah kefakiran dan rasa lapar, hingga terkadang hari-hari yang panjang berlalu tanpa nyala api untuk memasak makanan apa pun. Yang ada hanyalah kurma dan air.
Seorang istri yang menyenangkan suaminya yang mulia, menggiring kegembiraan ke dalam hatinya, menghilangkan segala kepayahan dalam menjalani kehidupan dakwah untuk menyeru manusia kepada Allah.
Allah I memberikan banyak keutamaan baginya, di antaranya dengan meraih kecintaan Rasulullah r. Kecintaan yang tak tersamarkan, tatkala Rasulullah r menyatakan hal itu dari lisannya yang mulia, hingga para shahabat pun berusaha mendapatkan ridha Rasulullah r dalam hal ini. Siapa pun yang ingin memberikan hadiah kepada beliau biasa menangguhkannya hingga tiba saatnya Rasulullah r berada di tempat ‘Aisyah.
Di sisi lain, ada istri-istri Rasulullah r, wanita-wanita mulia yang tak lepas dari tabiat mereka sebagai wanita. Tak urung kecemburuan pun merebak di kalangan mereka sehingga mereka mengutus Ummu Salamah x untuk menyampaikan kepada Rasulullah r agar mengatakan kepada manusia, siapa pun yang ingin memberikan hadiah hendaknya memberikannya di mana pun beliau berada saat itu.
Ummu Salamah x pun mengungkapkan hal itu saat beliau berada di sisinya, namun beliau tidak menjawab sepatah kata pun. Diulanginya permintaan itu setiap kali Rasulullah r datang kepadanya, dan beliau pun tetap tidak memberikan jawaban. Pada kali yang ketiga Ummu Salamah x mengatakannya, beliau menjawab, “Janganlah engkau menggangguku dalam permasalahan ‘Aisyah, karena sesungguhnya Allah tidak pernah menurunkan wahyu dalam keadaan diriku di dalam selimut salah seorang pun dari kalian kecuali ‘Aisyah.”
Kemuliaan demi kemuliaan diraihnya dari sisi Allah I. Dari banyak peristiwa yang dialaminya, Allah I menurunkan ayat-ayat-Nya. Suatu ketika, ‘Aisyah turut dalam perjalanan Rasulullah r. Rombongan itu pun singgah di suatu tempat. Tiba-tiba ‘Aisyah x merasa kalungnya hilang, sementara kalung itu dipinjamnya dari Asma`, kakaknya.
Rasulullah r pun memerintahkan para shahabat yang turut dalam rombongan itu untuk mencarinya. Terus berlangsung pencarian itu hingga masuk waktu shalat. Akan tetapi ternyata tak ada air di tempat itu sehingga para shahabat pun shalat tanpa wudhu. Tatkala bertemu dengan Rasulullah r, mereka mengeluhkan hal ini kepada beliau. Saat itulah Allah I menurunkan ayat-Nya tentang tayammum.
Melihat kejadian ini, Usaid bin Hudhair z mengatakan kepada ‘Aisyah, “Semoga Allah memberikan balasan kepadamu berupa kebaikan. Demi Allah, tidak pernah sama sekali terjadi sesuatu padamu kecuali Allah jadikan jalan keluar bagimu dari permasalahan itu, dan Allah jadikan barakah di dalamnya bagi seluruh kaum muslimin.”
Satu peristiwa penting tercatat dalam kehidupan ‘Aisyah. Allah I menyatakan kesucian dirinya. Berawal dari kepulangan Rasulullah r dari pertempuran Bani Musthaliq yang ‘Aisyah x turut dalam rombongan itu. Di tengah perjalanan, ketika rombongan tengah beristirahat, ‘Aisyah x pergi untuk menunaikan hajatnya. Namun ia kehilangan kalungnya sehingga kembali lagi untuk mencarinya. Berangkatlah rombongan dan ‘Aisyah tertinggal tanpa disadari oleh seorang pun. ‘Aisyah menunggu di tempatnya semula dengan harapan rombongan itu kembali hingga ia tertidur.
Saat itu muncullah Shafwan ibnul Mu’aththal z yang tertinggal dari rombongan Rasulullah r. Melihat ‘Aisyah, dia pun beristirja’1 dan ‘Aisyah terbangun mendengar ucapannya. Tanpa mengatakan sesuatu pun dia persilakan ‘Aisyah x untuk naik kendaraannya dan dituntunnya hingga bertemu dengan rombongan.
Kaum munafiqin yang ditokohi oleh ‘Abdullah bin Ubai bin Salul menghembuskan berita bohong tentang ‘Aisyah x. Berita itu terus beredar dan mengguncangkan kaum muslimin, termasuk Rasulullah r, sedangkan ‘Aisyah sendiri tidak mendengarnya karena dia langsung jatuh sakit selama sebulan setelah kepulangan itu. Hanya saja ia merasa heran karena tidak menemukan sentuhan kelembutan Rasulullah r selama sakitnya sebagaimana biasa bila dia sakit.
Akhirnya berita bohong itu pun sampai kepada ‘Aisyah melalui Ummu Misthah x. ‘Aisyah pun menangis sejadi-jadinya dan meminta izin kepada Rasulullah r untuk tinggal sementara waktu dengan orang tuanya. Beliau pun mengizinkan.
Sementara itu, wahyu yang memutuskan perkara ini belum juga turun sehingga Rasulullah r meminta pendapat ‘Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid c dalam urusan ini. Beliau pun menemui ‘Aisyah x, mengharap kejelasan dari peristiwa ini.
Di puncak kegalauan itu, dari atas langit Allah menurunkan ayat-ayat-Nya yang membebaskan ‘Aisyah x dari segala tuduhan yang disebarkan oleh orang-orang munafiq. ‘Aisyah x, wanita mulia yang mendapatkan pembebasan Allah I dari atas langit.
Dia melukiskan keadaannya pada waktu itu, “Demi Allah, saat itu aku tahu bahwa diriku terbebas dari segala tuduhan itu dan Allah akan membebaskan aku darinya. Namun, demi Allah, aku tidak pernah menyangka Allah akan menurunkan wahyu yang dibaca dalam permasalahanku, dan aku merasa terlalu rendah untuk dibicarakan Allah di dalam ayat yang dibaca. Aku hanya berharap, Rasulullah r akan melihat mimpi yang dengannya Allah membebaskan diriku dari tuduhan itu.” Ayat-ayat itu terus terbaca oleh seluruh kaum muslimin hingga hari kiamat di dalam Surat An-Nur ayat 11 beserta sembilan ayat berikutnya.
Wanita mulia ini menjalani hari-harinya bersama Rasulullah r hingga tiba saatnya beliau r kembali ke hadapan Allah I. Delapan belas tahun usianya, saat Rasulullah r wafat di atas pangkuannya setelah hari-hari terakhir selama sakit beliau memilih untuk dirawat di tempatnya. Beliau pun dikuburkan di kamar ‘Aisyah x.
Sepeninggal beliau, ‘Aisyah x menyebarkan ilmu yang dia dapatkan dalam rumah tangga nubuwwah. Riwayatnya banyak diambil oleh para shahabat yang lain dan tercatat dalam kitab-kitab. Dia menjadi seorang pengajar bagi seluruh kaum muslimin.
Keutamaan dari sisi Allah banyak dimilikinya, hingga Rasulullah r menyatakan, “Keutamaan ‘Aisyah atas seluruh wanita bagaikan keutamaan tsarid2 atas seluruh makanan.” Bahkan Jibril u menyampaikan salam padanya melalui Rasulullah r.
Tiba waktunya ‘Aisyah x kembali kepada Rabb-Nya. Wanita mulia ini wafat pada tahun 57 H dan dikuburkan di pekuburan Baqi’. Ilmunya, kisah hidupnya, keharuman namanya tak pernah sirna dari goresan tinta para penuntut ilmu. Semoga Allah meridhainya.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Istirja’ adalah ucapan innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun
2 Tsarid adalah makanan dari adonan tepung dicampur kuah daging, terkadang disertakan pula dagingnya.
No comments:
Post a Comment