Translate this blog

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Tuesday, 9 October 2012

Kisah Nabi Hud

(ditulis oleh: Al-Ustadz Idral Harits)

Allah l mengutus Nabi Hud q kepada bangsa ‘Aad, generasi pertama yang tinggal di daerah Ahqaf di wilayah Hadhramaut (Yaman), ketika semakin bertambahnya kejahatan dan kesewenang-wenangan mereka terhadap para hamba Allah l. Mereka berkata, sebagaimana dalam ayat:
“Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?” (Fushshilat:15)

Selain itu, kaum ‘Aad juga melakukan kesyirikan terhadap Allah l dan pendustaan terhadap para rasul. Maka, Allah l mengutus Nabi Hud q ke tengah-tengah mereka untuk mengajak mereka agar menyerahkan segala ibadah hanya untuk Allah l satu-satunya dan melarang dari perbuatan syirik serta kesewenang-wenangan terhadap hamba-hamba Allah k.
Beliau mengajak kaumnya dengan segala cara serta mengingatkan mereka akan berbagai nikmat yang telah Allah l berikan berupa kebaikan dunia, kelebihan rezeki, dan kekuatan fisik. Tapi mereka menolak seruan tersebut dan menampakkan sikap sombong, tidak mau menyambut seruan Nabi Hud q. Mereka bahkan mengatakan, seperti diceritakan Allah l:
“Wahai Hud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata.” (Hud: 53)
Mereka telah melakukan pendustaan dengan pernyataan ini. Karena tidak ada satu nabi pun, melainkan pasti telah Allah l berikan ayat-ayat, yang semestinya dengan ayat itu semua orang akan beriman. Seandainya tidak ada yang menjadi ayat-ayat (tanda-tanda kebenaran) para rasul tersebut kecuali ajaran agama yang mereka bawa itu sendiri, itu pun sudah cukup menjadi dalil atau bukti paling utama bahwasanya ajaran agama ini berasal dari sisi Allah l.
Di samping kokoh dan sistematisnya untuk kemaslahatan manusia, kapan dan di mana saja, sesuai dengan situasi dan kondisi, kebenaran berita yang ada dalam agama ini berupa perintah terhadap seluruh kebaikan dan larangan dari segala kejahatan, turut menjadi bukti kebenaran para rasul. Juga masing-masing rasul itu membenarkan rasul yang datang sebelumnya dan menjadi saksi akan kebenaran dakwahnya. Sekaligus membenarkan dan menjadi saksi pula bagi rasul yang akan datang setelahnya.
Nabi Hud q sendirian dalam berdakwah. Beliau menganggap mimpi-mimpi kaumnya sebagai suatu kebodohan dan menyatakan mereka sesat, serta mencela sesembahan mereka. Sementara kaum Nabi Hud q adalah orang-orang yang tubuhnya sangat kuat dan suka berbuat sewenang-wenang. Mereka menakut-nakuti Nabi Hud q dengan sesembahan mereka. Bila tidak berhenti berdakwah, niscaya Nabi Hud q—menurut ancaman mereka—akan ditimpa penyakit gila dan kejelekan. Namun Nabi Hud q justru terang-terangan melemparkan tantangan kepada mereka dan berkata:
“Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah oleh kalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan, dari selain-Nya. Sebab itu kerahkanlah segala tipu daya kalian terhadapku dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Rabbku dan Rabb kalian. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.” (Hud: 54—56)
Maka ayat mana lagi yang lebih besar dari tantangan Nabi Hud q kepada musuh-musuhnya yang sangat menentang seruan beliau dengan berbagai macam cara. Ketika kejahatan mereka telah melampaui batas, Nabi Hud q meninggalkan dan mengancam mereka dengan turunnya azab Allah l. Maka datanglah azab tersebut menyebar di seluruh cakrawala. Mereka dilanda kekeringan yang ganas sehingga sangat membutuhkan siraman air hujan.
Di saat mereka dalam keadaan bergembira melihat awan tebal di atas mereka dan berkata:
“Inilah awan yang akan menurunkan hujan.” (al-Ahqaf: 24)
Allah l pun berfirman:
“(Bukan)! Bahkan itulah azab yang kalian minta supaya datang dengan segera.” (al-Ahqaf: 24)
Yaitu, kalian minta disegerakan dengan ucapan kalian, “Datangkanlah apa yang engkau janjikan kepada kami bila engkau orang yang benar.”
Allah l berfirman:
“(Yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu.” (al-Ahqaf: 24—25)
Yakni, menghancurkan semua yang dilaluinya. Allah l berfirman:
“Yang Allah timpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus. Maka kamu lihat kaum ‘Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).” (al-Haqqah: 7)
“Maka jadilah mereka tidak ada yang terlihat lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.” (al-Ahqaf: 25)
Semua itu terjadi di saat mereka dahulu senantiasa tertawa gembira, berada dalam kemuliaan yang sempurna, kemewahan dunia yang berlimpah, seluruh kabilah dan daerah-daerah di sekitarnya tunduk kepada mereka. Kemudian tiba-tiba Allah l kirimkan kepada mereka angin yang sangat kencang dalam beberapa hari secara terus-menerus agar mereka merasakan siksaan yang menghinakan dalam kehidupan dunia. Padahal sungguh azab akhirat itu lebih menghinakan, sedangkan mereka tidak diberi pertolongan.
“Dan mereka selalu diikuti dengan kutukan di dunia ini dan (begitu pula) di hari kiamat. Ingatlah, sesungguhnya kaum ‘Aad itu kafir kepada Rabb mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum ‘Aad (yaitu) kaumnya Hud itu.” (Hud: 60)
Allah l menyelamatkan Nabi Hud q serta orang-orang yang beriman bersamanya. Sesungguhnya di dalam kisah ini benar-benar terdapat ayat (bukti) yang menunjukkan kesempurnaan kekuasaan Allah l serta pemuliaan-Nya terhadap para rasul dan para pengikut mereka, pertolongan Allah l kepada mereka di dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).
Juga ayat (tanda) tentang batilnya kesyirikan, serta kesudahannya yang sangat buruk dan mengerikan. Di dalamnya terdapat bukti atas kehidupan sesudah mati dan dikumpulkannya seluruh manusia.
Pelajaran Penting dari Kisah Nabi Hud q
Sebagaimana juga dalam kisah Nabi Nuh q, di dalam kisah ini terdapat beberapa pelajaran yang sama pada semua rasul, antara lain:
1.    Allah l dengan hikmah-Nya mengisahkan tentang berita umat-umat yang bertetangga dengan kita di Jazirah Arab dan sekitarnya. Al-Qur’an telah menyebutkan metode paling tinggi dalam memberikan pelajaran atau peringatan. Allah l juga telah menerangkan berbagai pelajaran dengan keterangan yang sebenar-benarnya. Tentunya tidak diragukan lagi bahwa di daerah-daerah lain yang lebih jauh dari kita, di timur ataupun di barat, telah Allah l utus seorang rasul kepada mereka.
Begitu pula telah dipaparkan bagaimana sambutan, penolakan, atau pemuliaan serta akibat yang mereka terima. Tidak ada satu umat pun melainkan telah Allah l utus kepada mereka seorang rasul.
2. Sangat bermanfaat bagi kita untuk mengingat kondisi daerah di sekitar kita serta apa yang kita terima dari generasi ke generasi. Juga apa yang dapat disaksikan dari peninggalan mereka kapan pun kita melewati bekas pemukiman mereka. Kita pun dapat memahami bahasa dan tabiat mereka lebih dekat, membandingkan dengan tabiat kita. Tentu saja manfaat ini sangat besar dan lebih pantas kita ingat daripada memaparkan keadaan umat yang belum pernah kita dengar tentang mereka, yang tidak kita kenal bahasa mereka, dan tidak sampai kepada kita keadaan mereka seperti yang Allah l ceritakan kepada kita.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa mengingatkan orang dengan sesuatu yang lebih dekat dengan pemahaman mereka, lebih sesuai dengan keadaan mereka serta lebih mudah mereka dapatkan, akan lebih bermanfaat bagi mereka dibandingkan yang lain. Tentunya lebih pantas untuk disebutkan dengan cara yang lain meskipun juga mengandung kebenaran. Namun kebenaran itu bertingkat-tingkat. Seorang pengajar atau pendidik, bila dia menempuh cara ini, dan berupaya keras menyebarkan ilmu serta kebaikan kepada manusia dengan jalan-jalan yang mereka kenal, tidak membuat umat lari dari dakwah. Atau dengan suatu metode yang lebih tepat untuk menegakkan hujjah terhadap mereka, niscaya akan bermanfaat.
Allah l telah mengisyaratkan hal ini pada bagian akhir kisah bangsa ‘Aad. Firman Allah l:
“Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitar kalian, dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang.” (al-Ahqaf: 27)
Yakni telah Kami sebutkan berbagai macam ayat atau tanda kekuasaan Kami:
“Supaya mereka kembali (bertaubat).” (al-Ahqaf: 28)
Yaitu agar lebih mudah untuk mendapatkan pelajaran.
3. Menjadikan bangunan-bangunan yang besar dan megah sebagai suatu kebanggaan, kesombongan, dan perhiasan serta menindas hamba-hamba Allah l dengan sewenang-wenang adalah perbuatan yang sangat tercela dan merupakan warisan generasi yang melampaui batas. Sebagaimana diterangkan Allah l dalam kisah bangsa ‘Aad yang diingkari oleh Nabi Hud q:
“Apakah kalian mendirikan bangunan pada tiap-tiap tanah yang tinggi untuk bermain-main?” (asy-Syu’ara: 128)
Secara umum bangunan untuk istana, benteng, rumah, dan bangunan lainnya; mungkin saja dijadikan tempat tinggal karena memang dibutuhkan. Kebutuhan itu sendiri beraneka ragam dan berbeda-beda tingkatnya. Semua ini adalah perkara mubah (dibolehkan) dan justru menjadi wasilah (sarana) kepada kebaikan apabila disertai dengan niat yang lurus.
Atau dapat pula dijadikan sebagai benteng pertahanan dari serangan musuh dan menjaga keamanan suatu daerah, atau manfaat lain bagi kaum muslimin. Ini juga termasuk rangkaian jihad di jalan Allah l, berkaitan dengan perintah harus berhati-hati terhadap musuh.
Namun bisa saja itu semua dimanfaatkan demi kesombongan dan kekejaman terhadap hamba-hamba Allah l, atau pemborosan harta yang sebenarnya dapat digunakan di jalan yang bermanfaat. Ini tentu saja merupakan hal yang sangat dicela oleh Allah l pada bangsa ‘Aad atau yang lainnya.
4. Pelajaran yang lain bahwa akal pikiran ataupun kecerdasan dan yang mendukung semua itu serta hasil atau pengaruh yang ditimbulkan, betapa pun besar dan luasnya, tetap tidak akan bermanfaat bagi pemiliknya kecuali bila ia imbangi dengan keimanan kepada Allah l dan para rasul-Nya.
Sedangkan orang yang menentang ayat-ayat Allah l, mendustakan para rasul Allah l, walaupun mendapatkan kesempatan atau diberi tangguh untuk menikmati kehidupan dunia, kesudahan yang akan dia hadapi nanti sangatlah buruk. Pendengaran, penglihatan, dan akalnya tidak akan dapat membelanya sedikit pun jika datang keputusan Allah l. Sebagaimana yang Allah k sebutkan dalam kisah ‘Aad:
“Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang Kami belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan Kami memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka perolok-olokkan.” (al-Ahqaf: 26)
Dalam ayat lain:
“Karena itu, tidaklah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sesembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Rabbmu datang. Dan sesembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (Hud: 101)
Wallahu a’lam.

No comments: