Translate this blog

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Tuesday, 9 October 2012

Kisah Nabi Dawud dan Sulaiman

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)
Pernahkah kita berpikir, hewan-hewan yang ada di sekitar kita mengenal Allah U dan suka memuji kepada-Nya? Dari kisah Nabi Sulaiman e ini, kita ketahui bahwa ternyata hewan juga mengenal Allah U sebagai Rabbnya dan mereka suka bertasbih kepada-Nya. Yaitu dari kejadian burung Hud Hud yang melihat peribadatan Ratu Saba` dan rakyatnya, yang bukan ditujukan kepada Allah U tetapi mereka justru menyembah matahari.

Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman e adalah nabi-nabi utama dari kalangan Bani Israil. Allah U himpunkan bagi keduanya nubuwwah (kenabian) dan hikmah serta kerajaan yang besar dan kuat.
Nabi Dawud u sebelumnya adalah seorang prajurit dalam pasukan Thalut yang telah dipilih oleh salah seorang Nabi dari Bani Israil sebagai raja mereka. Thalut dipilih karena keberanian, kekuatan serta luasnya ilmu pengetahuan tentang pemerintahan dan siasat perang. Hal ini sebagaimana Allah I firmankan:
“Dan Allah menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” (Al-Baqarah 247)
Ketika mereka berhadapan dengan Jalut serta tentaranya, pasukan Thalut bersabar dan memohon pertolongan kepada Allah I. Dawud u ternyata melampaui keberanian mereka. Segera dia menghadapi Jalut dan membunuhnya, sehingga sisa pasukannya menderita kekalahan. Dan Allah I menolong Bani Israil.
Kemudian Allah I mengangkat Dawud menjadi Nabi dan memberinya hikmah serta kerajaan yang kuat. Allah I berfirman:
“Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan masalah.” (Shad: 20)
Allah I telah memberinya kekuatan dalam beribadah dan ilmu pengetahuan. Bahkan mensifatkannya dengan dua sifat ini, yang merupakan ciri kesempurnaan seseorang. Allah I berfirman:
“Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan; dan ingatlah hamba Kami Dawud yang mempunyai kekuatan. Sesungguhnya dia seorang yang awwab.” (Shad: 17)
Di sini Allah I sifati beliau sebagai seorang yang memiliki kekuatan besar dalam melaksanakan perintah Allah I. Dan beliau adalah seorang yang awwab karena begitu sempurna pengetahuannya tentang Allah I.
Allah I telah menundukkan burung-burung dan gunung-gunung agar bertasbih bersamanya. Beliau telah pula diberi anugerah oleh Allah berupa suara yang merdu yang belum pernah diterima oleh manusia sebelumnya.
Nabi Dawud u biasa tidur di pertengahan malam dan bangun pada sepertiganya, lalu tidur lagi pada seperenamnya. Beliau biasa berpuasa sehari dan sehari berbuka. Apabila bertemu dengan musuh, maka siapapun akan melihat keperkasaan beliau yang menakjubkan. Allah I telah pula melunakkan besi baginya dan mengajarinya bagaimana membuat baju besi, perisai dan alat-alat perang lainnya. Beliaulah orang pertama membuat semua alat tersebut.
Allah I pernah menegur beliau dengan mengutus dua orang malaikat sebagai dua orang yang sedang bersengketa. Kedua malaikat itu menemui Nabi Dawud di mihrab, sehingga beliau merasa terkejut, karena mereka masuk pada waktu yang tidak diizinkan seorangpun masuk ketika itu dengan cara memanjat dinding mihrab.
Allah I berfirman menceritakan hal ini:
“Jangan takut. Kami dua orang yang berselisih. Salah seorang dari kami berbuat dzalim terhadap yang lain. Maka berilah keputusan di antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus.” (Shad: 22)
Kemudian salah seorang menerangkan keadaan mereka, katanya:”Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai 99 ekor kambing –yang dimaksudkannya adalah wanita (isteri)– sedangkan saya hanya mempunyai satu ekor. Lalu dia (saudaraku ini) berkata: ‘Serahkanlah kambingmu kepadaku,’ dan dia mengalahkan saya dalam perdebatan. Artinya, alasan dia lebih kuat sehingga mengalahkan pendapat saya.”
Lalu Dawud u berkata, sebagaimana diceritakan oleh Allah I:
“Sesungguhnya dia telah berbuat dzalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat dzalim kepada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan amat sedikitlah mereka itu.” (Shad: 24)
Akhirnya Nabi Dawud u mengetahui bahwa dialah yang dimaksud dalam kasus tersebut, beliaupun tersadar. Allah I berfirman:
“Dan Dawud mengetahui bahwa Kami mengujinya, maka diapun meminta ampun kepada Rabbnya, menyungkur sujud dan bertaubat. Maka Kami ampuni kesalahannya dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan yang dekat di sisi Kami dan tempat kembali yang baik.” (Shad: 24-25)
Akhirnya Allah I menghapus dosa beliau dan keadaannya jauh lebih baik daripada sebelum kejadian itu. Beliau mendapat tempat yang sangat dekat di sisi Allah I dan kesudahan yang baik.
Allah I berfirman:
“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi. Maka berilah keputusan dengan adil di antara manusia. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu. Karena hawa nafsu itu akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Shad: 26)
Sedangkan kepada Nabi Sulaiman bin Dawud u, Allah I telah memberinya nubuwah (kenabian), mewarisi ilmu, nubuwah dan kerajaan ayahnya. Bahkan Allah I memberikan tambahan baginya kerajaan yang besar yang belum pernah dimiliki siapapun sebelum ataupun sesudahnya.
Allah I menundukkan kepadanya angin yang berhembus menurut ke mana saja beliau kehendaki, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan di waktu sore juga sama dengan perjalanan sebulan. Juga para jin dan syaithan serta Ifrit, yang mengerjakan untuknya pekerjaan besar menurut keinginannya. Mereka membuat untuk Nabi Sulaiman u gedung-gedung tinggi, patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang (tetap di atas tungku). Mereka datang dan pergi kemanapun sesuai kehendaknya.
Allah I juga menundukkan kepadanya pasukan dari manusia, jin dan burung-burung lalu mereka diatur dengan tata tertib yang mengagumkan. Allah I mengajarkan kepada beliau pengertian tentang suara burung dan seluruh hewan yang ada. Dan mereka kadang mengajak beliau berbicara dan beliau pun memahami pembicaraan mereka. Oleh sebab itu beliau dapat berdialog dengan Hud Hud dan menanyainya, juga mengerti ucapan seekor semut ketika mengingatkan semut-semut lainnya. Allah I berfirman:
“Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadarinya.” (An-Naml: 19)
Semut itu memperingatkan dan memerintahkan supaya para semut itu melindungi diri mereka dari Sulaiman dan pasukannya. Nabi Sulaiman tersenyum dan tertawa mendengar kata-kata semut itu, lalu berkata:
“Wahai Rabbku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua ibu bapakku. Dan agar aku mengerjakan amal shalih yang Engkau ridhai dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih.” (An-Naml: 19)
Salah satu bentuk kebaikan dan ketelitian pengaturan beliau adalah beliau sendiri yang langsung turun tangan memeriksa pasukannya. Padahal sudah ada masing-masing yang menjadi pengawas mereka. Juga karena firman Allah I yang berbunyi “Mereka diatur dengan tertib dalam barisan,” menunjukkan hal itu. Sehingga beliau sendiri mencari burung-burung agar mengetahui apakah dia berada di markasnya atau tidak. Allah I menceritakan hal ini dalam Al Qur`an ketika Nabi Sulaiman tidak melihat burung Hud Hud, beliau berkata:
“Mengapa aku tidak melihat Hud Hud, apakah dia temasuk yang tidak hadir?” (An-Naml: 20)
Dan bukan seperti komentar sebagian mufassir bahwa beliau mencari Hud Hud adalah agar mencarikan daerah yang banyak airnya seberapa jauh dari tempat mereka saat itu. Karena sesungguhnya tanggapan tersebut berbeda jauh dengan susunan kalimat Al Qur‘an. Allah tidak mengatakan bahwa beliau mencari Hud Hud, tapi justeru mengatakan dalam ayat itu  “Dan dia memeriksa burung-burung”.
Kemudian Nabi Sulaiman mengancamnya karena telah menyelisihi perintahnya. Namun karena kerajaannya ditegakkan di atas keadilan, beliau menyebutkan pengecualian. Allah I berfirman menceritakan hal ini:
“Sungguh aku benar-benar akan mengadzabnya dengan adzab yang keras atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika dia benar-benar datang kepadaku dengan alasan yang jelas. Maka tidak lama kemudian datanglah Hud Hud, lalu ia berkata:”Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya, dan kubawa kepadamu dari negeri Saba` suatu berita yang penting diyakini, Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah. Dan syaithan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan Allah, sehingga mereka tidak mendapat petunjuk. Mengapakah mereka tidak sujud (menyembah) kepada Allah Yang Mengeluarkan apa yang tersembunyi di langit dan bumi.
Dan Yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu tampakkan. Allah, tidak ada ilah kecuali Dia, Rabb yang Mempunyai ‘arsy yang besar.” (An-Naml: 21-26)
Dalam kesempatan yang demikian singkat ini, Hud Hud datang membawa berita besar ini. Disampaikannya kepada Nabi Sulaiman tentang penguasa negeri Yaman, seorang ratu. Dan ratu itu dianugeahi segala yang dibutuhkan oleh seorang penguasa, bahkan mempunyai singgasana yang besar. Hud Hud ternyata bukan hanya memahami kerajaan dan kekuatan mereka, tetapi juga mengerti apa yang menjadi keyakinan rakyat Saba`. Mereka adalah orang-orang yang musyrik, menyembah matahari. Hud Hud dengan tegas mengingkari kesyirikan yang mereka lakukan.
Hal ini menunjukkan bahwa hewan-hewan itu sesungguhnya mengenal Rabb (Yang menciptakan, memberi dan mengatur rizki) mereka, di mana mereka juga bertasbih memuji dan mentauhidkan-Nya. Mereka mempunyai rasa cinta kepada orang-orang yang beriman dan mereka juga taat kepada Rabbnya. Bahkan mereka juga membenci orang-orang kafir dan orang yang mendustakan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Mereka tunduk kepada Allah dengan sikap ini.




(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)
Keyakinan dan pemikiran yang menyimpang dapat menguasai akal siapapun dan mengurangi kecerdasannya, sampai dia mendapatkan sebab atau jalan yang diberkahi yang menerangkan kepadanya hakekat kebenaran dan membimbingnya untuk mengikuti kebenaran itu. Inilah keadaan Ratu Saba` dan para pengikutnya. Mereka memiliki otak yang cerdas, tetapi mereka justru melakukan peribadatan kepada sesuatu yang tidak mampu memberi kemanfaatan dan kemudharatan. Setelah terjadi dialog dengan Nabi Sulaiman u, Ratu Saba` akhirnya mau kembali kepada fitrahnya, yaitu beribadah kepada Allah.
Kemudian Nabi Sulaiman u mengatakan:
“Akan kami lihat, apa kamu benar ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta. Pergilah dengan suratku ini, lalu jatuhkanlah kepada mereka, dan berpalinglah dari mereka, kemudian perhatikan apa yang mereka bicarakan.” (An-Naml: 27-28)
Berangkatlah Hud Hud dengan surat tersebut, lalu dia jatuhkan di kamar Ratu Saba`. Setelah membacanya, Ratu Saba` menganggap ini adalah masalah besar dan mengkhawatirkannya. Diapun segera mengumpulkan para pembesarnya dan berkata, sebagaimana dikisahkan:
“Hai para pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sehelai surat yang mulia, sesungguhnya surat itu dari Sulaiman dan (dimulai) dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagi orang-orang yang berserah diri.” (An-Naml: 29-31)
Sebuah surat yang ringkas dan sarat dengan semua tujuan yang diinginkan. Allah menceritakan bahwa ratu itu berkata lagi:
“Hai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusanku ini.” (An-Naml: 32)
Yakni, berilah saya nasehat buah pikiran. Ini menunjukkan kecerdasan dan bagusnya tata tertib yang dibuatnya dengan mengadakan musyawarah bersama para pembesar kerajaan. Allah I berfirman mengisahkan pembicaraan mereka:
“Aku tidak pernah memutuskan suatu persoalan sebelum kalian hadir. Mereka berkata: ‘Kita adalah orang-orang yang mempunyai kekuatan dan keberanian yang hebat. Dan keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang anda perintahkan’.” (An-Naml: 32-33)
Maknanya: “Kami siap melaksanakan apa yang baginda perintahkan, berperang atau berdamai. Kami kembalikan urusan ini kepada titah baginda.”
Setelah mempertimbangkan semuanya, ratu memilih berdamai, tapi dengan bentuk yang serius. Ia berkata:”Saya akan mengirimkan hadiah kepadanya sekarang.”
“Lalu aku akan melihat bagaimana jawaban yang dibawa para utusan kita.” (An-Naml: 35)
Maksudnya, dengan hadiah ini, kalau benar dia seperti raja-raja lain yang tidak ada ambisinya selain dunia, boleh jadi hadiah itu akan merusak kehormatannya dan melumpuhkan semangat (kemauannya). Kita bisa berdamai dengannya jauh sebelumnya. Kalau bukan demikian, maka jelaslah urusannya.
Maka dikirimlah beberapa utusan cerdik pandai menemui Nabi Sulaiman u. Sesampai di hadapan beliau dengan hadiah tersebut, Nabi Sulaiman u berkata, sebagaimana Allah kisahkan:
“Apakah kamu menolongku dengan harta? Padahal apa yang diberikan Allah kepadaku jauh lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepada kamu. Bahkan kamu merasa bangga dengan hadiahmu itu.” (An-Naml: 36)
Nabi Sulaiman u menjelaskan kepada para utusan itu, bukan dunia yang menjadi tujuan dan cita-citanya. Tujuan dan cita-citanya tidak lain adalah menegakkan agama ini dan masuknya hamba-hamba Allah itu ke dalam Islam. Setelah itu beliau berpesan secara langsung kepada para utusan itu, tidak membutuhkan tulisan. Allah I menyebutkan pembicaraan mereka:
“Kembalilah kepada mereka. Sungguh kami akan menyerang mereka dengan bala tentara yang tidak bisa mereka hadapi. Dan pasti kami akan mengusir mereka dari negeri itu dalam keadaan terhina dan menjadi tawanan yang hina.” (An-Naml: 37)
Nabi Sulaiman u tahu mereka tentu akan takluk dan menyerah. Kemudian beliau u berkata kepada para pembesarnya, sebagaimana diceritakan Allah dalam firman-Nya:
“Siapakah di antara kamu yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang menyerah kepadaku?” Ifrit dari kalangan jin berkata:”Saya akan membawanya kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu. Sesungguhnya aku benar-benar kuat dan terpercaya.” (An-Naml: 39)
Ketika itu posisi Nabi Sulaiman u masih berada di daerah Syam yang jaraknya ke Yaman sekitar dua bulan perjalanan pulang dan pergi. Kemudian berkatalah seseorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab, Allah sebutkan dalam ayat selanjutnya:
“Saya akan membawanya kepadamu sebelum matamu berkedip.” (An-Naml: 40)
Menurut sebagian mufassir, laki-laki itu adalah orang shalih yang telah diberi Ismul A’zham (salah satu dari Nama Allah Yang Maha Agung), yang apabila seseorang berdoa kepada Allah dengan menyebut nama ini maka pasti Allah mengabulkannya. Dan dia pun memohon kepada Allah. Tiba-tiba muncullah singgasana itu sebelum Nabi Sulaiman u mengedipkan matanya. Adapula yang mengatakan bahwa orang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab itu,  mempunyai sebab yang telah ditundukkan Allah untuk Nabi Sulaiman u, yaitu sebab-sebab yang mendekatkan perhubungan jarak yang jauh.
Bagaimanapun juga, ini adalah kekuasaan yang besar yang dengan sekejap mata telah mendatangkan singgasana yang besar milik Ratu Saba` itu. Oleh karena itu, ketika melihat singgasana itu muncul di hadapannya, beliau segera memuji Allah I sebagai rasa syukur. Allah I berfirman:
“Ini termasuk karunia Rabbku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkarinya. Barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Dan barangsiapa mengingkari, maka sesungguhnya Rabbku Maha Kaya lagi Maha Pemurah.” (An-Naml: 40)
Kemudian beliau berkata kepada pembesar di sekitarnya, sebagaimana disebutkan dalam ayat berikutnya () “Ubahlah singgasananya”, yakni tambah dan kurangilah dari bentuk aslinya. () “Kita lihat apakah dia mengenal ataukah dia termasuk orang-orang yang tidak mengenalnya?”
Sebelumnya beliau memuji kecerdasan pikiran ratu tersebut. Beliau ingin agar ratu itu menyadari hakekat yang sebenarnya. Setelah ratu itu tiba, beliau bertanya kepadanya, (sebagaimana Allah ceritakan) () “Seperti inikah singgasanamu?” Beliau tunjukkan kepadanya. Tatkala melihat singgasana itu, ratu segera mengenalnya, tapi ragu-ragu karena terdapat beberapa perubahan di sana sini. Namun ia tetap menjawab: “Seakan-akan inilah dia.” Ia tidak berani memastikan itulah singgasananya, karena sudah mengalami beberapa perubahan, namun juga tidak mengingkari itu adalah singgasananya karena memang dia mengenalnya. Nabi Sulaiman semakin mengenal kecerdasan ratu tersebut.
Allah I berfirman menceritakan kejadian itu:
“Dan kami telah diberi pengetahuan sebelumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri.” (An-Naml: 42)
Kalau  ini adalah ucapan Nabi Sulaiman u yang diceritakan oleh Allah kepada kita, maka maksudnya adalah sesungguhnya kami telah diberitahu tentang kecerdasan ratu ini dan kami tahu sebelum kejadian ini. Lalu terbuktilah apa yang kami yakini setelah kami mengujinya. Dan kalau ucapan ini dari Ratu Saba`, maka maksudnya ialah, kami telah diberi pengetahuan sebelumnya tentang Raja Sulaiman, yang sesungguhnya kekuasaannya adalah kerajaan nubuwah, dan risalah  serta kekuatan yang sangat hebat sebelum kejadian ini. () “Kami adalah orang-orang yang berserah diri,” artinya kami tunduk terhadap perkataannya sesudah kami tahu siapa Sulaiman sebenarnya.
Seakan-akan dapat dikatakan: dengan akal yang cerdas dan pemikiran yang jernih, bagaimana mungkin terjerumus sehingga beribadah kepada selain Allah dan bagaimana mungkin akal yang sehat seperti ini bergabung dengan peribadatan kepada selain Allah yang sama sekali tidak memberi manfaat apalagi mudharat? Dan tidak lain hanya mencelakakan orang-orang yang menyembahnya?
Jawaban atas pertanyaan tadi adalah sebagaimana firman Allah I:
“Dan apa yang diibadahinya selama ini selain Allah, telah menghalanginya (untuk beriman). Sesungguhnya dia dahulu termasuk orang-orang yang kafir.” (An-Naml 43)
Memang demikianlah kenyataannya. Keyakinan dan pemikiran yang menyimpang dapat menguasai akal siapapun dan mengurangi kecerdasannya, sampai dia mendapatkan sebab atau jalan yang diberkahi yang menerangkan hakekat kebenaran kepadanya dan membimbingnya untuk mengikuti kebenaran itu.
Nabi Sulaiman u mempunyai istana dari kaca yang bentuknya seakan-akan aliran sungai. Siapapun yang memandangnya akan menyangka itu adalah sebuah anak sungai karena beningnya kaca lantai tersebut. Maka ketika dikatakan kepada ratu itu,”Masuklah ke dalam istana.” Dia mengira lantai istana itu adalah kolam air yang besar dan disingkapkannya kedua betisnya. Nabi Sulaiman u berkata,”Sesungguhnya ini adalah istana licin terbuat dari kaca.”
Allah I menceritakan bahwa akhirnya Ratu Saba` menyadari dan berkata:
“Wahai Rabbku, sesungguhnya aku telah mendzalimi diriku sendiri. Dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah Rabb semesta alam.” (An-Naml: 44)
Beliau akhirnya tunduk kepada Allah dan diikuti oleh kaumnya. Ada sebagian mufassir mengatakan beliau dipersunting oleh Nabi Sulaiman u sebagai isteri. Wallahu a’lam.
Dan di zaman Nabi Sulaiman para setan ditundukkan Allah kepada beliau. Dan sampai berita kepada beliau bahwa para setan ini selama berkumpul dengan manusia telah menyebarkan sihir. Kemudian beliau mengumpulkan mereka dan mengancam mereka serta mengambil buku yang berisi ilmu sihir itu dan menguburnya. Dan sepeninggal beliau, setan-setan itu mendatangi manusia dan berkata: ”Sesungguhnya kerajaan Sulaiman menjadi hebat dan kuat karena didukung oleh kekuatan sihirnya. Keluarkanlah buku yang penah dipendamnya.” Kemudian para setan itu menyebarkan berita menyesatkan manusia bahwa ilmu sihir ini asalnya dari Nabi Sulaiman u. Mereka tuduh Nabi Sulaiman u sebagai tukang sihir.
Berita ini juga disebarluaskan oleh sekelompok orang Yahudi. Namun Allah I membersihkan Nabi Sulaiman u dari segala tuduhan itu, bahkan menerangkan bahwa sihir itu adalah ilmu yang hanya memberikan mudarat. Allah I berfirman:
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh para syaithan pada masa kerajaan Sulaiman. Dan tidaklah Sulaiman itu kafir.” (Al-Baqarah: 102)
Yakni dengan mengajarkan sihir dan meridhainya. Kemudian Allah I nyatakan:
“Akan tetapi setan-setan itulah yang kafir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia.” (Al-Baqarah: 102)
Ini merupakan keagungan Al Qur`an yang senantiasa memerintahkan manusia agar beriman dengan para rasul, dan menyebut mereka dengan sifat-sifat mereka yang baik, sekaligus membersihkan mereka dari tuduhan-tuduhan manusia yang mengingkari risalah mereka.
Allah pernah menguji Nabi Sulaiman u dan meletakkan di kursinya sebagai teguran baginya atas beberapa kekeliruan beliau dan mengembalikannya kepada ketundukan yang sempurna kepada Rabbnya. Oleh karena itulah Allah I mengatakan, “Kemudian dia bertaubat,” kepada Allah dengan hati dan lisan serta jasadnya lahir dan batin. Allah berfirman menceritakan hal ini:
“Wahai Rabbku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki seorangpun sesudahku. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi.” (Shad: 35)
Allah I mengabulkan pemohonan beliau dan memberikan apa yang dimintanya berupa ampunan dosa dan semua yang disebutkan tadi.
Allah I memuji Nabi Dawud dan Sulaiman e dengan memberikan ilmu dan hikmah kepada keduanya. Terutama Nabi Sulaiman u dengan tambahan pengertian terhadap suatu permasalahan. Firman Allah I:
“Dan (ingatlah) kisah Dawud dan Sulaiman ketika keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kaumnya.” (Al-Anbiya`: 78)
Yakni, kambing-kambing itu masuk ke dalam kebun-kebun mereka dan memakan tumbuhan dan tanaman yang ada di dalamnya. Nabi Dawud u pada mulanya memutuskan sesuai dengan ijtihad dan perkiraannya bahwa kambing-kambing itu harus menjadi milik si petani. Karena menurut dugaan beliau, sesuatu yang merusak pertanian itu harus diganti sesuai dengan nilainya. Kemudian kasus itu diserahkan kepada Nabi Sulaiman u. Nabi Sulaiman u memutuskan bahwa pemilik kambing harus menggantikan tugas pemilik kebun dalam memberikan pengairan dan pengurusan terhadap tanaman yang ada di kebun itu sampai kembali seperti sedia kala sebelum dirusak oleh kambing-kambing itu. Dan pemilik kambing menyerahkan hasil-hasil dari peternakan kambingnya seperti susu, bulu, lemak dan sebagainya kepada si pemilik kebun, sebagai imbalan karena dia juga mengambil manfaat dari hasil kebun si petani dalam masa-masa tersebut. Dan keputusan Sulaiman u ini lebih dekat kepada kebenaran serta lebih bermanfaat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itulah Allah I menyatakan:
“Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat). Dan kepada keduanya telah Kami berikan hikmah dan ilmu.” (Al-Anbiya`: 79)
Sama dengan kejadian ini juga adalah ketika Dawud dan Sulaiman e memutuskan perkara antara dua orang wanita yang masing-masing membawa seorang bayi. Tiba-tiba bayi wanita yang lebih tua diterkam oleh serigala. Wanita itu mengatakan kepada yang lebih muda bahwa anaknyalah yang diterkam serigala itu, dan yang selamat adalah bayinya. Sedangkan wanita yang lebih muda menolak pengakuan tersebut,”Bahkan yang benar adalah serigala itu menerkam bayi wanita yang lebih tua.”
Akhirnya keduanya mengadukan perkara mereka kepada Nabi Dawud u. Dan beliau tidak melihat yang lebih benar perkataannya selain pengakuan wanita yang lebih tua sehingga memutuskan bahwa anak itu menjadi haknya karena merasa iba kepadanya. Sedangkan wanita yang lebih muda mungkin oleh Allah nanti akan diberi rizki lagi seorang anak sebagai gantinya.
Namun kasus tersebut akhirnya sampai kepada Nabi Sulaiman u. Beliau berkata: “Ambilkan pisau, supaya saya belah dua bayi ini untuk kalian berdua.” Ternyata wanita yang lebih tua merelakannya. Sedangkan yang lebih muda berkata -ketika melihat bahwa tetap hidupnya bayi itu meskipun di tangan orang lain masih lebih baik daripada dia mati-: “Dia adalah anaknya, wahai Nabi Allah.”
Mendengar hal ini, Nabi Sulaiman u segera memahami bahwa naluri keibuan wanita yang lebih muda ternyata lebih kuat dan jelas. Sehingga beliau memutuskan bahwa bayi itu sesungguhnya bukanlah milik wanita yang lebih tua karena melihat bagaimana wanita itu merelakan bayi itu dibelah dua, padahal kalau bayi itu betul-betul puteranya tidak mungkin seorang ibu akan tega melakukan hal yang demikian.
Dari sini Nabi Sulaiman u melihat bahwa yang mendorong hal itu dilakukan wanita yang lebih tua tidak lain karena iri dan dengki. Jelas di dalam kisah ini bahwa mengeluarkan suatu keputusan yang tepat dalam sebuah kasus seperti di atas dengan bukti dan hal-hal yang mendukung serta saksi terhadap permasalahan tersebut merupakan pemahaman yang Allah berikan secara khusus kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
(Diambil dari Taisir Al-Lathif Al-Manan fi Khulashah Tafsir Al Qur`an karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di)


(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib)
“Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah I, niscaya Allah I akan memberinya ganti dengan yang lebih baik.” Inilah satu pelajaran penting yang bisa diambil dari kisah ini. Ketika Nabi Sulaiman u membunuh kuda-kudanya karena telah membuat lalai dari berdzikir kepada Allah I, maka Allah I menggantinya dengan ditundukkannya angin dan setan bagi beliau.”
Di antara pelajaran penting yang dapat di ambil:
1. Bahwa Allah I menceritakan keadaan umat sebelumnya kepada Nabi-Nya Muhammad n adalah untuk meneguhkan hati dan menenangkan jiwa beliau. Allah I ceritakan kepada beliau tentang hebatnya ibadah dan kesabaran umat sebelumnya dan taubat mereka, di mana semua itu akan membangkitkan keinginan untuk berlomba dengan mereka dalam mendekatkan diri kepada Allah I dan bersabar atas semua gangguan dari kaumnya. Oleh karena itu, Allah I menyebutkan di bagian awal surat Shad perkataan orang-orang yang mendustakan Nabi Muhammad n dan gangguan mereka terhadapnya. Kemudian setelah itu Allah I mengatakan:
“Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan; ingatlah hamba Kami Dawud yang mempunyai kekuatan. Sesungguhnya dia adalah orang awwab1.” (Shad: 17)
2. Firman Allah I (yang mempunyai kekuatan. Sesungguhnya dia adalah orang awwab) adalah pujian agung dari Allah I terhadap orang yang mempunyai kedua sifat ini. Yaitu kekuatan jasmani dan ruhani untuk tetap taat kepada Allah I dan senantiasa kembali kepada Allah I, lahir dan batin. Di mana semua ini mengandung konsekuensi (tuntutan) keharusan mencintai-Nya dan mengenal-Nya secara sempurna. Dan kedua sifat ini berada pa pada kedudukan yang sangat tinggi dan sempurna. Sedang yang ada pada para pengikut mereka, sesuai dengan sejauh mana mereka mengikuti atau menjadikan para nabi itu sebagai teladan yang baik bagi mereka.
Pujian yang Allah I berikan kepada dua sifat ini menunjukkan dorongan untuk menjalankan semua sebab yang akan menumbuhkan kekuatan dan inabah tersebut. Juga agar seorang hamba senantiasa mau kembali kepada Allah I dalam setiap keadaannya, susah ataupun senang.
3. Allah I memuliakan Nabi-Nya, Dawud u dengan menganugerahkan suara yang merdu kepadanya. Gunung-gunung serta burung-burung bertasbih memuji Allah I bersamanya. Semua ini sebagai tambahan kemuliaan dan derajatnya yang tinggi.
4. Termasuk nikmat Allah I yang paling besar bagi hamba-Nya ini, Allah I memberinya rizki berupa ilmu yang bermanfaat serta hikmah untuk mengenal pembicaraan manusia dan pendapat-pendapat mereka ketika terjadinya perselisihan. Sebagaimana firman Allah I (dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan masalah).
5. Sempurnanya perhatian Allah I tehadap para Nabi kekasih-Nya. Apalagi ketika mereka tergelincir dengan satu ujian dan cobaan untuk menghapus mahdzur (kekurangan) dari mereka sehingga kembali menjadi lebih sempurna dari keadaan mereka sebelumnya. Inilah yang dialami oleh Nabi Dawud u
6. Para nabi adalah orang-orang yang ma’shum (terpelihara dari dosa) dalam menyampaikan risalah dari Allah. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kita untuk taat kepada mereka secara mutlak. Adapun tujuan risalah itu, tidaklah akan terwujud kecuali dengan sifat ini (ma’shum). Boleh jadi suatu saat muncul dari mereka sesuatu yang salah. Namun Allah I sudah lebih dahulu dengan sifat-Nya Yang Maha Halus memberikan taubat dan inabah kepada mereka.
7. Nabi Dawud u senantiasa memanfaatkan waktunya untuk selalu berada di mihrabnya (tempat ibadahnya). Di sanalah beliau menyibukkan diri dengan beribadah kepada Rabbnya. Dan beliau juga menyediakan waktu khusus bagi kepentingan rakyatnya. Dengan demikian beliau benar-benar telah menunaikan hak Allah I  secara sempurna sekaligus juga hak para hamba Allah I .
8. Sepantasnya seseorang menunjukkan sopan santunnya ketika ia ingin menemui seseorang, terutama seorang penguasa atau pemimpin. Karena kedua “laki-laki” yang berselisih itu masuk menemui Nabi Dawud justeru pada waktu yang tidak biasanya. Bahkan bukan melalui pintu yang telah disediakan sehingga hal itu memberatkannya, dan bukanlah suatu hal pantas untuk dilakukan.
Namun meskipun demikian buruknya adab sopan santun dari orang-orang yang mengadukan perselisihan mereka, tidak sepantasnya pula seorang hakim menolak untuk mengadilinya. Hal ini memperlihatkan betapa besarnya sifat santun beliau yang tidak menjadi marah kepada keduanya meskipun mereka menemuinya tanpa izin, dan bahkan tidak pula beliau menghardik dan mencela mereka.
9. Bolehnya seseorang yang dizalimi mengatakan kepada orang yang menzaliminya,”Hai orang yang zalim”, “Engkau telah menzalimi saya”  atau yang semakna. Karena hal ini disebutkan dalam ayat: (Salah seorang dari kami berbuat zalim terhadap yang lain).
10. Seseorang yang diberi nasehat walaupun kedudukannya sangat tinggi dan berilmu, dia tetap wajib untuk tidak murka dan tidak merasa enggan menerima nasehat tersebut. Bahkan seharusnya dia segera menerima nasehat itu dan berterima kasih kepada yang menasehatinya. Serta bertahmid memuji Allah I yang telah menunjukkan kepadanya seseorang yang menasehatinya. Dan Nabi Dawud u sama sekali tidak merasa enggan menerima tuntutan dari kedua orang yang berselisih itu, di mana mereka meminta kepada beliau:  (Maka berilah keputusan di antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus). Dan beliau menetapkan keputusan benar-benar sesuai dengan kebenaran.
11. Pergaulan antara kerabat, teman dan para relasi, serta seringnya terjadi keterkaitan dalam hubungan harta tidak jarang menimbulkan permusuhan, di mana yang satu menzalimi yang lain. Dan tidak ada yang dapat menepis penyakit ini kecuali ketakwaan, kesabaran dan keimanan serta amal shalih. Namun hal ini sangat sedikit ditemukan di tengah-tengah kehidupan manusia.
12. Penghargaan yang Allah berikan kepada Dawud dan Sulaiman e dengan menjadikan mereka sebagai hamba-hamba-Nya yang terdekat dan mempunyai tempat kembali yang baik di sisi Allah I. Hendaknya jangan ada yang menyangka bahwa apa yang dialami keduanya mengurangi derajat keduanya di sisi Allah I  (bahkan sebaliknya). Hal ini merupakan kesempurnaan sifat Allah I  yang Maha Halus terhadap hamba-hamba-Nya yang ikhlas. Di mana Allah I  mengampuni dosa-dosa mereka dan menghapus bekas-bekas dosa tersebut bahkan mencabutnya dari hati setiap hamba-Nya. Dan semua itu tidaklah berat bagi Allah Yang Maha Pemurah.
13. Martabat hukum di tengah-tengah manusia adalah martabat diniyah (berkaitan dengan agama). Dan ini adalah tugas dan wewenang para rasul Allah dan hamba-hamba-Nya yang istimewa. Yang berlaku adalah penetapan hukum berdasarkan Al-Haq dan tidak mengikuti hawa nafsu.
14. Memberi keputusan berdasarkan kebenaran berarti mengharuskan seseorang yang akan menanganinya untuk mempunyai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan permasalahan syariat dan ilmu tentang gambaran kasus yang sebenarnya. Serta bagaimana memasukkannya ke dalam ketetapan-ketetapan syariat secara umum. Sedangkan orang yang jahil (bodoh) dan tidak memiliki ilmu tentang salah satu dari kedua hal ini, maka tidak halal baginya untuk maju memberi keputusan di antara manusia.
15. Nabi Sulaiman u dapat dianggap sebagai bukti keutamaan Nabi Dawud u dan anugerah Allah kepada beliau. Allah I berfirman:
“Dan Kami karuniakan Sulaiman kepada Dawud, dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia adalah seorang yang awwab.” (Shad: 30)
Ini adalah pujian paling utama dan kebanggaan paling besar bagi Sulaiman.
16. Dalam kisah ini disebutkan betapa banyak kebaikan dan karunia Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang pilihan. Di mana Allah menganugerahkan akhlak yang begitu indah dan (kemauan untuk mengerjakan) amalan shalih kepada mereka. Kemudian Allah I memuji mereka dan menyediakan bermacam-macam pahala hasil dari kebaikan tersebut. Ini menunjukkan bahwa Allah I  satu-satunya yang memberikan karunia dengan menyediakan semua sebab dan akibatnya.
17. Diterangkan pula dalam kisah ini bahwa Nabi Sulaiman lebih mementingkan rasa cintanya kepada Allah I  di atas cintanya terhadap apapun juga. Beliau lebih suka membunuh kuda-kuda kesayangannya yang telah membuatnya lupa berdzikir mengingat Allah I  sampai matahari tenggelam. Dan ini menunjukkan bahwa semua yang menyibukkan seseorang (sehingga lupa) untuk taat kepada Allah I adalah tercela. Maka hendaklah dia meninggalkan kesibukannya itu dan segera berpaling kepada sesuatu yang jelas lebih bermanfaat baginya.
Setelah Nabi Sulaiman membunuh kuda-kudanya yang terbaik yang telah melalaikannya dari mengingat Allah I, kemudian Allah I tundukkan baginya angin yang berhembus dan setan-setan. Dari kisah ini kita lihat alangkah tingginya pelajaran yang disebutkan dalam kaidah ini: “Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah I , niscaya Allah I  akan memberinya ganti dengan yang lebih baik.”
Ditundukkannya angin dan para setan dengan cara sedemikian rupa bagi Nabi Sulaiman, tidaklah berlaku bagi siapapun sesudah beliau. Oleh sebab itulah ketika Nabi Muhammad n menangkap setan yang mengganggu shalatnya pada suatu malam, kemudian beliau ingin mengikatnya di tiang mesjid, beliau berkata: “Saya teringat doa saudaraku Sulaiman, akhirnya saya lepaskan dia.”
18. Disebutkan dalam kisah ini bahwa Sulaiman adalah seorang nabi sekaligus raja, dan diizinkan pula berbuat sesuai dengan keinginannya. Namun terdorong oleh kemuliaan yang ada pada diri beliau, maka tidak ada keinginan beliau yang lain kecuali kebaikan dan keadilan. Berbeda halnya dengan nabi yang hanya seorang hamba Allah I  yang biasa. Di mana dia tidak mempunyai keinginan yang bebas. Kehendak ataupun keinginannya senantiasa mengikuti apa yang diinginkan oleh Allah I atas dirinya. Dia tidak mengerjakan ataupun meninggalkan sesuatu melainkan karena mengikuti perintah. Seperti keadaan Nabi kita Muhammad n.
19. Allah I telah menganugerahkan kerajaan yang besar kepada Nabi Sulaiman. Di dalamnya terdapat berbagai hal yang tidak mungkin dicapai (walaupun) dengan sebab-sebabnya. Semua itu tidak lain adalah karena taqdir Allah Raja yang Maha Pemberi. Misalnya angin dan setan-setan yang ditundukkan Allah mengikuti apa yang diperintahkan Nabi Sulaiman, serta balatentara yang dihimpun dalam pasukan beliau dari manusia, jin, dan burung. Bahkan burung-burung itu benar-benar memberikan pelayanan begitu besar kepada beliau. Mereka dikirim ke beberapa penjuru untuk mendapatkan berita tentang keadaan di daerah tersebut.
Allah I telah memberikan kepada burung-burung itu pemahaman tentang keadaan manusia sebagaimana Dia ceritakan dalam kisah ini. Demikian pula orang yang dianugerahi ilmu dari Al Kitab ketika dia menyatakan siap mendatangkan singgasana Ratu Saba` sebelum Nabi Sulaiman mengedipkan matanya. Inilah mu’jizat (ayat) para nabi. Maka, bagaimanapun tingginya ilmu yang dipelajari oleh manusia dan kemahirannya membuat sesuatu yang baru, mereka tidak akan mencapai tingkatan seperti yang dianugerahkan Allah I kepada Nabi Sulaiman.
20. Diajarkan pula dalam kisah ini, hendaknya para raja dan pemimpin itu menanyakan keadaan para penguasa atau pemimpin dan tokoh-tokoh yang mempunyai keistimewaan dalam sejarah hidupnya. Tidak hanya sekedar bertanya, tetapi juga mempelajari dan menguji bagaimana perhatian serta pemahaman mereka tehadap suatu permasalahan. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Nabi Sulaiman. Dan hal ini sangat besar manfaatnya, di mana mereka jelas amat membutuhkan hal ini. Apalagi suatu kerajaan akan semakin sempurna apabila di sekitarnya adalah orang-orang yang mempunyai pemikiran sempurna.
Wallahu a’lam.

No comments: