Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 036
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin)Dari Ummu Salamah, Rasulullah bersabada: ”Apabila telah masuk sepuluh (hari pertama bulan Dzulhijjah), salah seorang di antara kalian ingin berqurban, maka janganlah sedikit pun ia menyentuh (memotong) rambut (bulu)nya dan mengupas kulitnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya no.
25269, Al-Imam Muslim no. 1977, Al-Imam An-Nasa`i, 7 hal. 212, Al-Imam
Abu Dawud 3/2793, Al-Imam At-Tirmidzi 3/1523, Al-Imam Ibnu Majah 2/3149,
Al-Imam Ad-Darimi no. 1866. (CD Program, Syarh An-Nawawi cet. Darul
Hadits)
Jalur Periwayatan Hadits
Hadits tersebut diriwayatkan dari jalan Sa’id bin Musayyib dari
Ummu Salamah x. Dalam riwayat hadits ini terdapat seorang rawi yang
diperselisihkan penyebutan namanya, yaitu ‘Umar bin Muslim Al-Junda’i.
Ada yang menyebutnya ‘Umar bin Muslim dan ada pula yang menyebutnya ‘Amr
bin Muslim.
Al-Imam An-Nawawi t menerangkan, riwayat ‘Umar bin Muslim dari
Sa’id bin Musayyab, pada nama عمر kebanyakan riwayat menyebutnya dengan
mendhammah ‘ain (عُمر) ‘Umar, kecuali riwayat dari jalan Hasan bin ‘Ali
Al-Hulwani, menyebutkan dengan memfathah ‘ain (عَمرو) ‘Amr. Dan ulama
menyatakan bahwa keduanya ada penukilannya. (lihat Syarh Al-Imam
An-Nawawi, 7/155)
Sebaliknya, Al-Imam Abu Dawud t menyatakan, telah terjadi
perselisihan dalam penyebutan ‘Amr bin Muslim. Sebagian menyatakan ‘Umar
dan kebanyakan menyatakan ‘Amr. Beliau sendiri menguatkan pendapat yang
menyatakan bahwa dia adalah ‘Amr bin Muslim bin Ukaimah Al-Laitsi
Al-Junda’i. (lihat ‘Aunul Ma’bud, 5/224, cet. Darul Hadits)
Al-Hafizh Syamsuddin Ibnul Qayyim t mengatakan: “Telah terjadi
perselisihan pendapat di kalangan manusia terhadap hadits ini, baik dari
sisi riwayat maupun dirayah (kandungan maknanya). Sebagian berkata:
Tidak benar kalau hadits ini kedudukannya marfu’ (sampai kepada nabi),
yang benar ialah mauquf (hanya sampai kepada sahabat).
Ad-Daruquthni t berkata dalam kitab Al-‘Ilal: Telah meriwayatkan
secara mauquf Abdullah bin ‘Amir Al-Aslami, Yahya Al-Qathan, Abu
Dhamrah, semuanya dari Abdurrahman bin Humaid, dari Sa’id. ‘Uqail
meriwayatkan secara mauquf sebagai ucapan Sa’id. Yazid bin Abdillah dari
Sa’id dari Ummu Salamah, sebagai ucapan Ummu Salamah. Demikian pula
Ibnu Abi Dzi`b meriwayatkan dari jalan Al-Harts bin Abdurrahman, dari
Abu Salamah, dari Ummu Salamah, sebagai ucapannya. Abdurrahman bin
Harmalah, Qatadah, Shalih bin Hassan, semuanya meriwayatkan dari Sa’id,
sebagai ucapannya. Riwayat yang kuat dari Al-Imam Malik, menyatakan
mauquf. Dan Al-Imam Ad-Daruquthni berkata: “Yang benar menurut saya
adalah pendapat yang menyatakan mauquf.”
Pendapat kedua menyatakan yang benar adalah marfu’. Di antara yang
menguatkan pendapat ini adalah Al-Imam Muslim ibn Hajjaj t, seperti yang
beliau sebutkan dalam kitab Shahih-nya. Demikian pula Abu ‘Isa
At-Tirmidzi t berkata: “Hadits ini hasan shahih.” Ibnu Hibban t juga
meriwayatkan dalam Shahih-nya.
Abu Bakr Al-Baihaqi t berkata: “Hadits ini telah tetap/kuat sebagai
hadits yang marfu’ ditinjau dari beberapa sisi. Di antaranya: Tidak
mungkin orang yang seperti mereka (para ulama yang menshahihkan) salah.
Al-Imam Muslim t telah menyebutkan dalam kitabnya. Selain mereka juga
masih ada yang menshahihkannya. Telah meriwatkan secara marfu’ Sufyan
bin Uyainah dari Abdurahman bin Humaid dari Sa’id dari Ummu Salamah dari
Nabi, dan Syu’bah dari Malik dari ‘Amr bin Muslim dari Sa’id dari Ummu
Salamah dari Nabi n. Dan tidaklah kedudukan Sufyan dan Syu’bah di bawah
mereka yang meriwayatkan secara mauquf. Tidaklah lafadz/ucapan hadits
seperti ini merupakan ucapan dari para sahabat, bahkan terhitung sebagai
bagian dari sabda Nabi n, seperti sabda beliau (لاَ يُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ) Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian dan yang
semisalnya.” (lihat ‘Aunul Ma’bud, 5/225 cet. Darul Hadits, Mesir)
Penjelasan Hadits
(إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ) artinya, apabila telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.
Makna ini dipahami dari riwayat lain yang menyebutkan:
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِي الْـحِجَّةِ
”Apabila kalian telah melihat hilal di bulan Dzulhijah.”
atau:
فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِي الْـحِجَّةِ
”Apabila telah terlihat hilal bulan Dzulhijjah.”
(وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ) artinya, salah seorang di antara kalian ingin berqurban.
Pada sebagian riwayat terdapat tambahan lafadz (وَعِنْدَهُ
أُضْحِيَّةٌ), di sisinya (punya) hewan sembelihan. Pada lafadz yang lain
(مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ), barangsiapa punya hewan sembelihan
yang akan dia sembelih.
(فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا) artinya, janganlah
sedikitpun ia menyentuh (memotong) rambut (bulu) nya dan mengupas
kulitnya.
Pada riwayat yang lain terdapat lafadz (فَلاَ يَأْخُذَنَّ شَعْرًا
وَلاَ يَقْلِمَنَّ ظُفْرًا), Janganlah sekali-kali ia mengambil rambut
dan memotong kuku.
Pada lafadz yang lain:
(فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ) Hendaknya ia menahan dari memotong rambut dan kukunya.
Dalam lafadz yang lain:
فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ
Janganlah sekali-kali ia mengambil rambut dan memotong kukunya sedikitpun, hingga ia menyembelih.
Sunnah yang Terabaikan
Termasuk sunnah yang terabaikan bagi seorang yang telah memiliki
hewan qurban yang akan ia sembelih adalah tidak ada pengetahuan tentang
apa yang harus ia perbuat apabila telah masuk tanggal 1 hingga 10
Dzulhijjah (hari raya qurban tiba)! Tidak/belum sampainya suatu ilmu
seringkali menjadi penyebab terabaikannya sekian banyak sunnah
(kebaikan) baik berupa perintah atau larangan. Oleh sebab itu,
sepantasnya bahkan wajib bagi setiap muslim, laki-laki maupun wanita
untuk membekali kehidupan ini dengan ilmu agama yang benar, hingga tidak
berujung penyesalan hidup di kemudian hari.
Hadits yang tersebut di atas membimbing kita, terutama bagi seorang
muslim yang telah mempersiapkan hewan qurban untuk disembelih pada hari
raya qurban atau setelahnya pada hari-hari Tasyriq (tanggal 11,12,13
Dzulhijjah). Apabila telah masuk tanggal 1 Dzulhijjah, hendaknya ia
menahan diri untuk tidak mencukur atau mencabut rambut/bulu apapun yang
ada pada dirinya (baik rambut kepala, ketiak, tangan, kaki, dan yang
lainnya). Demikian pula tidak boleh memotong kuku (tangan maupun kaki)
serta tidak boleh mengupas kulit badannya (baik pada telapak tangan
maupun kaki, ujung jari, tumit, atau yang lainnya). Larangan ini berlaku
bagi yang memiliki hewan qurban dan akan berqurban, bukan bagi seluruh
anggota keluarga seseorang yang akan berqurban. Larangan ini berakhir
hingga seseorang telah menyembelih hewan qurbannya. Jika ia menyembelih
pada hari yang kesepuluh Dzulhijjah (hari raya qurban), di hari itu
boleh baginya mencukur rambut/memotong kuku. Jika ia menyembelih pada
hari yang kesebelas, keduabelas, atau yang ketigabelas, maka di hari
yang ia telah menyembelih hewan qurban itulah diperbolehkan baginya
untuk mencukur rambut atau memotong kuku.
Dalam sebuah riwayat yang terdapat dalam Shahih Muslim, ‘Amr bin
Muslim pernah mendapati seseorang di kamar mandi sedang mencabuti bulu
ketiaknya menggunakan kapur sebelum hari raya qurban. Sebagian mereka
ada yang berkata: “Sesungguhnya Sa’id bin Musayyib tidak menyukai
perkara ini.”
Ketika ‘Amr bin Muslim bertemu dengan Sa’id bin Musayyib, ia pun
menceritakannya. Sa’id pun berkata: “Wahai anak saudaraku, hadits ini
telah dilupakan dan ditinggalkan. Ummu Salamah d, istri Nabi n telah
menyampaikan kepadaku, ia berkata: Nabi telah bersabda, seperti hadits
di atas.”
Kalau manusia di zaman beliau demikian keadaannya, bagaimana dengan di zaman kita sekarang?!
Semoga Allah l menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang
menghidupkan Sunnah Nabi-Nya dan bukan menjadikan sebagai orang yang
memadamkan/mematikannya.
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi larangan dalam perkara
ini. Ada yang memahami sesuai dengan apa yang nampak dari lafadz hadits
tersebut, sehingga mereka berpendapat haram bagi seseorang untuk
melakukannya (wajib untuk meninggalkannya). Di antara mereka adalah
Sa’id bin Musayyib, Rabi’ah bin Abi Abdirrahman, Ahmad bin Hanbal, Ishaq
bin Rahawaih, dan sebagian dari pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i. Adapun
Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya berpendapat makruh (tidak dikerjakan
lebih utama), bukan diharamkam. Dan yang berpendapat semisal ini adalah
Al-Imam Malik dan sebagian pengikut Al-Imam Ahmad seperti Abu Ya’la dan
yang lainnya.
Pendapat lain dalam hal ini adalah mubah (tidak mengapa melakukannya). Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah dan pengikutnya.
Peringatan
Sebagian orang ada yang memahami bahwa larangan mencukur
rambut/bulu, memotong kuku, dan mengupas/mengambil kulit, kata ganti
dalam hadits di atas (-nya – bulunya, kukunya, kulitnya) kembali kepada
hewan yang akan disembelih.
Jika demikian, hadits di atas akan bermakna: “Apabila telah masuk
10 hari awal Dzulhijjah, dan salah seorang di antara kalian akan
berqurban, maka janganlah ia mencukur bulu (hewan yang akan dia
sembelih), memotong kuku (hewan qurban), dan jangan mengupas kulit
(hewan qurban).”
Tentunya bukanlah demikian maknanya. Makna ini juga tidak selaras dengan hikmah yang terkandung di dalam hadits itu sendiri.
Hikmah yang Terkandung
Di samping sebagai salah satu bentuk ketaatan dan mengikuti apa
yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad n, hikmah dari larangan tersebut
adalah agar seseorang tetap utuh anggota badannya kala ia akan
dibebaskan dari panasnya api neraka.
Sebagian ada yang berpendapat, hikmahnya adalah agar seorang
merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang yang sedang menunaikan
ibadah haji atau diserupakan dengan seorang yang telah berihram,
sehingga mereka juga dilarang dari mencukur rambut, memotong kuku,
mengupas kulit, dan sebagainya.
Namun pendapat terakhir ini ada yang tidak menyetujuinya, dengan
alasan, bagaimana diserupakan dengan seorang yang menunaikan haji,
sementara ia (orang yang akan berqurban) tidak dilarang dari menggauli
istrinya, memakai wewangian, mengenakan pakaian dan yang lainnya. (lihat
‘Aunul Ma’bud 5/224-226, cet. Darul Hadits, Syarh An-Nawawi 7/152-155,
cet. Darul Hadits)
Hadits-hadits Lemah dalam Berqurban
1. Kesempurnaan sembelihan
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ النَّبِيَّ n
قَالَ: أُمِرْتُ بِيَوْمِ اْلأَضْحَى عِيْدًا جَعَلَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ. قَالَ الرَّجُلُ: أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ أَجِدْ
إِلاَّ أُضْحِيَّةً أُنْثَى أَفَأُضَحِّي بِهَا؟ قَالَ: لاَ، وَلَكِنْ
تَأْخُذُ مِنْ شَعْرِكَ وَأَظْفَارِكَ وَتَقُصُّ شَارِبَكَ وَتَحْلِقُ
عَانَتَكَ فَتِلْكَ تَمَامُ أُضْحِيَّتِكَ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash z bahwa Nabi n bersabda: “Aku
diperintahkan pada hari Adha sebagai hari raya. Allah k menghadiahkannya
untuk umat ini.” Seorang sahabat bertanya: “Bagaimana pendapatmu
(kabarkan kepada saya) jika aku tidak mendapatkan kecuali sembelihan
hewan betina, apakah aku menyembelihnya?” Beliau menjawab: “Jangan. Akan
tetapi ambillah dari rambut dan kukumu, cukur kumis serta bulu
kemaluanmu. Itu semua sebagai kesempurnaan sembelihanmu di sisi Allah
l.” (HR. Abu Dawud no. 2786)
Al-Mundziri t menjelaskan: “Hadits ini juga diriwayatkan oleh
An-Nasa`i. Sanad hadits ini lemah di dalamnya terdapat seorang rawi yang
bernama ‘Isa bin Hilal Ash-Shadafi. Tidak ada yang menguatkan kecuali
Ibnu Hibban.”
Asy-Syaikh Al-Albani t mendhaifkannya dalam Dha’if Abi Dawud. (lihat ‘Aunul Ma’bud 5/222)
2. Sembelihan dikhususkan untuk orang yang sudah meninggal
عَنْ حَنَشٍ قَالَ: رَأَيْتُ عَلِيًّا يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ فَقُلْتُ
لَهُ: مَا هَذَا؟ فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ n أَوْصَانِي أَنْ
أُضَحِّيَ عَنْهُ فَأَنَا أُضَحِّي عَنْهُ
Dari Hanasy ia berkata: “Aku melihat ‘Ali bin Abi Thalib sedang
menyembelih dua ekor domba. Kemudian aku bertanya: ‘Apa ini?’ Ali pun
menjawab: ‘Sesungguhnya Rasulullah n mewasiatkan kepadaku agar aku
menyembelih hewan qurban untuknya, dan akupun menyembelihkan untuknya.”
(HR. Abu Dawud no. 2786, At-Tirmidzi no. 1495)
Sanad hadits ini lemah, terdapat di dalamnya seorang rawi yang
bernama Abul Hasna`, yang dia tidak dikenal. (lihat ‘Aunul Ma’bud 5/222)
3. Pahala bagi orang yang berqurban
فِي اْلأُضْحِيَّةِ لِصَاحِبِهَا بِكُلِّ شَعْرَةٍ حَسَنَةٌ
Rasulullah n bersabda: “Pada setiap hewan qurban, terdapat kebaikan
di setiap rambut bagi pemiliknya.” (HR. At-Tirmidzi. Asy-Syaikh
Al-Albani t berkata: “Hadits ini maudhu’ (palsu).”)
4. Hewan qurban adalah tunggangan di atas shirath
اسْتَفْرِهُوا ضَحَايَاكُمْ، فَإِنَّهَا مَطَايَاكُمْ عَلىَ الصِّرَاطِ
“Perbaguslah hewan qurban kalian, karena dia adalah tunggangan kalian di atas shirath.”
Hadits ini lemah sekali (dha’if jiddan). Dalam sanadnya ada Yahya
bin Ubaidullah bin Abdullah bin Mauhab Al-Madani, dia bukanlah rawi yang
tsiqah, bahkan matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan oleh para
ulama). Juga ayahnya, Ubaidullah bin Abdullah, adalah seorang yang
majhul. Lihat Adh-Dha’ifah karya Al-Albani t (2/14, no. hadits 527, dan
3/114, no. hadits 1255), Dha’iful Jami’ (no. 824). (Ahkamul Udh-hiyyah
hal. 60 dan 62, karya Abu Sa’id Bal’id bin Ahmad)
عَظِّمُوا ضَحَايَاكُمْ فِإِنَّهَا عَلَى الصِّرَاطِ مَطَايَاكُمْ
“Gemukkanlah hewan qurban kalian, karena dia adalah tunggangan kalian di atas shirath.”
Hadits dengan lafadz ini tidak ada asalnya. Ibnu Shalah t berkata:
“Hadits ini tidak dikenal, tidak pula tsabit (benar datang dari Nabi
n).” (Ahkamul Udh-hiyyah hal. 64, karya Abu Sa’id Bal’id bin Ahmad)
5. Darah sembelihan jatuh di tempat penyimpanan Allah k
أَيُّهَا النَّاسُ، ضَحُّوا وَاحْتَسِبُوا بِدِمَائِهَا، فَإِنَّ
الدَّمَ وَإِنْ وَقَعَ فِي الْأَرْضِ فَإِنَّهُ يَقَعُ فِي حِرْزِ اللهِ
عَزَّ وَجَلَّ
“Wahai sekalian manusia, berqurbanlah dan harapkanlah pahala dari
darahnya. Karena meskipun darahnya jatuh ke bumi namun sesungguhnya dia
jatuh ke tempat penyimpanan Allah k.” (HR. Ath-Thabarani dalam
Al-Mu’jamul Ausath)
Hadits ini maudhu’ (palsu). Dalam sanadnya ada ‘Amr bin Al-Hushain
Al-’Uqaili, dia matrukul hadits, sebagaimana dinyatakan Al-Haitsami t.
Lihat Adh-Dha’ifah karya Al-Albani t (2/16, no. hadits 530). (Ahkamul
Udh-hiyyah hal. 62, karya Abu Sa’id Bal’id bin Ahmad)
Wallahu ta’ala a’lam.
No comments:
Post a Comment