Translate this blog

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Tuesday, 9 October 2012

Kisah Nabi Ayyub

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar)
Salah satu pelajaran penting yang bisa diambil dari kisah ini adalah bahwa kesabaran yang dimiliki seorang hamba ketika menghadapi sebuah musibah, akan senantiasa menghasilkan kebaikan. Karena memang sudah menjadi kepastian dari Allah I bahwa ketika seorang hamba mampu bersikap sabar atas sebuah musibah yang menimpanya, maka Allah I akan memberikan banyak kebaikan kepadanya. Sebagaimana Nabi Ayyub u yang ditimpa penyakit kulit yang demikian hebat, namun beliau senantiasa bersabar dan ridha dengan apa yang menimpanya. Akhirnya Allah I pun menyembuhkannya dan mengganti musibah itu dengan berbagai kenikmatan.

Al-Imam Al-Qurthubi t dalam tafsirnya menukilkan dari Ibnu ‘Abbas c bahwa Nabi Ayyub u dinamakan demikian karena beliau selalu kembali (dari kata ) kepada Allah I segenap keadaannya.
Beliau u termasuk nabi dari keturunan Bani Israil dan hamba Allah yang pilihan. Allah I menyebut namanya dalam Kitab-Nya dan memuji dengan pujian yang baik, terutama terhadap kesabarannya dalam menghadapi ujian yang beliau alami.
Ujian Nabi Ayyub u
Allah I berfirman:
“Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika ia menyeru Rabbnya: ‘(Ya Rabbku), sesung-guhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang’. Maka Kamipun memper-kenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.” (Al-Anbiya`: 83-84)
Dalam dua ayat yang mulia ini, Allah U memerintahkan Nabi-Nya n agar mengingat Nabi Ayyub u ketika beliau berdoa kepada Rabbnya:
“Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.”
Doa tersebut dikabulkan oleh Allah I yang kemudian melepaskan beliau dari semua musibah yang menimpa beliau. Allah I berfirman:
“Hantamkanlah kakimu!”1
Beliaupun menghantamkan kakinya, lalu memancarlah mata air yang segar. Kemudian dikatakan kepada beliau, “Minumlah dari air itu dan mandilah!”
Setelah itu Allah I memberikan keluarga beliau kepada beliau dan yang seperti mereka sebagai rahmat serta peringatan bagi orang-orang yang mengabdikan diri kepada Allah I, karena hanya merekalah yang dapat memetik manfaat dari semua peringatan ini.
Makna ini pula yang disebutkan oleh Allah I dalam ayat lain. Firman Allah I:
“Dan ingatlah hamba Kami Ayyub, ketika ia menyeru Rabbnya: ‘Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan’.” (Shaad: 41)
Ibnu Katsir t menceritakan dalam tafsirnya, Nabi Ayyub u diuji melalui tubuhnya. Ada yang menyebut-kan berupa pe-nyakit lepra yang menyerang selu-ruh tubuhnya tan-pa menyisakan seujung jarumpun dari tubuhnya. Tidak ada yang selamat dari ang-gota tubuhnya kecuali hati dan lisannya, yang dengan keduanya beliau berdzikir mengingat Allah U. Akhirnya se-mua orang merasa jijik dan mengasingkan beliau di tempat terpencil, jauh dari keramaian manusia. Tidak ada harta dunia yang tersisa pada beliau kecuali isterinya, yang dengan setia masih mencintai dan merawat beliau. Namun beliau sempat merasakan satu hal yang tidak menyenangkan dari isterinya sehingga beliau bersumpah untuk mencam-buknya seratus kali.
Setelah Allah I menyembuhkan beliau, Allah I merahmati keduanya. Kemudian Allah I perintahkan beliau untuk mengambil seratus batang rumput, lalu memukul isterinya dengan rumput tersebut sebagai pelaksanaan sumpahnya. Allah I berfirman:
“Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah.”2
Dalam kejadian ini, terdapat dalil bahwa kaffaratul yamin (tebusan sumpah) belum disyariatkan dalam agama-agama sebelum kita. Dan kedudukan sumpah ini sama seperti nadzar bagi mereka, artinya harus ditunaikan secara sempurna. Dalam peristiwa ini juga terdapat dalil bahwa orang yang tidak sanggup untuk mene-rima hukuman had karena kelemahan atau hal-hal lainnya (sakit dan sebagainya), boleh mengganti dengan sesuatu yang setara nilainya. Sebab, tujuan diberlakukannya hukuman had itu bukanlah untuk meru-sak atau membina-sakan.
Demikianlah penderitaan Nabi Ayyub u. Dan ini telah diisyaratkan oleh Rasulullah n dalam hadits Sa’d bin Abi Waqqash z:
“Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya?” Kata beliau: “Para Nabi, kemudian yang seperti mereka dan yang seperti mereka. Dan seseorang diuji sesuai dengan kadar dien (keimanannya). Apabila diennya kokoh, maka berat pula ujian yang dirasakannya; kalau diennya lemah, dia diuji sesuai dengan kadar diennya. Dan seseorang akan senantiasa ditimpa ujian demi ujian hingga dia dilepaskan berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak mempunyai dosa.” (Shahih, HR. At-Tirmidzi)
Beberapa Pelajaran Penting
Asy-Syaikh Asy-Syinqithi t dalam tafsirnya (4/514) menerangkan bahwa dalam ayat-ayat tersebut muncul satu pertanyaan, bagaimana bisa dikatakan Nabi Ayyub u sebagai orang yang sabar sebagaimana dalam firman Allah I:
“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar.”3
Padahal beliau mengatakan, sebagai-mana dalam firman Allah I:
“Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.”
Dan firman-Nya:
“Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.”
Ucapan beliau  (Aku telah ditimpa penyakit), bukanlah keluhan, karena Allah sudah menyatakan beliau adalah orang yang sabar:  (Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar). Bahkan ucapan beliau ini tidak lain adalah doa. Karena mengeluhkan sesuatu yang dirasakan itu dilakukan kepada makhluk bukan kepada Allah I, sedangkan doa tidaklah menggugurkan rasa ridha terhadap musibah yang dialami. Apalagi Allah I menyatakan:  (Maka Kami perkenankan seruannya itu).4 Dan ijabah terjadi karena adanya suatu doa, bukan keluhan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t menerangkan (Al-Fatawa, 22/382): “Doa itu tidak disyariatkan kosong begitu saja, tetapi harus disertai pujian. Adapun pujian atau sanjungan dengan hanya semata-mata menyebutkan sanjungan adalah disyariatkan, tidak makruh. Dan sanjungan atau pujian itu sendiri mengandung tujuan atau maksud suatu doa. Maka apabila seseorang yang berdoa memuji atau menyanjung yang diserunya dengan sesuatu yang mengandung tercapainya tujuannya, berarti dia telah sempurna dalam menyebutkan apa yang diinginkannya.
Hal ini seperti yang diucapkan oleh Nabi Ayyub u, sebagaimana firman Allah I:
“Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.”
Ucapan beliau itu lebih indah dan sempurna daripada kalimat  (Rahmatilah aku).
Doa beliau:
“Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang”, datang dalam bentuk berita yang mengandung permintaan. Dan ini merupakan salah satu etika dalam berdoa dan meminta. Menerangkan keadaan dan kebutuhan adalah permintaan yang tampak melalui keadaan lahiriah. Ini lebih sempurna dalam menerangkan dan lebih jelas dalam hal maksud dan keinginan.”
(diambil dari Taisir Al-Lathifil Mannan fi Khulashah Tafsiril Qur’an karya Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t)

1 Al Qur`an surat Shaad ayat 42.
2 Al Qur`an surat Shaad ayat 44.
3 Al Qur`an surat Shaad ayat 44.
4 Al Qur`an surat Al-Anbiya` ayat 84.

No comments: