Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 001
(ditulis oleh: Al-Ustadz Idral Harits)Kaum Nabi Nuh q yang kafir ditenggelamkan Allah l dalam air bah yang sangat dahsyat. Semuanya binasa, termasuk putra Nabi Nuh q yang sebenarnya masih disayanginya.
Allah l menerangkan kepada beliau kepastian akan ditenggelamkannya kaumnya serta memerintahkan agar jangan mengatakan sesuatu kepada Allah l, karena mereka sesungguhnya benar-benar sangat zalim.
Mulailah Nabi Nuh q membuat kapal. Setiap kali pemimpin kaumnya melewati Nabi Nuh q, mereka mengejeknya. Nabi Nuh q berkata kepada mereka, ”Jika kalian mengejek kami saat ini, maka kami (pun) akan mengejek kalian (nanti) apabila bencana menimpa kalian.”
Allah l mewahyukan kepada Nabi Nuh q bahwa jika waktunya telah tiba dan seluruh permukaan bumi yang terjauh sekalipun telah memancarkan air, agar beliau segera mengangkut seluruh jenis hewan berpasang-pasangan, jantan dengan betina agar tetap berlanjut jenis (spesies) keturunan mereka. Karena tidak mungkin mengangkut semuanya ke atas kapal. Hikmahnya adalah melestarikan jenis hewan-hewan yang telah diciptakan Allah l dan ditundukkan untuk kemaslahatan manusia. Juga mengangkut orang-orang yang beriman bersama beliau, laki-laki dan perempuan. Memang kenyataannya tidak ada yang beriman kepada Nabi Nuh q melainkan sedikit sekali.
Allah l juga memerintahkan Nabi Nuh q untuk membawa keluarga beliau kecuali orang yang sebelumnya telah berlaku ketetapan atasnya sebagai orang yang celaka. Setelah menaikkan semua yang diperintahkan, beliau berkata kepada mereka, “Sebutlah nama Allah l setiap kali berlayar atau berhenti. Karena semua sebab itu, betapapun besarnya, adalah karena kelembutan Allah l. Tidak akan sempurna (pengaruh) sebab-sebab itu kecuali dengan (izin) Allah l.”
Pada waktu itu, Allah l jadikan bumi memancarkan mata air-mata air serta memerintahkan langit agar menumpahkan air (hujan) sehebat-hebatnya. Maka bertemulah air itu dan mengalir ke tempat-tempat yang rendah. Sedikit demi sedikit air mulai naik menggenangi tempat-tempat yang tinggi, hingga menenggelamkan puncak-puncak gunung. Sementara kapal Nabi Nuh q berlayar menembus gelombang yang menggunung di kiri kanannya. Dalam keadaan yang mencekam ini, Nabi Nuh q melihat putranya yang kafir dan masih menganut agama kaumnya, ternyata masih menjauhi ayahnya meskipun sudah demikian keadaannya.
Beliau melihatnya seperti yang lain, berlarian menyelamatkan diri dari air bah yang melanda negeri mereka. Nabi Nuh q dengan penuh kasih sayang memanggil putranya:
“Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” (Hud: 42)
Tapi putranya tetap dalam keangkuhannya, dalam situasi yang semestinya hilang ketololan itu kecuali orang yang hatinya benar-benar telah tertutup. Ia berkata kepada ayahnya, seperti disebutkan oleh Allah l:
“Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menyelamatkanku dari air bah ini.” (Hud: 43)
Tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka bahwa air itu akan terus naik menenggelamkan puncak-puncak gunung setinggi apa pun. Nabi Nuh q berkata pula:
“Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah, selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang.” (Hud: 43)
Gunung ataupun menara dan lain-lainnya tidak akan dapat melindungi siapa pun, kecuali mereka yang mendapat rahmat dari Allah l. Rahmat-Nya dalam situasi yang demikian tentunya sudah jelas hanya untuk mereka yang ikut dalam kapal bersama Nabi Nuh q. Firman Allah l:
“Dan gelombang pun menjadi penghalang antara keduanya, maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Hud: 43)
Anak Nabi Nuh q itu pun termasuk orang-orang yang ditenggelamkan Allah l.
Allah l menenggelamkan seluruh orang yang kafir serta menyelamatkan Nabi Nuh q dan orang-orang yang beriman. Semua kejadian ini menjadi bukti bahwa ajaran tauhid, risalah, berita kebangkitan (hidup sesudah mati), dan agama yang dibawa Nabi Nuh q adalah haq (pasti kebenarannya). Sedangkan mereka yang menyelisihi atau menentang beliau adalah batil.
Kejadian ini juga merupakan dalil akan adanya balasan di dunia bagi orang-orang beriman berupa keselamatan dan kemuliaan, serta kebinasaan dan kehinaan bagi orang-orang yang kafir (menentang).
Setelah tujuan utama ini tercapai, Allah l memerintahkan langit untuk menghentikan hujannya serta memerintahkan bumi agar menelan airnya. Air pun disurutkan (berkurang) sedikit demi sedikit. Bahtera (kapal) Nabi Nuh q berlabuh di atas bukit al-Judi, sebuah bukit terkenal di daerah Mosul, Irak (daerah Mesopotamia dahulu).
Semua ini menjadi dalil bahwa seluruh gunung yang ada telah ditenggelamkan dan dilanda oleh air bah ini. Nabi Nuh q sangat berduka terhadap apa yang menimpa putranya. Beliau berdoa kepada Allah l dengan penuh kelembutan dan ketundukan:
“Wahai Rabbku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.” (Hud: 45)
Yakni, Engkau perintahkan agar aku membawa keluargaku bersamaku, dan Engkau adalah penyayang yang paling baik. Maka Allah l pun berkata:
“Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu.” (Hud: 46)
Yaitu keluarga yang telah dijanjikan akan keselamatan mereka. Karena sesungguhnya Allah l telah membatasi keadaan atau sifat keluarga yang dimaksudkan itu dengan firman-Nya:
“Kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan atasnya.” (Hud: 40)
Allah l jelaskan pula:
“Sesungguhnya ini adalah perbuatan yang tidak baik.” (Hud: 46)
Yakni, doamu untuk keselamatan putramu yang menganut agama masyarakatnya ini bukanlah perbuatan yang baik. Allah l berfirman:
”Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikatnya). Sesungguhnya Aku memperingatkanmu agar tidak termasuk orang-orang yang jahil (tidak berilmu).” (Hud: 46)
Ini adalah teguran Allah l kepada Nabi Nuh q, didikan dan nasihat atas permintaannya yang semata-mata terdorong oleh kasih sayang seorang ayah kepada putranya.
Dari sini bisa diambil pelajaran juga, yang wajib diperhatikan dalam doa seperti itu hendaknya dilandasi oleh ilmu dan keikhlasan dalam mengharapkan keridhaan Allah l. Maka Nabi Nuh q pun berkata, sebagaimana diceritakan dalam firman Allah l:
“Wahai Rabbku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada-Mu sesuatu yang aku tidak mengetahui (hakikatnya). Dan seandainya Engkau tidak memberi ampun kepadaku dan tidak menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi. Difirmankan, ‘Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkahan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mukmin) dari orang-orang yang bersamamu. Dan umat yang Kami beri kesenangan kepada mereka (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab yang pedih dari Kami’.” (Hud: 47—48)
Beliau pun turun dan Allah l memberi berkah pada anak keturunannya. Allah l menjadikan anak cucu Nabi Nuh q sebagai orang-orang yang melanjutkan keturunan. Maka akhirnya anak-anak Yafuts putra Nabi Nuh q menyebar di belahan bumi bagian timur, keturunan Ham di sebelah barat, dan anak keturunan Sam di tengah-tengah (antara timur dan barat).
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 002
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)Pelajaran terpenting yang bisa diambil dari kisah Nabi Nuh q adalah bahwa dakwah setiap nabi dan rasul adalah satu, yaitu menyeru umat untuk beribadah kepada Allah l saja (dakwah tauhid).
Nabi Nuh q tinggal di tengah-tengah kaumnya selama kira-kira 950 tahun dan masih hidup sepeninggal mereka selama waktu yang dikehendaki Allah l. Beliau termasuk salah seorang rasul yang disebut Ulul ‘Azmi dan salah satu dari lima nabi yang diharapkan syafaatnya pada hari kiamat. Nabi Nuh q juga merupakan rasul Allah l yang pertama diutus kepada umat manusia dan beliau bapak kedua manusia sesudah Nabi Adam q. Semoga Allah l melimpahkan shalawat dan salam kepada beliau dan kepada para nabi seluruhnya.
Dari kisah Nabi Nuh q dapat kita ambil beberapa faedah, antara lain:
1. Seluruh dakwah nabi dan rasul sejak Nuh q sampai Muhammad n adalah satu, yaitu menyeru umat manusia untuk bertauhid yang murni dan melarang mereka dari berbuat syirik. Nabi Nuh q dan yang lainnya selalu mendahulukan dakwah mereka dengan menyerukan:
“Beribadahlah kalian hanya kepada Allah. Tidak ada sesembahan bagi kalian selain Dia.” (al-A’raf: 59)
Mereka senantiasa mengulang-ulang seruan yang utama ini dengan berbagai cara.
2. Dalam kisah ini terdapat adab berdakwah dan hal-hal yang menyempurnakannya. Kita lihat dalam kisah ini, Nabi Nuh q berdakwah mengajak umatnya siang malam, sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, dalam setiap kesempatan dan keadaan yang memungkinkan berhasilnya dakwah. Beliau membangkitkan keinginan mereka dalam meraih pahala di dunia dengan keselamatan dari siksa, bersenang-senang dengan harta dan anak-anak, serta limpahan rezeki seandainya mereka beriman, begitu juga dengan pahala di akhirat. Beliau mengingatkan umatnya agar menjauhi syirik dengan bersabar dalam menyampaikan dakwah ini dengan kesabaran yang demikian hebat seperti juga rasul-rasul lainnya. Beliau ajak kaumnya berbicara dengan kalimat-kalimat yang lembut dan penuh kasih sayang, dengan segala ungkapan yang dapat menyentuh hati serta beliau paparkan berbagai bukti tanda kekuasaan Allah l.
3. Sesungguhnya syubhat-syubhat (kerancuan) yang dilontarkan oleh musuh-musuh para rasul terhadap risalah yang mereka bawa, justru merupakan dalil yang sangat jelas tentang batilnya ucapan-ucapan para pendusta itu sendiri. Karena sesungguhnya apa yang mereka katakan tidak ada yang lain lagi kecuali itu, sama sekali tidak memiliki nilai keilmiahan dan tidak ada artinya bagi orang yang berakal. Maka perkataan mereka seperti yang dikisahkan oleh Allah l:
“Kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina-dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” (Hud: 27)
Perhatikanlah kalimat-kalimat tersebut, niscaya akan Anda dapatkan tamwih (pengaburan) yang menunjukkan bahwa mereka itu sesat dan sombong terhadap hakikat kenyataan yang ada. Juga ucapan mereka:
“Kami tidak melihat kamu melainkan sebagai seorang manusia (biasa) seperti kami.” (Hud: 27)
Apakah dalam suatu kebenaran yang dibawa oleh seseorang terdapat suatu kerancuan atau syubhat yang menunjukkan bahwa kebenaran itu pada hakikatnya bukanlah kebenaran? Pernyataan dalam ayat di atas seakan-akan menerangkan kepada kita bahwa segala pendapat atau pemikiran yang bersumber atau berasal dari manusia mana pun adalah batil. Tentu saja hal ini merupakan penolakan terhadap semua ilmu tentang kemanusiaan yang diperoleh dari manusia yang lain. Ringkasnya, pernyataan orang-orang kafir ini membatalkan seluruh ilmu yang ada.
Bukankah ilmu yang berada di tengah-tengah manusia, mereka ambil dari manusia yang lainnya dan semuanya bertingkat-tingkat? Tentunya yang paling tinggi, paling benar, dan paling bermanfaat dari ilmu-ilmu itu adalah ilmu yang mereka peroleh dari para rasul yang ilmunya dari wahyu Ilahi.
Demikian pula ucapan orang-orang yang kafir ini:
“Kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami.” (Hud: 27)
Yakni, kami dan kalian adalah sama-sama manusia. Ini pun sudah dibantah oleh para rasul, sebagaimana dikisahkan dalam firman Allah l:
“Kami tidak lain adalah manusia seperti kamu akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya.” (Ibrahim: 11)
Dalam ayat ini, Allah l menjelaskan bahwa Dia memberikan karunia kepada para rasul dan mengistimewakan mereka dengan wahyu dan risalah. Padahal, pengingkaran orang-orang kafir terhadap para rasul itu dari sisi ini, justru merupakan kebodohan dan celaan paling besar terhadap nikmat Allah l. Karena sesungguhnya nikmat Allah l dan hikmah-Nya mengharuskan bahwa para rasul itu berasal dari kalangan manusia agar lebih memantapkan manusia dalam mengambil ilmu dari mereka.
Sehingga mereka pun akan merasakan nikmat ini dengan mudah dan Allah l lapangkan pula bagi mereka jalan untuk mencapainya. Orang-orang yang dusta ini mengingkari asal kenikmatan ini, bahkan mengingkari pula jalan yang lurus yang bermanfaat yang dibawa oleh para rasul tersebut.
Adapun perkataan mereka:
“Kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina-dina di antara kami.” (Hud: 27)
Setiap orang yang berakal pasti mengetahui bahwa kebenaran itu dikenal dari materinya sendiri bahwa dia adalah haq, bukan dikenal dari siapa yang mengikutinya. Perkataan yang mereka ucapkan ini sesungguhnya bersumber dari kesombongan mereka. Sudah jelas bahwa sikap sombong merupakan penghalang terbesar yang ada dalam diri seorang hamba untuk mengenal kebenaran apalagi mengikutinya.
Juga ucapan mereka ﯦ (orang-orang yang hina-dina di antara kami). Kalau yang mereka inginkan dengan kalimat ini adalah kemiskinan maka kemiskinan bukanlah suatu aib (cela). Adapun kalau mereka maksudkan adalah akhlak maka ini jelas dusta. Bahkan sesungguhnya yang hina-dina adalah mereka yang mengucapkan kalimat ini. Apakah beriman dan taat kepada Allah l dan Rasul-Nya, tunduk mengikuti kebenaran, serta selamat dari perilaku atau watak yang tercela dan rendah, adalah suatu kehinaan serta orang-orang yang mengikutinya adalah orang yang hina-dina? Ataukah kehinaan itu berada pada keadaan sebaliknya, dengan meninggalkan kewajiban yang paling tinggi dan utama, yaitu mentauhidkan Allah l dan bersyukur hanya kepada-Nya, serta sebaliknya memenuhi hati dengan sikap sombong terhadap kebenaran dan terhadap sesama manusia?
Hal yang terakhir ini, demi Allah, justru merupakan kehinaan yang paling hina. Akan tetapi orang-orang kafir itu datang membawa kebohongan. Tidaklah mereka menyiksa orang-orang yang baik ini melainkan karena mereka beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji.
Perkataan mereka:
“Yang lekas percaya saja.” (Hud: 27)
Maksudnya yang percaya begitu saja kepadamu, wahai Nuh. Mereka tidak bermusyawarah dan meneliti lebih dahulu, tidak merenungkan lebih dahulu. Seandainya mungkin bahwa ini adalah suatu hakikat (kenyataan), maka ini semua merupakan bukti-bukti dari kebenaran tersebut. Karena sesungguhnya pada kebenaran itu terdapat burhan (petunjuk), cahaya, keagungan, kecemerlangan, kejujuran, dan ketenangan, yang semua itu tidak perlu dimusyawarahkan dengan siapa pun untuk mengikutinya.
Tentunya persoalan yang membutuhkan musyawarah itu adalah persoalan-persoalan yang masih tersamar yang belum diketahui hakikat atau manfaatnya. Sedangkan keimanan yang cahayanya justru lebih terang dari sinar matahari, bahkan lebih lezat dari apa pun juga, tidak ada yang ketinggalan untuk menerimanya melainkan orang-orang yang sombong dan sewenang-wenang seperti mereka yang durhaka ini.
Kata-kata mereka:
“Dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami.” (Hud: 27)
Apakah dalam perkataan ini terdapat sikap yang jujur dan adil? Karena sesungguhnya mereka di sini menerangkan keadaaan mereka sendiri. Memang ucapan ini ada kemungkinan demikian, yakni itulah yang ada dalam hati mereka (anggapan bahwa merekalah yang paling mulia), atau mereka hanya mengatakan sesuatu yang tidak mereka yakini. Apa pun alasannya, yang haq itu tetap wajib untuk diterima, baik yang mengatakannya orang yang mulia atau bukan. Al-haq itu tetap lebih tinggi di atas apa pun.
Perkataan mereka:
“Bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” (Hud: 27)
Padahal sudah sama diketahui bahwa prasangka (zhan) adalah perkataan yang paling berat dustanya. Seandainya mereka mengatakan ‘Bahkan kami tahu bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta’, maka semua orang yang sesat mampu mengucapkannya. Akan tetapi dengan dasar apa kalian menuduh para rasul itu dusta? Maka alasan dan bukti yang mereka kemukakan ini justru saling menggugurkan satu sama lain sebagaimana yang terlihat. Bagaimana mungkin, padahal para rasul itu juga telah menghadapinya dengan dalil (alasan-alasan), bukti yang bermacam-macam sehingga tidak menyisakan sedikit pun keraguan pada diri seseorang bahwa tuduhan tersebut adalah batil.
4. Antara keutamaan para nabi dan bukti-bukti risalah serta keikhlasan mereka yang sempurna tampak saat beribadah kepada Allah l secara khusus (untuk diri mereka sendiri) dan peribadatan mereka dalam memberikan manfaat bagi sesama makhluk, seperti berdakwah, taklim (mengajarkan ilmu), dan semua perangkatnya. Oleh karena itulah, mereka menampakkan dan berulang-ulang memperdengarkan hal ini kepada kaumnya. Masing-masing mereka menyatakan:
“Wahai kaumku, aku tidak meminta harta benda kepada kalian (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku tidak lain hanya dari Allah.” (Hud: 29)
Hal ini menjadi kedudukan yang paling mulia bagi pengikut para rasul, yang mereka menyertai para rasul itu dalam segi ini. Allah l jadikan untuk mereka kemuliaan di dunia dan akhirat lebih besar daripada hal-hal yang menjadi persaingan mereka yang mengharapkan dunia.
5. Celaan terhadap niat orang-orang mukmin dan apa yang Allah l anugerahkan kepada mereka berupa keutamaan, bahkan mereka berani bersumpah atas nama Allah l, bahwasanya Dia tidak akan memberi karunia-Nya kepada orang-orang yang beriman. Semua itu tidak lain merupakan warisan dari musuh-musuh para rasul. Oleh karena itulah, Nabi Nuh q berkata kepada mereka tatkala mereka bersumpah demikian, menjadikannya jalan untuk mencela kaum mukminin:
“Dan aku juga tidak mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh kalian, ‘Sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan mereka.’ Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka.” (Hud: 31)
6. Sepantasnya untuk memohon pertolongan kepada Allah l dan menyebut nama-Nya ketika datangnya malapetaka dan kesulitan bahkan dalam segala aktivitas, serta memperbanyak pujian dengan menyebut nama Allah l ketika mendapatkan kenikmatan. Sebagaimana firman Allah l:
“Dan Nuh berkata, ‘Naiklah kalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya’.”(Hud: 41)
“Maka apabila engkau dan orang-orang yang bersamamu telah berada di atas bahtera itu, ucapkanlah, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari orang-orang yang zalim’.” (al-Mu’minun: 28)
Sudah sepantasnya pula untuk berdoa, memohon berkah ketika singgah di suatu tempat persinggahan seperti dalam perjalanan atau tiba di tempat tinggal sendiri, rumah atau kampung halaman, karena adanya firman Allah l:
“Dan berdoalah, ‘Wahai Rabbku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi, dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat’.” (al-Mu’minun: 29)
Dalam ayat-ayat tersebut disebutkan bahwa senantiasa berzikir menyebut nama Allah l, kekuatan untuk beraktivitas ataupun diam, kepercayaan yang penuh kepada Allah l, turunnya berkah dari Allah l, semua itu adalah pengiring yang lebih utama bagi seorang hamba dalam setiap keadaannya yang tidak boleh ditinggalkan begitu saja olehnya.
7. Bahwasanya takwa kepada Allah l dan melaksanakan segala yang dituntut oleh iman, merupakan sebagian sebab untuk memperoleh dunia, keturunan yang banyak, rezeki dan kekuatan fisik, meskipun untuk itu semua mesti ada sebab yang lain. Ketakwaan ini justru merupakan sebab satu-satunya, tidak ada sebab yang lain untuk mendapatkan kebaikan akhirat dan keselamatan dari siksanya.
8. Keselamatan dari hukuman dunia secara umum hanyalah untuk orang-orang yang beriman, yaitu para rasul dan para pengikut mereka. Karena hukuman dunia ini hanya khusus akan dialami oleh orang-orang yang durhaka dan yang mengikuti mereka dari anak cucu mereka, juga hewan-hewan meskipun mereka tidak mempunyai dosa. Karena sesungguhnya bencana yang Allah l timpakan kepada berbagai golongan orang yang dusta itu meliputi anak-anak dan ternak-ternak yang ada.
Adapun yang disebutkan dalam sebagian kisah Israiliyat (kisah-kisah Bani Israil, Yahudi, dan Nasrani) bahwa kaum Nabi Nuh ataupun yang lain, ketika Allah l ingin menghancurkan mereka, Allah l jadikan rahim-rahim wanita mereka mandul, sehingga hukuman tersebut tidak ikut menimpa anak-anak mereka merupakan kisah yang tidak ada dasarnya sama sekali. Tentu saja ini bertentangan dengan perkara yang sudah diketahui dan diperkuat pula oleh firman Allah l:
“Dan jagalah diri kalian dari fitnah (siksaan) yang tidak hanya khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kalian.” (al-Anfal: 25)
(Diterjemahkan dengan sedikit perubahan dari kitab Taisir al-Lathif al-Mannan hlm. 147—150)
No comments:
Post a Comment