Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 036
Cacat yang menghalangi keabsahan hewan qurban dibagi menjadi dua:
1. Yang disepakati oleh para ulama
Diriwayatkan dari Al-Bara` bin ‘Azib z, dia berkata: Rasulullah n pernah berdiri di depan kami, beliau bersabda:
أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي الْأُضْحِيَّةِ: الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ
عَوَرُهَا، وَالْـمَرِيْضُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا، وَالْعَرْجَاءُ
الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا وَالْعَجْفَاءُ الَّتِي لَا تُنْقِي
“Empat hal yang tidak diperbolehkan pada hewan qurban: yang rusak
matanya dan jelas kerusakannya, yang sakit dan jelas sakitnya, yang
pincang dan jelas pincangnya, dan yang kurus dan tidak bersumsum.” (HR.
Abu Dawud no. 2802, At-Tirmidzi no. 1502, Ibnu Majah no. 3144 dengan
sanad yang dishahihkan oleh An-Nawawi t dalam Al-Majmu’, 8/227)
Dalam hadits ini ada empat perkara yang dilarang pada hewan qurban
menurut kesepakatan ulama, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Qudamah t
dalam Syarhul Kabir (5/175) dan An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (8/231, cet.
Dar Ihya`ut Turats Al-‘Arabi). Keempat perkara tersebut adalah:
a. الْعَوْرَاءُ yaitu hewan yang telah rusak dan memutih matanya, dengan kerusakan yang jelas.
b. الْمَرِيْضُ yaitu hewan yang nampak sakitnya, dan dapat diketahui dengan dua cara:
- keadaan penyakitnya yang dinilai sangat nampak, seperti tha’un, kudis, dan semisalnya.
- pengaruh penyakit yang nampak pada hewan tersebut, seperti kehilangan nafsu makan, cepat lelah, dan semisalnya.
c. الْعَرْجَاءُ yaitu hewan yang pincang dan nampak kepincangannya.
Ketentuannya adalah dia tidak bisa berjalan bersama dengan hewan-hewan
yang sehat sehingga selalu tertinggal. Adapun hewan yang pincang namun
masih dapat berjalan normal bersama kawanannya maka tidak mengapa.
d. الْعَجْفَاءُ dalam riwayat lain الْكَسِيْرَةُ yaitu hewan yang
telah tua usianya, pada saat yang bersamaan dia tidak memiliki sum-sum.
Ada dua persyaratan yang disebutkan dalam hadits ini:
- الْعَجْفَاءُ yaitu yang kurus
- لَا تُنْقِي yaitu yang tidak bersumsum.
2. Menurut pendapat yang rajih
Ada beberapa cacat yang masih diperbincangkan para ulama, namun
yang rajih adalah tidak boleh ada pada hewan qurban. Di antaranya adalah
(lihat Asy-Syarhul Mumti’, 3/394-397):
a. الْعَمْيَاءُ yaitu hewan yang sudah buta kedua matanya, walaupun
tidak jelas kebutaannya. Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (8/231)
bahkan menukilkan kesepakatan ulama tentang masalah ini.
b. الـْمُغْمَى عَلَيْهَا yaitu hewan yang jatuh dari atas lalu
pingsan. Selama dia dalam kondisi pingsan maka tidak sah, sebab dia
termasuk hewan yang jelas sakitnya.
c. الْـمَبْشُومَةُ yaitu kambing yang membesar perutnya karena
banyak makan kurma. Dia tidak bisa buang angin dan tidak diketahui
keselamatannya dari kematian kecuali bila dia buang air besar. Maka dia
termasuk hewan yang jelas sakitnya selama belum buang air besar.
d. مَقْطُوعَةُ الْقَوَائِمِ yaitu hewan yang terputus salah satu
tangan/kakinya atau bahkan seluruhnya. Sebab kondisinya lebih parah
daripada hewan yang pincang (الْعَرْجَاءُ).
e. الزُّمْنَى yaitu hewan yang tidak bisa berjalan sama sekali.
Cacat yang tidak memengaruhi keabsahan hewan qurban
Di antaranya ada yang tidak berpengaruh sama sekali karena sangat
sedikit atau ringan sehingga dimaafkan. Ada pula yang mengurangi
keafdhalannya namun masih sah untuk dijadikan hewan qurban. Di
antaranya:
a. الْـحَتْمَى yaitu hewan yang telah ompong giginya.
b. الْـجَدَّاءُ yaitu hewan yang telah kering kantong susunya, yakni tidak bisa lagi mengeluarkan air susu.
c. الْعَضْبَاءُ yaitu hewan yang hilang mayoritas telinga atau tanduknya, baik itu memanjang atau melebar.
Adapun hadits ‘Ali bin Abi Thalib z:
نَهَى النَّبِيُّ n أَنْ يُضَحَّى بِأَعْضَبِ الْقَرْنِ وَالْأُذُنِ
“Nabi n melarang berqurban dengan hewan yang hilang mayoritas tanduk dan telinganya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2805), At-Tirmidzi (no.
1509), Ibnu Majah (no. 3145), dan yang lainnya, dan didhaifkan oleh
Asy-Syaikh Muqbil dalam Tahqiq Al-Mustadrak (4/350) karena dalam
sanadnya ada Jurai bin Kulaib As-Sadusi. Ibnul Madini berkata: “Dia
majhul.” Abu Hatim berkata: “(Seorang) syaikh, haditsnya tidak bisa
dijadikan hujjah.”
d. الْبَتْرَاءُ yaitu hewan yang tidak berekor, baik itu karena
asal penciptaannya (memang asalnya seperti itu) atau karena dipotong.
e. الْـجَمَّاءُ yaitu hewan yang memang asalnya tidak bertanduk.
f. الْـخَصِيُّ yaitu hewan yang dikebiri.
g. الْـمُقَابَلَةُ yaitu hewan yang terputus ujung telinganya.
h. الْـمُدَابَرَةُ yaitu hewan yang terputus bagian belakang telinganya.
i. الشَرْقَاءُ yaitu hewan yang pecah telinganya.
j. الْـخَرْقَاءُ yaitu hewan yang telinganya berlubang.
Adapun hadits ‘Ali bin Abi Thalib z yang berisikan larangan dari
al-muqabalah, al-mudabarah, asy-syarqa`, dan al-kharqa`, diriwayatkan
oleh At-Tirmidzi (no. 1503), Abu Dawud (no. 2804), Ibnu Majah (no.
3142), adalah hadits yang dhaif. Didhaifkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam
Tahqiq Al-Mustadrak (4/350), karena dalam sanadnya ada Syuraih bin
Nu’man. Abu Hatim berkata: “Mirip orang majhul, haditsnya tidak bisa
dijadikan hujjah.” Al-Bukhari berkata tentang hadits ini: “Tidak shahih
secara marfu’.”
Cacat yang disebutkan di atas dan yang semisalnya dinilai tidak berpengaruh karena dua alasan:
1. Tidak ada dalil shahih yang melarangnya. Sedangkan hukum asal
pada hewan qurban adalah sah hingga ada dalil shahih yang melarangnya.
2. Dalil yang melarangnya adalah dhaif.
Wallahul muwaffiq.
No comments:
Post a Comment