Translate this blog

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Saturday, 6 October 2012

Pendamping Rasullullah di Negeri Kekal Abadi

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran)
Wanita mulia, putri seorang yang mulia. Kemuliaan dicurahkan oleh Rabb-nya dengan puasa dan shalat malamnya. Kemuliaan yang membuat dirinya tetap berdampingan dengan orang yang paling mulia, Rasulullah.
Putri seorang yang paling mulia setelah Abu Bakr Ash-Shiddiq, Hafshah bintu ‘Umar bin Al-Khaththab bin Nufail bin Abdul ‘Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qarth bin Razzah bin ‘Ady bin Ka’b bin Lu`ay bin Ghalib Al-Qurasyiyyah Al-‘Adawiyyah x. Ibunya bernama Zainab bintu Mazh’un bin Hubaib bin Wahb bin Hudzafah bin Jumah Al-Jumahiyah. Dia dilahirkan lima tahun sebelum masa Rasulullah r diangkat sebagai nabi.
Hafshah merangkai kisah hidupnya dalam ikatan pernikahannya dengan Khumais bin Hudzafah As-Sahmi z, seorang shahabat mulia yang turut terjun dalam pertempuran Badr. Namun ikatan itu harus terurai. Khumais terluka dalam peperangan Uhud hingga akhirnya meninggal dunia di Madinah.
Dilaluinya kesunyian hari-hari tanpa seseorang di sisinya. Kesedihan tak tersembunyi dari wajahnya. Betapa pilu hati ‘Umar bin Al-Khaththab z melihat semua itu. Betapa ingin dia mengusir kesedihan hati putrinya. Terlintas di benaknya sosok seorang yang mulia, Abu Bakr Ash-Shiddiq z. Usai masa ‘iddah Hafshah, bergegas ‘Umar berangkat menemui Abu Bakr. Dikisahkannya peristiwa yang menimpa putrinya, kemudian ditawarkannya Abu Bakr untuk menikah dengan putri tercintanya. Akan tetapi, ‘Umar tidak mendapati jawaban sepatah kata pun dari Abu Bakr.
Remuk redamlah hati ‘Umar. Dia bangkit meninggalkan Abu Bakr dengan menyisakan kemarahan. Kemudian ‘Umar menemui ‘Utsman bin ‘Affan z yang baru saja kehilangan istrinya, Ummu Kultsum, putri Rasulullah r. Diceritakannya pula tentang putrinya dan ditawarkannya ‘Utsman untuk menikahi putrinya. ‘Utsman pun terdiam, kemudian memberikan jawaban yang membuat hati ‘Umar semakin hancur, “Kurasa, aku tidak ingin menikah dahulu hari-hari ini.” ‘Umar kembali dengan membawa bertumpuk kekecewaan.
Dengan penuh gundah, ‘Umar menemui Rasulullah r. Diungkapkannya segala yang dialaminya. Merekahlah senyuman Rasulullah r, lalu beliau berkata, “Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada ‘Utsman, dan ‘Utsman akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah.”
Siapa yang menyangka, ternyata Rasulullah r meminang Hafshah, putri shahabatnya, ‘Umar bin Al-Khaththab z. Tak terkira kegembiraan yang memenuhi hati ‘Umar. Seusai menikahkan Rasulullah r dengan putrinya, ‘Umar segera mendatangi Abu Bakr untuk mengabarkan peristiwa besar yang dia alami sebagai suatu kemuliaan dari Allah I diiringi dengan permintaaan maaf. Abu Bakr tersenyum mendengar penuturan ‘Umar, “Barangkali waktu itu engkau sangat marah padaku. Sesungguhnya aku tidak memberikan jawaban karena aku telah mendengar Rasulullah r menyebut-nyebut Hafshah. Akan tetapi, aku tidak ingin menyebarkan rahasia beliau. Seandainya Rasulullah r tidak menikahinya, pasti aku akan menikah dengannya.”
Rasulullah r menikah dengan Hafshah pada tahun ketiga hijriyah, dalam usia Hafshah yang kedua puluh tahun. Semenjak saat itu, Hafshah hadir dalam rumah tangga Rasulullah r, setelah ‘Aisyah x. Pada tahun itu pula beliau menikahkan ‘Utsman bin ‘Affan z dengan putri beliau, Ruqayyah x.
Dalam rentang perjalanannya menapaki rumah tangga Rasulullah r, tercatat kisah yang mengguratkan sejarah besar. Dari peristiwa itulah turun ayat-ayat dalam Surat At-Tahrim sebagai teguran Allah I dari atas langit. Berawal kisah ini dari singgahnya Rasulullah r di rumah Zainab bintu Jahsy x. Beliau tertahan beberapa lama karena menikmati madu yang dihidangkan Zainab. Tatkala mendengar hal itu, meluaplah riak-riak kecemburuan ‘Aisyah. Dia kabarkan hal ini kepada Hafshah. Kemudian ‘Aisyah dan Hafshah pun bersepakat, apabila beliau menemui salah seorang dari mereka berdua, hendaknya dikatakan bahwa beliau telah makan buah Maghafir.
Inilah yang dilakukan oleh ‘Aisyah dan Hafshah, hingga Rasulullah r mengatakan, “Aku tidak makan buah Maghafir. Aku hanya minum madu di tempat Zainab, dan aku tidak akan mengulanginya lagi.”
Pun tak hanya itu yang terjadi. Peristiwa lain turut mengiringi, ketika Rasulullah r mendatangi budak beliau, Mariyah Al-Qibthiyyah, di rumah Hafshah. Kecemburuan Hafshah pun membuncah, “Ya Rasulullah, engkau lakukan hal itu di rumahku, di atas tempat tidurku dan pada hari giliranku.” Rasulullah r pun segera meredakan kemarahan Hafshah. Beliau menyatakan bahwa sejak saat itu Mariyah haram bagi beliau. Tak lupa beliau berpesan agar Hafshah tidak menceritakan apa yang terjadi pada siapa pun. Namun, Hafshah tidak memegangi pesan Rasulullah r. Dia mengungkap peristiwa itu di hadapan ‘Aisyah x.
Siapakah yang dapat bersembunyi dari Allah? Tentang dua peristiwa ini, Allah turunkan wahyu kepada Nabi-Nya r agar tidak mengharamkan segala yang Allah halalkan, semata-mata untuk mencari keridhaan istri-istri beliau. Allah kabarkan kepada beliau tentang apa yang diperbuat ‘Aisyah dan Hafshah c, disertai pula teguran kepada mereka berdua untuk bertaubat kepada Allah I. Kisah kedua wanita yang mulia ini terus dibaca, terus membuahkan banyak faidah.
Perjalanan rumah tangga dengan segenap pasang surutnya. Suatu ketika, pernah Rasulullah r hendak menceraikannya. Namun Jibril u menahan beliau, “Kembalilah kepada Hafshah! Sesungguhnya dia wanita yang banyak puasa dan shalat malam, dan dia adalah istrimu kelak di dalam jannah (surga).” Hafshah bintu ‘Umar x, wanita mulia yang meraih kemuliaan dengan puasa dan shalat malamnya.
Hafshah menikmati bimbingan dalam liputan cahaya kenabian. Dia meriwayatkan banyak ilmu dari sisi suaminya yang tercinta, Rasulullah r, juga dari ayahnya, ‘Umar ibnul Khaththab z. Sepeninggal Rasulullah r, dia sebarkan ilmu, hingga tercatatlah deretan nama para shahabat yang meriwayatkan dari Hafshah bintu ‘Umar x, di antaranya Abdullah bin ‘Umar c, saudara laki-lakinya.
Masa terus berjalan, khilafah berganti. Pada tahun keempatpuluh lima setelah hijrah, pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c, Hafshah bintu ‘Umar x kembali kepada Rabb-nya. Kala itu, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Hurairah c terlihat turut mengusung jenazah Hafshah x dari kediamannya hingga ke kuburnya. Wanita mulia itu telah tiada, kehidupannya meninggalkan keharuman ilmu dan guratan berharga bagi umat ini.  Hafshah bintu ‘Umar, semoga Allah meridhainya.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber bacaan:
1.     Al-Ishabah karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, 7/581-582
2.     Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, 8/807-808
3.     Nashihati lin Nisa` karya Ummu Abdillah Al-Wadi’iyyah, hal. 130
4.    Siyar A’lamin Nubala` karya Al-Imam Adz-Dzahabi, 2/227-231
5.    Tahdzibul Kamal karya Al-Imam Al-Mizzi, 35/153-154

No comments: