Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 036
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi)“Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang halim (cerdik dan bijaksana). Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Hai bapakku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’
Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu,’ Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’.” (Ash-Shaffat: 100-109)
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
Seorang anak yang cerdik dan bijaksana. Yang dimaksud adalah di saat dia dewasa, dia memiliki sifat ini.
Para ulama berbeda pendapat tentang siapa dari anak Ibrahim q yang
dimaksud dalam ayat tersebut. Sebagian mengatakan yang dimaksud adalah
Ishaq. Pendapat ini diriwayatkan dari sebagian salaf seperti Ikrimah dan
Qatadah. Ada juga yang menukil dari beberapa sahabat, di antaranya
‘Abbas bin Abdil Muththalib, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud, Umar bin
Al-Khaththab, Jabir, dan yang lainnya g.
Sebagian lagi mengatakan yang dimaksud adalah Isma’il q, dan ini
pendapat yang dinukilkan dari Abu Hurairah dan Abu Thufail Amir bin
Watsilah. Juga diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas g. Dan ini
pendapat Sa’id bin Musayyab, Asy-Sya’bi, Yusuf bin Mihran, dan yang
lainnya. Dan pendapat ini dikuatkan oleh para ahli tahqiq seperti
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Katsir, Abdurrahman As-Sa’di,
Asy-Syinqithi, dan yang lainnya rahimahumullah. (Lihat Tafsir Ibnu
Katsir, Al-Qurthubi, Taisir Al-Karim Arrahman, Adhwa`ul Bayan, dan
Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 4/331-336)
Pendapat yang terkuat adalah yang kedua. Kuatnya pendapat ini ditinjau dari beberapa sisi:
Pertama: bahwa Allah l mengabarkan berita gembira kepada Ibrahim q
tentang anak yang akan disembelih. Kemudian setelah menyebut kisahnya
secara sempurna, Allah l menjelaskan setelahnya berita gembira tentang
lahirnya Ishaq q:
“Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq, seorang
nabi yang termasuk orang-orang yang shalih. Kami limpahkan keberkahan
atasnya dan atas Ishaq.” (Ash-Shaffat: 112-113)
Maka ini menunjukkan bahwa ada dua berita gembira, berita tentang anak yang akan disembelih serta anak yang bernama Ishaq.
Kedua: bahwa Allah k tidak menyebut tentang kisah penyembelihan
kecuali pada surat Ash-Shaffat saja, sedangkan pada ayat-ayat yang lain
hanya disebutkan berita gembira tentang lahirnya Ishaq secara khusus.
Ketiga: Allah l berfirman:
“Dan istrinya berdiri (di balik tirai) lalu dia tersenyum. Maka
Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan
dari Ishaq (akan lahir putranya) Ya’qub.” (Hud: 71)
Kalau sekiranya yang disembelih itu Ishaq, tentu Ibrahim q akan
menganggap terjadinya penyalahan janji tentang munculnya Ya’qub dari
keturunan Ishaq q.
Keempat: bahwa yang disifati dengan sifat sabar adalah Isma’il q, seperti dalam firman-Nya:
“Dan (ingatlah kisah) Isma’il, Idris, dan Dzulkifli. Mereka semua termasuk orang-orang yang sabar.” (Al-Anbiya`: 85)
Dan masih ada lagi sisi penguat yang menunjukkan bahwa yang akan disembelih adalah Isma’il q, bukan Ishaq q.
Syaikhul Islam t menjelaskan: “Yang wajib diyakini bahwa yang
dimaksud (ayat ini) adalah Isma’il. Dan inilah yang ditunjukkan oleh
Al-Kitab dan As-sunnah, serta penguat-penguat yang masyhur. Ini pula
yang disebutkan dalam Kitab Taurat yang ada di tangan ahli kitab, di
mana disebutkan padanya bahwa (Allah k) berfirman kepada Ibrahim:
“Sembelihlah anakmu yang satu-satunya.”
Dalam naskah yang lain: بَكْرَكَ (anak semata wayang dari ibu yang satu).
Dan Isma’il adalah anak satu-satunya yang dari satu ibu (pada masa
itu) berdasarkan kesepakatan kaum muslimin dan ahli kitab. Namun ahli
kitab mengubah lalu menambah kata ‘Ishaq’, lantas dkutip oleh sebagian
orang dan menyebar di sebagian kaum muslimin bahwa yang dimaksud adalah
Ishaq, padahal asalnya adalah dari perubahan ahli kitab.” (Majmu’
Fatawa, 4/331-332)
Penjelasan Ayat
As-Sa’di t ketika menjelaskan ayat-ayat ini mengatakan: “(Ibrahim
berkata): ‘Wahai Rabb-ku, berikanlah aku seorang anak yang termasuk dari
kalangan orang-orang yang shalih’. Beliau mengucapkan itu tatkala ia
telah putus asa dari kaumnya di mana beliau tidak melihat kebaikan pada
mereka. Beliau pun berdoa kepada Allah l agar memberikan karunia
kepadanya seorang anak yang shalih, yang Allah l memberi manfaat baginya
dalam kehidupan dan setelah kematiannya. Maka Allah l pun
mengabulkannya dan berfirman: ‘Maka Kami memberi kabar gembira kepadanya
dengan lahirnya seorang anak yang cerdik dan bijaksana’, dan tidak ada
keraguan bahwa dialah Isma’il q. Karena Allah l menyebutkan berita
gembira setelahnya dengan lahirnya Ishaq q dan karena Allah l
menyebutkan tentang berita gembira lahirnya Ishaq q dengan firman-Nya:
“Dan istrinya berdiri (di balik tirai) lalu dia tersenyum. Maka
Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan
dari Ishaq (akan lahir putranya) Ya’qub.” (Hud: 71)
Sehingga ini menunjukkan bahwa Ishaq bukanlah yang akan disembelih.
Dan Allah l memberi sifat Isma’il dengan kebijaksanaan, yang mengandung
kesabaran, akhlak yang baik, lapang dada, serta memaafkan orang yang
bersalah. Tatkala anak tersebut telah mencapai waktu untuk bisa bekerja
bersama ayahnya dan biasanya hal itu di saat mencapai usia baligh, dia
pun senang untuk melakukan yang terbaik untuk kedua orangtuanya, telah
hilang kesulitannya dan telah terasa manfaatnya. Maka Ibrahim q berkata
kepadanya: ‘Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu,’ yaitu Allah l memerintahkanku untuk menyembelihmu.
Karena mimpi para nabi adalah wahyu, maka perhatikanlah apa pendapatmu,
sesungguhnya perintah Allah l harus dijalankan.
Maka Isma’il q yang senantiasa bersabar dan mengharap keridhaan
Rabb-nya serta berbakti kepada ayahnya berkata: ‘Wahai ayahandaku,
lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, engkau akan mendapatiku
–insya Allah- termasuk di antara orang-orang yang bersabar.’
Dia mengabarkan kepada ayahnya bahwa dia telah menetapkan dirinya
di atas kesabaran dan menggandengkan hal tersebut dengan kehendak Allah
k. Sebab tidaklah terjadi sesuatu tanpa kehendak-Nya. Tatkala keduanya
telah berserah diri, yaitu Ibrahim dan Isma’il anaknya, dalam keadaan
dia telah menetapkan untuk membunuh anak sekaligus buah hatinya, sebagai
wujud menaati perintah Rabbnya dan takut dari siksaan-Nya, sedangkan
sang anak telah menetapkan dirinya di atas kesabaran, dan Ibrahim telah
meletakkan Isma’il dengan membelakangi wajahnya dan tengkuknya berada di
atas, ia menidurkannya dan akan menyembelihnya, wajahnya dibalik agar
dia tidak melihat ke wajahnya di saat penyembelihan. Kamipun
memanggilnya dalam kondisi yang menegangkan dan keadaan yang sangat
mencekam itu: ‘Wahai Ibrahim,’ engkau telah membenarkan dan melakukan
apa yang diperintahkan kepadamu. Sesungguhnya engkau telah menetapkan
dirimu di atas hal tersebut, dan engkau telah melakukan semua sebab,
serta tidak ada yang tersisa kecuali melewatkan pisau di atas
tenggorokannya. Sesungguhnya Kami dengan itu membalas orang-orang yang
berbuat kebaikan dalam beribadah kepada Kami, yang lebih mengutamakan
keridhaan Kami daripada hawa nafsunya.
Sesungguhnya ujian yang kami berikan kepada Ibrahim ini benar-benar
merupakan ujian yang nyata, yang menjelaskan ketulusan Ibrahim, dan
kesempurnaan cintanya kepada Rabb-nya serta menjadi khalil-Nya. Karena
tatkala Allah l memberikan karunia Isma’il q kepada Ibrahim q, dia pun
sangat mencintainya. Padahal beliau adalah Khalilullah di mana khalil
merupakan tingkatan kecintaan yang tertinggi, dan itu harus murni dan
tidak menerima adanya penyetaraan, serta menghendaki agar seluruh unsur
kecintaan tersebut benar-benar terpaut kepada yang dicintai.
Tatkala ada satu unsur dari hati Ibrahim yang melekat pada diri
Isma’il, Allah l hendak memurnikan kecintaan Ibrahim kepada-Nya dan
menguji khalil-Nya. Maka Dia memerintahkan untuk menyembelih orang yang
kecintaannya telah mengusik kecintaan kepada Rabb-nya. Tatkala Ibrahim
lebih mengutamakan kecintaan Allah l dan lebih mendahulukannya di atas
hawa nafsunya, serta bertekad untuk menyembelihnya, hilanglah sesuatu
yang mengusik dalam hatinya tersebut, sehingga penyembelihan pun tidak
berfaedah lagi.
Oleh karenanya Allah l berfirman: ‘Sesungguhnya benar-benar ini
merupakan ujian yang nyata, dan Kami menebusnya dengan sembelihan yang
agung,’ yaitu diganti dengan sembelihan berupa kambing yang agung yang
disembelih Ibrahim. Keagungan kambing tersebut dari sisi bahwa itu
adalah tebusan dari Isma’il q di mana itu termasuk di antara ibadah yang
agung. Dan dari sisi bahwa hal itu menjadi ibadah qurban dan sunnah
hingga hari kiamat. Dan kami meninggalkan untuknya pujian yang benar
pada orang-orang belakangan sebagaimana orang-orang terdahulu. Sehingga
setiap yang datang setelah Ibrahim q, senantiasa mencintai,
mengagungkan, dan memuji, ‘keselamatan atas Ibrahim’ yaitu penghormatan
atasnya. Seperti firman-Nya:
“Katakanlah: ‘Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas
hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya. Apakah Allah yang lebih baik ataukah
apa yang mereka persekutukan dengan Dia?’.” (An-Naml: 59) [lihat Taisir
Al-Karim Ar-Rahman]
Telah diriwayatkan oleh Abu Thufail dari Ibnu Abbas c, dia berkata:
“Tatkala Ibrahim q diperintah untuk menyembelih anaknya, setan pun
berusaha menggodanya ketika berada di tempat sa’i, lalu berusaha
mendahului Ibrahim. Namun Ibrahim berhasil mendahuluinya. Jibril lantas
membawa Ibrahim menuju jamratul ‘aqabah. Setan pun kembali menggodanya.
Beliau pun melemparnya dengan tujuh kerikil, hingga setan itu pergi lalu
menggodanya kembali di jamratul wustha. Ibrahim pun melemparnya dengan
tujuh kerikil. Dan di sanalah Isma’il dibaringkan, dalam keadaan Isma’il
memakai gamis berwarna putih. Lalu ia (Ismail) berkata: ‘Wahai ayahku,
aku tidak memiliki baju yang mengafaniku selain ini, maka lepaslah agar
ia menjadi kain kafanku.’ Ketika beliau hendak melepasnya, terdengarlah
panggilan dari belakangnya: ‘Wahai Ibrahim, sungguh engkau telah
menjalankan mimpimu.’ Ibrahim pun berbalik, ternyata ada seekor domba
putih, bertanduk, dan bermata lebar. Ibnu Abbas c berkata: ‘Sungguh kami
pernah menjual jenis domba seperti ini’.” (HR. Ahmad, 1/297, Al-Hakim
dalam Al-Mustadrak, 1/638, Al-Baihaqi, 5/153, At-Thabari dalam
Tafsir-nya, 23/80. Al-Hakim menyatakan: “Hadits ini shahih berdasarkan
syarat Al-Bukhari dan Muslim; dan keduanya tidak mengeluarkannya.” Dan
dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Targhib Wat-Tarhib: 2, no. 1156)
Berqurban, Sebagai Bukti Pengorbanan
Ayat yang mulia ini menjelaskan betapa beratnya cobaan yang Allah l
berikan kepada Ibrahim q serta betapa besarnya pengorbanannya sebagai
bentuk pembuktian dirinya sebagai hamba Allah l yang berserah diri
sepenuhnya, dan sebagai khalilullah yang memurnikan kecintaannya hanya
untuk-Nya. Dan ini menunjukkan bahwa Allah l senantiasa memberikan
cobaan kepada hamba-hamba-Nya dengan berbagai jenis cobaan, untuk
membuktikan keimanan hamba tersebut. Allah l berfirman:
“Tidaklah datang kepada mereka suatu ayat Al-Qur`an pun yang baru
(diturunkan) dari Rabb mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang
mereka bermain-main, (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai. Dan mereka
yang dzalim itu merahasiakan pembicaraan mereka: ‘Orang ini tidak lain
hanyalah seorang manusia (juga) seperti kamu, maka apakah kamu menerima
sihir itu, padahal kamu menyaksikannya?’.” (Al-Anbiya`: 2-3)
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).
Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Al-Anbiya`: 35)
Ibrahim q akhirnya memang tidak melaksanakan penyembelihan terhadap
anaknya, sebab Allah l memberikan ujian tersebut bukan dalam rangka
mewujudkan penyembelihan terhadap anaknya tersebut, namun semata-mata
untuk membuktikan kecintaan Ibrahim q yang murni hanya untuk Allah k.
Hal ini mirip dengan kisah yang disebutkan oleh Rasulullah n tentang
tiga orang dari kalangan Bani Israil: orang yang berpenyakit sopak, si
botak, dan si buta.
Allah l hendak menguji mereka dengan mengutus seorang malaikat,
lalu mendatangi orang yang berpenyakit sopak, lalu bertanya: “Apa yang
paling engkau sukai?” Ia menjawab: “Warna kulit yang indah, kulit yang
bagus, dan hilang penyakit yang karenanya manusia merasa jijik dariku.”
Maka malaikat itu pun mengusapnya, hingga hilanglah penyakit tersebut
dan ia diberi warna kulit yang indah. Lalu dikatakan kepadanya: “Harta
apa yang paling engkau sukai?” ia menjawab: “Unta.” Maka ia pun diberi
unta betina yang sedang bunting, dan dikatakan kepadanya: “Semoga Allah l
memberi berkah untukmu.”
Lalu malaikat itu mendatangi si botak dan bertanya: “Apa yang
paling engkau sukai?” Ia menjawab: “Rambut yang indah dan hilangnya apa
yang membuat manusia merasa jijik dariku.” Malaikat itu pun mengusapnya
sehingga hilanglah botaknya dan dia diberi rambut yang indah. Lalu dia
ditanya: “Harta apa yang paling engkau sukai?” Ia menjawab: “Sapi.” Maka
ia pun diberi sapi betina yang hamil. Lalu dikatakan kepadanya: “Semoga
Allah l memberi berkah untukmu.”
Lalu malaikat itu mendatangi si buta, dan berkata seperti yang
diucapkan kepada yang sebelumnya, maka Allah l mengembalikan
penglihatannya dan diberi seekor kambing yang hamil.
Tidak lama kemudian harta mereka berkembang biak. Sehingga yang
pertama memiliki satu lembah unta, yang kedua memiliki satu lembah sapi,
dan yang ketiga memiliki satu lembah kambing.
Lalu datanglah malaikat tersebut kepada orang yang pernah
berpenyakit sopak, dalam bentuk dan keadaannya yang dulu lalu berkata:
“Aku orang miskin. Aku sudah tidak punya bekal dalam perjalananku. Tidak
ada yang dapat melanjutkan perjalananku kecuali karena Allah l kemudian
karena engkau. Aku meminta kepadamu dengan nama Dzat yang telah
memberikan kepadamu warna kulit yang indah, kulit yang bagus, dan harta,
agar engkau berikan aku seekor unta sehingga aku dapat melanjutkan
perjalananku.” Ia menjawab: “Banyak hak-hak manusia yang harus
ditunaikan.” Si miskin berkata: “Sepertinya aku mengenalmu, bukankah
dahulu engkau berpenyakit sopak dan manusia merasa jijik darimu, miskin,
lalu Allah l memberikan ini semua kepadamu?” Ia menjawab: “Sesungguhnya
aku mewarisi harta ini dari nenek moyangku yang mulia secara
turun-temurun.” Maka si miskin berkata: “Jika engkau berdusta, semoga
Allah l mengembalikanmu seperti dulu. ”
Lalu ia (malaikat) mendatangi si botak dan berkata kepadanya
seperti yang dikatakan kepada sebelumnya, dan si botak pun menjawab
seperti jawaban orang sebelumnya (yang berpenyakit sopak).Maka ia
(malaikat) berkata: “Jika engkau berdusta, semoga Allah l mengembalikan
engkau seperti dulu.”
Lalu ia (malaikat) mendatangi si buta dalam bentuk dan keadaannya
(yang dahulu), kemudian berkata: “Aku orang miskin, yang kehabisan bekal
dalam perjalananku. Tidak ada yang menyampaikanku hari ini kecuali
dengan bantuan Allah l kemudian bantuanmu. Aku meminta kepadamu dengan
nama Dzat yang telah mengembalikan penglihatanmu agar engkau berikan aku
seekor kambing yang dapat menyampaikanku dalam perjalananku.” Maka ia
menjawab: “Dahulu aku buta, lalu Allah l mengembalikan penglihatanku.
Maka ambillah harta mana yang engkau inginkan dan tinggalkan yang mana
yang engkau mau. Demi Allah, aku tidak merasa berat padamu pada hari ini
dengan sesuatu yang engkau mengambilnya karena Allah k.” Maka malaikat
itu menjawab: “Jagalah hartamu, sesungguhnya kalian hanyalah diuji.
Sungguh Allah l telah meridhaimu, dan murka terhadap dua temanmu.”
(Muttafaq ‘alaihi dari hadits Abu Hurairah z)
Hadits ini menunjukkan bahwa malaikat tersebut tidak berkeinginan
untuk mengambil harta si buta, namun hanya sekedar memberi ujian
terhadap kebenaran imannya. Dan hal tersebut telah terbukti. Semoga kita
dapat mengambil pelajaran dari kisah pengorbanan Ibrahim q ini.
Wabillahit taufiq.
No comments:
Post a Comment