Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 034
(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc)Keberadaan Dajjal merupakan salah satu topik yang menarik dan layak kaji. Pasalnya, masalah yang satu ini sering menjadi ‘isu kondisional’ sejak dahulu kala. Simpang siur pendapat pun sering kali bergulir di tengah umat, tentunya dengan berbagai macam persepsi dan landasan berpikir yang berbeda. Tak ayal, kontroversi ini menjadikan bingung banyak orang yang notabene awam.
Sebelum menelusuri kontroversi sikap seputar Dajjal, tentunya amat
penting untuk didudukkan terlebih dahulu hakikat Dajjal yang sedang
dipermasalahkan ini. Karena hukum terhadap sesuatu, merupakan cabang
dari penggambarannya. Bagaimana mungkin seseorang bisa menghukumi bahwa
Dajjal itu ada atau tidak, sementara belum jelas baginya hakikat Dajjal
yang sedang dipermasalahkan.
Hakikat Dajjal yang Dipermasalahkan
Dajjal yang sedang dipermasalahkan keberadaannya itu adalah
seseorang dari bangsa manusia yang Allah l munculkan di akhir zaman
(dengan segala kekuasaan dan hikmah-Nya), sebagai fitnah (ujian) besar
bagi umat manusia di muka bumi ini1, dan sebagai salah satu pertanda
kuat semakin dekatnya hari kiamat2. Bentuk fisik Dajjal adalah; matanya
buta sebelah (yang dengannya disebut Al-Masih), pada dahinya tertulis
huruf (ك.ف.ر) yang berarti kafir di mana tulisan itu bisa dibaca oleh
siapa saja yang di hatinya ada keimanan3, berambut sangat keriting4,
bertubuh besar, dan sudah ada saat ini di sebuah pulau yang ada di
tengah lautan (arahnya sebelah timur kota Madinah), dalam keadaan
dibelenggu dengan belenggu besi yang amat kuat5.
Ketika muncul, dia mengaku sebagai Allah l (padahal sesungguhnya
Allah l tidak buta sebelah seperti dia) dan menyeru umat manusia untuk
menyembah dirinya. Allah l kuasakan bagi Dajjal untuk membawa sesuatu
seperti Jannah (surga) dan Naar (neraka). Jannah Dajjal hakikatnya
adalah Naar Allah, dan Naar Dajjal hakikatnya adalah Jannah Allah6.
Tempat kemunculannya kelak dari sebuah jalan yang terletak antara
negeri Syam dan Irak. Dia pun akan tinggal di muka bumi ini selama 40
hari; hari pertama lamanya satu tahun, hari kedua lamanya satu bulan,
hari ketiga lamanya satu pekan, hari keempat dan seterusnya lamanya
seperti hari-hari biasa (24 jam). Allah l kuasakan pula baginya
kemampuan untuk mengelilingi dunia dengan sekejap seiring dengan
berhembusnya arah angin (kecuali kota Makkah dan Madinah, tak mampu
dimasukinya karena dijaga oleh para malaikat Allah l). Sebagaimana pula
Allah l kuasakan baginya hal-hal aneh lainnya yang tak dimampui oleh
manusia biasa.
Kemudian terjadilah pertempuran yang dahsyat antara Dajjal berikut
pengikutnya melawan pasukan Islam yang dipimpin oleh Al-Imam Mahdi yang
diperkuat oleh Nabi ‘Isa u yang Allah l turunkan dari langit. Akhirnya
Dajjal tewas dibunuh oleh Nabi ‘Isa u di daerah Bab Ludd, Palestina7.
Demikianlah hakikat Dajjal yang dipersoalkan eksistensinya itu. Untuk
mengetahui lebih rinci tentang Dajjal dan hakikatnya, silakan membaca
rubrik Kajian Utama pada edisi ini.
Rambu-rambu Penting dalam Perselisihan dan Perbedaan Pendapat
Para pembaca yang mulia, dalam Al-Qur`anul Karim, Allah l Yang Maha
Rahman telah memberikan bimbingan-Nya sekaligus solusi bagi segala
perselisihan, perbedaan pendapat, dan kontroversi yang mengitari
kehidupan para hamba-Nya. Termasuk perkara Dajjal yang tengah
dipermasalahkan ini. Allah l berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Dan jika kalian berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah
kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian beriman kepada Allah dan hari
akhir. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.”
(An-Nisa`: 59)
Al-Imam Al-Qurthubi t berkata: “(Kembalikanlah kepada Allah dan
Rasul-Nya), maksudnya: kembalikanlah keputusan permasalahan tersebut
kepada Kitabullah (Al-Qur`an) dan kepada Rasul-Nya dengan bertanya
kepada beliau semasa hidupnya atau dengan merujuk kepada Sunnah
Rasulullah n sepeninggal beliau. Demikianlah keterangan dari Mujahid,
Al-A’masy, dan Qatadah rahimahumullah, dan memang benar apa yang mereka
katakan itu. Barangsiapa tidak sepakat dengan (apa yang Allah l
bimbingkan, pen.) ini, maka telah cacat keimanannya karena Allah l telah
nyatakan dalam ayat tersebut; (jika kalian beriman kepada Allah l dan
hari akhir).” (Tafsir Al-Qurthubi juz 5, hal. 261)
Kembali (merujuk) kepada Al-Qur`an dan Sunnah Rasul-Nya dalam
setiap permasalahan yang diperselisihkan amat besar hikmahnya.
Sebagaimana yang dikatakan Al-Imam Al-Qurthubi t ketika menafsirkan
surat Ali ‘Imran ayat 103: “Allah mewajibkan kepada kita agar berpegang
teguh dengan Kitab-Nya (Al-Qur`an) dan Sunnah Nabi-Nya, serta merujuk
kepada keduanya di saat terjadi perselisihan. Ia (juga) memerintahkan
kepada kita agar bersatu di atas Al-Qur`an dan As-Sunnah secara
keyakinan dan amalan. Itulah sebab keselarasan kata dan bersatunya apa
yang tercerai-berai, yang dengannya akan teraih maslahat dunia dan agama
serta selamat dari perselisihan…” (Tafsir Al-Qurthubi juz 4, hal. 105)
Lain halnya dengan akal (semata) yang di-Tuhan-kan oleh sebagian
orang serta lebih diutamakan daripada Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah n
(syariat)8. Padahal fenomena akal ini amat memilukan. Tak sedikit dari
para pemujanya yang menyesal dan bingung akibat jalan yang ditempuhnya
itu.
Abu Abdillah Ar-Razi, tokoh Mu’tazilah yang telah menyelami lautan akal tersebut pernah mengatakan:
“Kesudahan mengedepankan akal adalah belenggu.9
Dan kebanyakan upaya (hasil pemikiran) para intelektual itu adalah kesesatan
Ruh-ruh kami terasa amat liar di dalam tubuh-tubuh kami
Dan hasil dari kehidupan dunia kami adalah gangguan dan siksaan (batin)
Tidaklah didapat dari penelitian yang kami lakukan sepanjang masa
melainkan kumpulan pernyataan-pernyataan (yang tak menentu)
Aku (Ar-Razi) telah memerhatikan dengan saksama berbagai
seluk-beluk ilmu kalam dan metodologi filsafat. Maka kulihat semua itu
tidaklah dapat menyembuhkan orang yang sakit serta tidak pula memuaskan
orang yang dahaga. Dan (ternyata) metode yang paling tepat adalah metode
Al-Qur`an.” (Lihat Dar`u Ta’arudhil ‘Aqli wan Naqli, karya Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah t, juz 1, hal. 160)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Engkau akan mendapati
kebanyakan para pakar di bidang ilmu kalam, filsafat, dan bahkan tasawuf
yang tidak mengindahkan apa yang dibawa Rasulullah n, adalah
orang-orang yang bingung. Sebagaimana yang dikatakan Asy-Syahrastani t:
‘Sungguh aku telah keliling ke ma’had- ma’had (filsafat) tersebut
dan seluruh pandanganku tertuju kepada mercusuar-mercusuarnya
Namun, tak kulihat padanya kecuali orang yang bingung sambil bertopang dagu
dan orang yang menyesal sambil menggemertakkan giginya’.” (Dar`u Ta’arudhil Aqli Wan Naqli, juz 1, hal. 159)
Kontroversi Seputar Dajjal
Secara garis besar, ada tiga pendapat dalam permasalahan ini:
Pertama: Dajjal dengan gambaran di atas tidak ada sama sekali. Ini
merupakan pendapat kelompok Khawarij, Jahmiyyah, dan sebagian
Mu’tazilah. (Lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Hajjaj, karya
Al-Imam An-Nawawi t juz. 18, hal. 263)
Dalilnya:
1. Masalah Dajjal tidak disebutkan dalam Al-Qur`an. Kalaulah Dajjal
tersebut benar adanya niscaya akan disebutkan dalam Al-Qur`an.
2. Hadits-hadits seputar Dajjal bertentangan dengan akal. Mana
mungkin ada manusia (yang bukan nabi) mempunyai kemampuan seperti itu?!
Lebih-lebih lagi hari pertama, kedua, dan ketiganya tidak 24 jam. Belum
pernah ada kejadian seperti itu sepanjang sejarah umat manusia.
3. Ketetapan adanya Dajjal akan mengundang orang untuk
mengaku-ngaku sebagai Dajjal. Tentunya yang demikian ini termasuk
membuka pintu kejelekan bagi umat.
Kedua: Dajjal dengan gambaran di atas benar adanya. Hanya saja
semua yang dipertontonkan Dajjal di hadapan umat manusia tidak ada
hakikatnya, layaknya sulap. Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm,
Ath-Thahawi, Abu ‘Ali Al-Jubba’i, dan sebagian Jahmiyyah. (Lihat
At-Tadzkirah, karya Al-Imam Al-Qurthubi t hal. 552 dan An-Nihayah Fil
Fitan wal Malahim, karya Al-Hafizh Ibnu Katsir t juz 1, hal 164/dinukil
dari Majalah At-Tau’iyah Al-Islamiyyah no. 223, tahun ke-25/1420 H hal.
95-96)
Dalilnya: Jika semua yang ditampilkan Dajjal itu ada hakikatnya,
niscaya akan menjadi rancu antara pendusta dan yang jujur. Demikian pula
antara seorang nabi dengan yang mengaku nabi. (Lihat At-Tadzkirah, hal.
552)
Ketiga: Dajjal dengan gambaran di atas benar adanya, dan segala apa
yang ditampilkannya di hadapan umat manusia adalah nyata bukan khayal
ataupun sulap. Ini merupakan pendapat Ahlus Sunnah wal Jamaah, seluruh
ahli hadits dan ahli fiqh. (Lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin
Hajjaj, juz 18, hal. 263)
Dalilnya:
1. Al-Qur`anul karim, yaitu firman Allah l:
يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا
“Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabb-mu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya.” (Al-An’am: 158)10
2. Hadits-hadits Nabi n yang amat banyak jumlahnya, hingga mencapai derajat mutawatir.
q Al-Hafizh Ibnu Katsir t berkata {ketika membantah para pengingkar
(adanya) Dajjal}: “Dengan pendapat tersebut akhirnya mereka keluar dari
apa yang dinyatakan para ulama. Hal itu disebabkan penolakan mereka
terhadap hadits-hadits shahih yang dinukil secara mutawatir dari
Rasulullah n.” (Lihat Iqamatul Burhan, karya Asy-Syaikh Hamud bin
Abdillah At-Tuwaijiri t/Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah no.13, tahun
1405 H, hal. 103)
q Asy-Syaikh Hamud bin Abdillah At-Tuwaijiri t berkata: “Telah
mutawatir hadits-hadits seputar Dajjal dari jalan (sanad) yang
berbeda-beda, sebagaimana yang telah saya sebutkan dalam kitab Ithaful
Jama’ah. Jika saja tidak ada hadits-hadits tersebut kecuali hadits yang
memerintahkan untuk berlindung kepada Allah l dari fitnah Dajjal
pada (penutupan) setiap shalat, yang demikian itu sudah cukup sebagai
bukti akan adanya Dajjal dan bantahan bagi yang mengingkarinya.”
(Iqamatul Burhan/ Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah no. 13, tahun 1405 H,
hal. 103)
3. Keberadaan Dajjal merupakan hal yang disepakati Ahlus Sunnah wal
Jamaah dari kalangan ahli hadits dan ahli fiqih. Al-Imam Al-Qurthubi t
berkata: “Pasal: Iman akan adanya Dajjal dan (berita, pen.)
kemunculannya adalah benar. Ini merupakan pendapat Ahlus Sunnah wal
Jamaah, seluruh ahli hadits dan ahli fiqih.” (At-Tadzkirah, hal. 552)
Diskusi Pendapat
1. Pendapat pertama
q Pendapat ini bersumber dari Khawarij, Jahmiyyah, dan sebagian
Mu’tazilah yang notabene ahlul bid’ah wal furqah. Sementara setiap
muslim diperintah untuk mengikuti jejak Rasulullah n dan para
sahabatnya, serta menjauhi bid’ah dan para pengusungnya.
q Pernyataan mereka bahwa masalah Dajjal tidak disebutkan dalam
Al-Qur`an, tidak bisa dibenarkan sebagaimana keterangan Al-Hafizh Ibnu
Hajar t berikut ini:
a) Bahwasanya Dajjal (secara tersirat, pen.) masuk dalam firman Allah l:
يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا
“Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabb-mu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya.” (Al-An’am: 158)
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi t dan dishahihkannya dari Abu Hurairah z secara marfu’ (disandarkan kepada Nabi n):
ثَلَاثَةٌ إِذَا خَرَجْنَ لَـمْ يَنْفَعْ نَفْسًا إِيْمَانُهَا لَـمْ
تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ: الدَّجَّالُ وَالدَّابَّةُ وَطُلُوْعُ
الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Tiga hal apabila telah muncul (terjadi) maka tiada bermanfaat lagi
sebuah keimanan bagi seorang jiwa yang belum beriman (sebelumnya):
Dajjal, daabbah, dan terbitnya matahari dari arah barat.” (Dishahihkan
oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 3023)
b) Telah ada sinyal dalam Al-Qur`an tentang turunnya Nabi ‘Isa u (di akhir zaman, pen.) sebagaimana dalam firman-Nya l:
وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلَّا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكُونُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا
“Tiada seorang pun dari ahli kitab, kecuali akan beriman kepadanya
(‘Isa) sebelum kematiannya (di akhir zaman, pen.). Dan di hari Kiamat
nanti ‘Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka.” (An-Nisa`: 159)
وَإِنَّهُ لَعِلْمٌ لِلسَّاعَةِ فَلَا تَمْتَرُنَّ بِهَا وَاتَّبِعُونِ هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ
“Dan sesungguhnya ‘Isa itu benar-benar memberikan pengetahuan
tentang hari kiamat. Karena itu janganlah kamu ragu-ragu tentang hari
kiamat itu dan ikutilah Aku, inilah jalan yang lurus.” (Az-Zukhruf: 61)
Sebagaimana pula telah sah (dari Rasulullah n, pen.) bahwa Nabi
‘Isa q lah yang membunuh Dajjal, sehingga cukuplah disebutkan salah
satunya (Nabi ‘Isa q, pen.) untuk menunjukkan keberadaan yang lainnya
(Dajjal, pen.). Demikian pula karena keduanya dijuluki Al-Masih
(sehingga cukup disebutkan salah satunya saja, pen.), hanya saja Dajjal
Al-Masih yang sesat sedangkan Nabi ‘Isa Al-Masih yang membawa petunjuk.
c) Disebutkan dalam Tafsir Al-Baghawi, bahwa penyebutan Dajjal ada dalam Al-Qur`an, sebagaimana dalam firman-Nya:
لَـخَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَكْبَرُ مِنْ خَلْقِ النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada
penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
(Al-Mu`min: 57)
Yang dimaksud manusia di sini adalah Dajjal, disebutkan secara umum
(manusia, pen.) sedangkan yang dituju adalah khusus (Dajjal, pen.).
Bila hal ini benar, maka ia merupakan jawaban yang paling tepat dalam
permasalahan ini, dan sebagai penyebutan global bagi apa yang dirinci
Nabi n (perihal Dajjal tersebut, pen.). Wal ‘ilmu ‘indallahi ta’ala.”
(Fathul Bari juz 13, hal. 98)
q Pernyataan mereka bahwa hadits-hadits seputar Dajjal bertentangan
dengan akal, maka akal siapakah yang dijadikan pijakan?! Padahal akal
manusia itu berbeda-beda baik latar belakang maupun kemampuan nalarnya.
Lebih dari itu, akal manusia amat terbatas kemampuannya, sehingga ia
tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menetapkan atau menolak suatu
berita yang sah dalam agama ini.
Al-Imam Asy-Syathibi t berkata: “Sesungguhnya Allah l telah
memberikan batasan kemampuan akal yang tak bisa dilampaui, dan Allah l
tidak memberikan kemampuan bagi akal untuk mengetahui segala sesuatu
yang diinginkan.” (Al-I’tisham juz 2, hal. 318)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t berkata: “Berbagai
macam berita yang diriwayatkan secara shahih dari Nabi n maka benar
keberadaannya dan wajib dipercayai, baik dapat dirasakan oleh panca
indera kita maupun yang bersifat gaib, baik yang dapat dijangkau oleh
akal kita maupun tidak.” (Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 101)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Hakikat iman
adalah keyakinan yang sempurna terhadap segala yang diberitakan para
rasul, yang mencakup ketundukan anggota tubuh kepadanya. Iman yang
dimaksud di sini bukanlah yang berkaitan dengan perkara yang bisa
dijangkau panca indera, karena dalam perkara yang seperti ini tidak
berbeda antara muslim dengan kafir. Akan tetapi permasalahannya
berkaitan dengan perkara gaib yang tidak bisa kita lihat dan saksikan
(saat ini). Kita mengimaninya, karena (adanya) berita yang datang dari
Allah l dan Rasul-Nya. Inilah keimanan yang membedakan antara muslim
dengan kafir, yang mengandung kemurnian iman kepada Allah l dan
Rasul-Nya. Maka, seorang mukmin (wajib) mengimani semua yang diberitakan
Allah l dan Rasul-Nya baik yang dapat disaksikan oleh panca inderanya
maupun yang tidak. Baik yang dapat dijangkau oleh akal dan nalarnya,
maupun yang tidak dapat dijangkaunya. Hal ini berbeda dengan kaum
zanadiqah (yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran,
-pen.) serta para pengingkar perkara gaib (yang telah diberitakan Allah l
dan Rasul-Nya). Dikarenakan akalnya yang bodoh lagi dangkal serta
jangkauan ilmunya yang pendek, akhirnya mereka dustakan segala apa yang
tidak diketahuinya. Maka rusaklah akal-akal (pemikiran) mereka itu, dan
bersihlah akal-akal (pemikiran) kaum mukminin yang selalu berpegang
dengan petunjuk Allah l.” (Taisir Al-Karimirrahman hal. 23)
Berikutnya, Allah Maha Kuasa lagi Maha segala-galanya untuk
memunculkan manusia (selain nabi) yang mempunyai kemampuan semacam itu.
Sebagaimana pula Dia Maha Mampu untuk menjadikan hari-hari Dajjal
seperti yang diberitakan Rasulullah n.
q Pernyataan mereka bahwa ketetapan adanya Dajjal akan mengundang
orang untuk mengaku sebagai Dajjal sehingga ditiadakan saja, maka tidak
bisa dibenarkan. Karena berita yang sah dari Allah l dan Rasul-Nya
tidaklah boleh ditolak dengan kemungkinan-kemungkinan semacam ini.
Bahkan semua itu wajib diimani dan diterima dengan lapang dada, walaupun
ada orang yang terfitnah dengan apa yang dipropagandakannya. (Lihat
Iqamatul Burhan/ Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah no.13, tahun 1405 H,
hal. 112)
2. Pendapat kedua
Pendapat kedua adalah pendapat yang lemah berdasarkan uraian berikut ini:
q Semua yang diberitakan Rasulullah n seputar Dajjal dan segala
kemampuannya (dengan izin Allah l) bukanlah khayal ataupun sulap.
Al-Imam Al-Qurthubi t berkata: “Pernyataan mereka bahwa apa yang
ditampilkan oleh Dajjal itu hanyalah sulap dan khayal merupakan
pernyataan yang lemah dan tidak bisa diterima. Karena semua yang
diberitakan Rasulullah n seputar Dajjal dan segala kemampuannya
merupakan sesuatu yang nyata (bisa terjadi) dan akal/nalar pun bisa
menerimanya. Sehingga wajib difahami sesuai dengan hakikat/zhahirnya
(yang diberitakan Rasulullah n).” (At-Tadzkirah, hal. 553)
q Pernyataan mereka: “Jika semua yang ditampilkan Dajjal di hadapan
umat manusia itu ada hakikatnya, niscaya akan menjadi rancu antara
pendusta dan yang jujur, dan tidak ada bedanya antara seorang nabi
dengan yang mengaku nabi,” tidaklah bisa dibenarkan.
Al-Qadhi ‘Iyadh t berkata: “(Asumsi) yang demikian merupakan suatu
kesalahan dari mereka. Karena Dajjal dengan segala kemampuannya (dengan
izin Allah l) tidaklah mengaku sebagai nabi, akan tetapi justru mengaku
sebagai Allah l yang berhak diibadahi. Padahal realita keadaannya; baik
dari segi sepak terjangnya, adanya ciri makhluk pada dirinya, kondisinya
yang cacat fisik, tidak mampu mengubah matanya yang buta sebelah
menjadi normal, dan tidak mampu pula menghilangkan tanda kafir yang ada
pada dahinya, merupakan bukti kuat bahwa dia pendusta.” (Al-Minhaj Syarh
Shahih Muslim bin Hajjaj, juz 18, hal. 243)
Jawaban senada juga disampaikan Al-Imam Al-Qurthubi t, sebagaimana dalam kitabnya At-Tadzkirah (hal. 552).
3. Pendapat ketiga:
q Adapun pendapat ketiga, maka dasarnya cukup kuat. Di samping dari
Al-Qur`an sebagaimana yang diulas oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar t di atas,
hadits-hadits mutawatir sebagaimana yang dinyatakan Al-Hafizh Ibnu
Katsir t dan Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijiri t, serta kesepakatan Ahlus
Sunnah dari kalangan ahli hadits dan ahli fiqih sebagaimana yang
dijelaskan Al-Imam Al-Qurthubi t.
Pendapat Manakah yang Kuat (Rajih)?
Maka pendapat yang kuat dalam permasalahan ini tentunya pendapat
ketiga yang menyatakan bahwa Dajjal benar adanya, dan segala apa yang
ditampilkannya di hadapan umat manusia adalah nyata, bukan khayal
ataupun sulap. Dasar tarjihnya sebagai berikut:
1. Pendapat ini didasari dalil-dalil yang kuat baik dari Al-Qur`an,
hadits mutawatir, dan juga kesepakatan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Sementara pendapat pertama dan kedua tidak demikian adanya.
2. Segala berita yang sah (bersumber) dari Nabi n wajib diterima
dan diyakini kebenarannya. Apalagi bila berita tersebut diriwayatkan
secara mutawatir yang merupakan tingkatan tertinggi dari suatu hadits.
Allah l berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa yang diberitakan Rasul kepada kalian maka terimalah dia, dan
apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ
الْـهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْـمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا
تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran,
dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa`:
115)
Hal itu karena segala apa yang datang dari Rasulullah n adalah wahyu yang turun dari Allah l. Sebagaimana firman Allah l:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْـهَوَى. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
(An-Najm: 3-4)
3. Tidak adanya dalil dari Al-Qur`an, hadits Nabi n, ijma’ ataupun
perkataan sahabat yang mengingkari adanya Dajjal, bahkan semuanya
menunjukkan bahwa Dajjal itu ada.
4. Ingkar terhadap keberadaan Dajjal merupakan pendapat ahlul
bid’ah wal furqah dari kalangan Khawarij, Jahmiyyah, dan sebagian
Mu’tazilah. Dilihat dari narasumbernya saja (yakni ahlul bid’ah wal
furqah) sudah tidak layak, apalagi nyata-nyata bertentangan dengan
hadits mutawatir dan kesepakatan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dari
kalangan ahli fiqih dan ahli hadits.
5. Keimanan akan adanya Dajjal termasuk masalah aqidah (prinsip),
sehingga disebutkan oleh para ulama dalam kitab-kitab aqidah mereka. Di
antaranya:
q Al-Imam Ahmad bin Hanbal t berkata: “(Di antara prinsip Ahlus
Sunnah, pen.) beriman akan kemunculan Al-Masih Dajjal (di akhir zaman,
pen.) yang pada dahinya tertulis huruf yang bermakna kafir, beriman
dengan hadits-hadits seputar Dajjal dan mengimani keberadaannya, serta
beriman bahwa Nabi ‘Isa u akan turun (ke muka bumi) dan membunuh Dajjal
di Bab Ludd.” (Ushul As-Sunnah, hal. 33-34)
q Al-Imam Al-Barbahari t berkata: “Mengimani (berita) kemunculan
Al-Masih Dajjal (di akhir zaman, pen.) dan turunnya Nabi ‘Isa bin Maryam
e (ke muka bumi) lalu membunuh Dajjal.” (Syarhus Sunnah hal. 75)
q Al-Imam Ath-Thahawi Al-Hanafi t berkata: “Kami beriman akan
adanya tanda-tanda hari kiamat seperti munculnya Dajjal dan turunnya
Nabi ‘Isa u dari langit.” (Lihat Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah, karya
Al-Imam Ibnu Abil ‘Izz t hal. 754)
q Al-Imam Abu Muhammad ibnul Husain, yang lebih dikenal dengan
sebutannya Ibnul Haddad Asy-Syafi’i t berkata: “Bahwa tanda-tanda yang
akan muncul menjelang hari kiamat seperti munculnya Dajjal, turunnya
Nabi Isa u, asap tebal, daabbah, terbitnya matahari dari arah barat, dan
lain sebagainya dari tanda-tanda yang terdapat dalam hadits-hadits
shahih adalah benar.” (‘Aqidah Ibnil Haddad, dinukil dari Iqamatul
Burhan/Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah no. 13, tahun 1405 H, hal. 109)
q Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Al-Hanbali t berkata: “Wajib
(bagi setiap muslim, -pen.) untuk beriman kepada semua yang diberitakan
Nabi n dan apa yang dinukil secara shahih dari beliau n, baik perkara
tersebut dapat dilihat mata maupun yang bersifat gaib. Kami meyakini
bahwa semua itu benar dan dapat dipercaya… (hingga perkataan beliau)… di
antaranya adalah yang berkaitan dengan tanda-tanda hari kiamat, seperti
munculnya Dajjal, turunnya Nabi ‘Isa n dan akhirnya membunuh Dajjal,
munculnya Ya’juj dan Ma’juj, terbitnya matahari dari arah barat,
keluarnya daabbah, dan lain sebagainya yang telah shahih penukilannya
(dari Rasulullah n, pen.).” (Lum’atul I’tiqad, lihat syarah Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 101)
Akhir kata, semoga sajian seputar Dajjal dan keberadaannya ini
dapat difahami sebaik-baiknya, khususnya poin diskusi pendapat dan
tarjihnya. Dengan suatu harapan yang mulia, agar kita semua berpegang
teguh dengan Al-Qur`an dan Sunnah Rasul-Nya serta keterangan para ulama
Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam permasalahan ini, sehingga mempunyai satu
kesimpulan yang sama; bahwa keberadaan Dajjal (di akhir zaman) benar
adanya, dan segala apa yang ditampilkannya di hadapan umat manusia
adalah nyata bukan khayal ataupun sulap.
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits ‘Imran bin Hushain z no. 2946.
2 Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits Abu Hurairah z no. 2947.
3 Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits Anas bin Malik z no. 2933 dan Hudzaifah no. 2934.
4 Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits An-Nawwas bin Sam’an z no. 2137.
5 Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits Tamim Ad-Dari z no. 2942.
6 Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri z no. 2938, Anas bin Malik z no. 2933, dan Hudzaifah z no. 2934.
7 Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits An-Nawwas bin Sam’an z no. 2137.
8 Ini merupakan prinsip yang batil. Karena, kalaulah akal itu lebih
utama dari syariat niscaya Allah l akan perintahkan kita untuk
merujuknya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah l
justru memerintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah,
sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa` ayat 59 di atas. Jika
akal itu lebih utama dari syariat niscaya Allah l tidak akan mengutus
para rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju
jalan yang benar sebagaimana yang terdapat dalam surat An-Nahl ayat 36.
Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat, lantas akal siapakah yang
dijadikan sebagai tolok ukur?! Dan banyak hujjah-hujjah lain yang
menunjukkan batilnya kaidah ini. Untuk lebih rincinya lihat kitab Dar`u
Ta’arudhil ‘Aqli wan Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t dan
kitab Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘Alal Jahmiyyatil Mu’aththilah, karya
Al-Imam Ibnul Qayyim t.
9 Yakni tidak menemukan solusi dari masalah yang dibahasnya.
10 Lihat keterangan Al-Hafizh Ibnu Hajar t tentang ayat ini pada sub judul Diskusi Pendapat (pendapat pertama).
No comments:
Post a Comment