Translate this blog

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Tuesday, 9 October 2012

Kisah Nabi Yusuf dan Nabi Ya’qub

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib)
Berikut ini lanjutan pelajaran dari kisah Nabi Yusuf u dan Nabi Ya’qub.
19. Sepantasnya seorang hamba bersandar kepada Rabbnya dan berlindung dengan perlindungan-Nya ketika melihat adanya celah yang mengantarkannya kepada kemaksiatan dan berlepas diri dengan daya dan kekuatan-Nya. Dalilnya:
“Dan jika tidak Engkau hindarkan dariku tipudaya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan) mereka dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Yusuf: 33)

Dengan demikian, seorang manusia yang diberi taufik akan senantiasa memohon pertolongan Rabbnya dalam menjauhi kemaksiatan dan jalan-jalannya, sebagai-mana dia meminta pertolongan Rabbnya ketika melaksanakan ketaatan dan kebaikan. Dan Allah I adalah Dzat yang mencukupi (kebutuhan) orang-orang yang berserah diri (tawakkal) kepada-Nya.
20. Ilmu dan akal yang sehat senantiasa mendorong seseorang kepada kebaikan dan mencegahnya dari keburukan. Sedangkan kebodohan selalu mengajak seseorang kepada hal yang berlawanan. Hal ini disebutkan dalam firman Allah I tentang perkataan Nabi Yusuf u:
“…tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan) mereka dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Yusuf: 33)
Yakni bodoh dalam permasalahan agama, hakekat yang bermanfaat, serta bodoh tentang hakekat suatu kemudaratan.
21. Sebagaimana wajibnya seorang hamba untuk tetap beribadah kepada Rabbnya ketika dalam keadaan senang, maka wajib pula dia beribadah kepada-Nya dalam keadaan susah atau kesulitan. Dalam hal ini, Nabi Yusuf u tidak pernah berhenti berdakwah mengajak manusia ke jalan Allah I. Ketika berada dalam penjara, beliau tetap berdakwah, bahkan mengajak (mendakwahi) siapapun yang berhubungan dengannya di antara para tahanan.
Di dalam penjara itu beliau mengajak dua orang pemuda kepada agama tauhid (Islam) dan melarang mereka dari perbu-atan syirik. Satu hal yang menunjukkan kesempurnaan penalaran beliau dan hikmah yang ada pada diri beliau adalah tatkala melihat keduanya menyambut baik seruan (dakwah)nya, di mana mereka mengharap-kan beliau menafsirkan mimpi mereka, dan keduanya mengatakan (sebagaimana disebutkan dalam firman Allah I):
“Sesungguhnya kami melihatmu adalah orang yang suka berbuat kebaikan.” (Yusuf: 36)
Nabi Yusuf u segera memanfaatkan kesempatan ini. Beliaupun mengajak keduanya ke jalan Allah I sebelum menerangkan tafsir mimpi mereka, agar lebih dekat kepada hasil yang diinginkan. Beliau menerangkan bahwa kedudukannya dalam kemuliaan dan ilmu yang mereka lihat itu adalah karena iman dan tauhidnya serta jauhnya beliau dari adat kemusyrikan. Ini adalah dakwah beliau kepada keduanya dengan realita keadaan beliau sekaligus dakwah dengan ucapan. Nabi Yusuf u menjelaskan kepada keduanya tentang keindahan tauhid dan kewajiban yang dituntut oleh tauhid ini. Juga tentang keburukan syirik dan keharamannya.
22. Dalam dakwah ini, beliau memulainya dari sesuatu yang sangat penting kemudian yang berikutnya. Dan apabila seorang mufti ditanya, sedangkan si penanya kebutuhannya yang lebih mendesak adalah justru berada di luar persoalannya itu, maka sepantasnya mufti mengajarinya hal-hal yang sangat dibutuh-kannya sebelum dia menjawab pertanyaan yang diajukan si penanya. Sikap yang demikian menunjukkan nasehat seorang pendidik dan kejeliannya serta kelurusan bimbingan dan pengajarannya. Dalam hal ini, ketika Nabi Yusuf u ditanya kedua pemuda itu tentang mimpi mereka, sementara kebutuhan mereka terhadap tauhid dan iman jauh lebih penting dari apapun juga, beliaupun mengedepankan penjelasan tentang tauhid dan iman ini.
23. Barangsiapa yang terjatuh kepada sesuatu yang tidak disukai atau kesulitan, maka tidak mengapa dia mengambil pertolongan siapa pun yang memiliki kemampuan untuk membebaskannya dengan tindakan ataupun penjelasan tentang keadaannya. Ini bukanlah suatu kekurangan atau aib, dan bukan pula perbuatan yang dilarang yakni mengeluh kepada sesama makhluk. Semua ini hanyalah perkara yang biasa terjadi di antara manusia, di mana mereka saling membantu satu dengan yang lain. Sebab itu pula, Nabi Yusuf u berkata kepada pemuda yang diketahuinya akan selamat di antara mereka berdua:
“Terangkanlah keadaanku kepada majikanmu.” (Yusuf: 42)
24. Sangat jelas bahwa seorang pendidik atau juru dakwah yang mengajak manusia ke jalan Allah I, wajib berbuat ikhlas secara sempurna dalam mengajar dan berdakwah. Dia tidak boleh menjadikan dakwah atau ilmunya sebagai sarana untuk mendapatkan imbalan harta, kedudukan atau manfaat lainnya. Hendaknya dia juga tidak menghalangi orang lain belajar kepadanya meskipun sang penanya atau murid tidak melaksanakan tugas yang diberikan oleh seorang pendidik.
Nabi Yusuf u sudah memberikan pesan kepada pemuda yang akan bebas itu agar menerangkan keadaannya kepada majikan-nya. Namun dia lupa dan tidak menyebutkannya kepada majikannya. Dan tatkala mereka butuh bertanya kepada Nabi Yusuf u, mereka mengutus pemuda itu kepada beliau. Pemuda itu datang menemuinya dan bertanya tentang mimpi yang dilihat oleh raja mereka. Nabi Yusuf u sama sekali tidak berbuat kasar kepadanya dan tidak pula mencercanya. Bahkan tidak pula bertanya mengapa tidak kamu sebutkan keadaanku kepada majikanmu. Sebaliknya, Nabi Yusuf u memberikan jawaban yang lengkap dan sempurna tentang tafsir mimpi tersebut.
25. Sepantasnya bagi seseorang yang ditanya, apabila hendak menjawab sebuah pertanyaan, dia menunjukkan kepada si penanya tentang suatu urusan yang bermanfaat baginya yang juga berkaitan dengan pertanyaannya. Juga hendaknya dia membimbingnya kepada jalan yang akan membawanya kepada hal-hal yang berguna baginya dalam urusan agama dan dunia-nya. Sebab sesungguhnya, hal inilah yang menjadi tanda kesempurnaan nasehat dan kejernihan pikirannya serta kelurusan bimbingannya. Dan Nabi Yusuf u tidak hanya membatasi keterangan tentang tafsir mimpi raja itu semata, bahkan mengarah-kan mereka kepada tindakan yang seharusnya mereka lakukan ketika masa panen atau subur itu tiba.
26. Seorang manusia tidak perlu dicela ketika berusaha mengelakkan tuduhan terhadap dirinya. Bahkan hal ini justru sangat diharapkan. Sebagaimana keadaan Nabi Yusuf u yang menolak keluar dari penjara sampai jelas bagi mereka kesucian beliau dari para wanita yang melukai tangan-tangan mereka.
27. Disebutkan dalam kisah ini tentang keutamaan ilmu; ilmu syariat dan hukum. Ilmu tentang tafsir mimpi, pengawasan dan pendidikan ataupun politik. Nabi Yusuf u mendapatkan kemuliaan dunia dan akhirat adalah karena keluasan ilmunya. Dan di sini, ilmu tentang tafsir mimpi termasuk dalam rangkaian suatu fatwa. Sehingga tidak halal bagi siapapun untuk memastikan suatu tafsir mimpi sebelum dia betul-betul mengenal-nya. Sebagaimana tidak bolehnya berfatwa tentang suatu hukum tanpa ilmu. Dan Allah I menyebutkan pertanyaan tentang tafsir mimpi ini sebagai sebuah fatwa.
28. Tidak terlarang bagi seseorang untuk menyebutkan keutamaan yang ada pada dirinya, seperti ilmu atau yang lainnya, apabila pengakuan tersebut mengandung kemaslahatan dan bersih dari kebohongan serta bukan didasari oleh riya` (pamer, ingin dipuji). Juga karena adanya dalil dari perkataan Nabi Yusuf u dalam firman Allah I:
“Jadikanlah aku bendaharawan negara; sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)
Juga, suatu kekuasaan tidaklah dicela apabila orang yang memegang tugas tersebut melaksanakannya sesuai dengan kemampuannya menurut syariat, sehingga semua hak itu sampai kepada pemiliknya. Dan tidaklah berdosa mengharapkan tugas itu jika dia memang ahli dalam bidang itu dibanding yang lainnya. Namun yang tercela adalah jika tugas itu tidak sesuai dengan kemampuannya atau karena adanya orang lain yang sama atau lebih ahli daripada dirinya. Atau dia mengharapkan tugas itu bukan untuk menjalankan perintah Allah tapi menginginkan jabatan tinggi atau upah yang besar.
29. Sesungguhnya Allah Maha Luas Pemberian-Nya dan Maha Pemurah. Dia memberikan kebaikan dunia dan akhirat kepada hamba-Nya. Dan kebaikan akhirat hanya akan diperoleh melalui dua jalan, tidak ada yang ketiganya, yaitu beriman kepada semua yang diwajibkan oleh Allah I untuk diimani dan bertakwa, yang pengertiannya adalah menjalankan semua perintah syariat dan menjauhi semua larangan dalam syariat ini.
Dan kebaikan akhirat jauh lebih baik daripada pahala dunia dan kerajaan yang ada di dunia ini. Sehingga, hendaknya seorang hamba mengajak dirinya sendiri untuk rindu kepada pahala dari Allah I dan tidak membiarkan dirinya berduka cita ketika tidak mampu meraih kesenangan dunia dan kekuasaannya. Bahkan hendaknya dia menghibur dirinya dengan mengingatkannya akan pahala yang ada di akhirat, supaya terasa ringan baginya ketika dia tidak berhasil memperoleh bagian harta dunia ini. Sebagaimana firman Allah I yang menyebutkan tentang Nabi Yusuf u:
“Dan sesungguhnya pahala di akhirat itu lebih baik, bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa.” (Yusuf: 57)
30. Mengumpulkan rizki, apabila yang dikehendaki adalah untuk memperluasnya di antara manusia tanpa menimbulkan mudharat, bukanlah suatu dosa. Bahkan suatu hal yang sangat diharapkan. Karena Nabi Yusuf memerintahkan mereka mengambil rizki dan makanan pada tahun-tahun yang subur sebagai persiapan menghadapi masa-masa paceklik. Dan ternyata hal ini memberikan hasil yang sangat baik.
31. Baiknya pengelolaan beliau ketika menjadi bendaharawan negara Mesir. (Beliau mampu) membangkitkan bidang pertanian sehingga hasilnya berlimpah. Penduduk di sekitar Mesir berbondong-bondong menuju ke Mesir supaya menda-patkan perbekalan safar dari sana ketika apa yang ada pada mereka sudah habis karena mengetahui persediaannya yang cukup. Termasuk keadilan Nabi Yusuf adalah pengendalian dan kekhawatiran-nya akan tindakan para pedagang yang mempermain-kan keadaan ini, beliau tidak memberikan timbangan kepada siapapun kecuali menurut ukuran yang dibutuhkan atau kurang dari itu. Dan dia tidak memberikan tambahan kepada siapapun yang datang lebih dari berat beban seekor unta. Secara lahiriah, beliau tidak memberi-kan bagian kepada penduduk melainkan kurang dari itu dengan kehadiran mereka di hadapannya.
32. Disyariatkannya menjamu tamu. Dan termasuk sunnah para Rasul adalah memuliakan para tamu. Di samping itu juga karena ucapan Nabi Yusuf u dalam firman Allah I itu:
“Tidakkah kamu melihat bahwa aku menyempurnakan sukatan dan aku adalah sebaik-baik penerima tamu?” (Yusuf: 59)
33. Buruk sangka apabila disertai dengan qarinah (tanda-tanda pendukung) yang menunjukkan kepada dugaan itu, bukanlah sesuatu yang dilarang atau diharamkan. Karena Ya’qub u berkata kepada putera-puteranya, sebagaimana Allah I ceritakan:
“Bagaimana aku akan memercaya-kannya kepadamu, kecuali seperti aku telah memercayakan saudaranya kepada kamu sebelumnya?” (Yusuf: 64)
Dan firman Allah I:
“Bahkan kamu sendiri yang meman-dang baik perbuatan (buruk) itu.” (Yusuf: 83)
Pada akhirnya, meskipun mereka bukan orang-orang yang melampaui batas, namun telah melakukan sesuatu yang menyebabkan Ya’qub ayah mereka meng-ucapkan sesuatu. Tetapi beliau tidaklah menjadi tercela karenanya.
34. Menempuh suatu sebab atau cara untuk mencegah bahaya ‘ain atau hal-hal lain yang tidak disukai atau melenyapkannya sesudah menimpa seseorang, bukanlah suatu hal yang terlarang. Dan meskipun segala sesuatu itu tidak terjadi melainkan karena ketetapan dan takdir Allah I, maka sesungguhnya sebab-sebab itu adalah bagian dari ketetapan dan takdir Allah I. Hal ini seperti disebutkan oleh Nabi Ya’qub u dalam ayat:
“Hai anak-anakku janganlah kamu masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu yang berbeda-beda.” (Yusuf: 67)
35. Bolehnya melakukan taktik atau muslihat untuk memperoleh haknya. Dan mempunyai ilmu tentang suatu cara yang halus yang membawa kepada suatu tujuan tertentu termasuk keadaan yang terpuji. Adapun muslihat yang dijalankan untuk menggugurkan kewajiban atau melakukan perbuatan yang haram, jelas merupakan perkara yang diharamkan dan tidak boleh dijalankan.
36. Sepantasnya seseorang yang ingin menimbulkan keraguan bagi orang lain dengan suatu masalah yang dia tidak ingin menerangkannya, hendaklah dia mengguna-kan sindiran dengan ucapan atau perbuatan yang menghalanginya dari kebohongan. Seperti yang dilakukan Nabi Yusuf u ketika meletakkan piala raja di karung saudaranya. Kemudian dia mengeluarkannya seolah-olah saudaranya itu benar-benar mencurinya. Padahal sama sekali tidak ada bukti yang jelas bahwa saudaranya mencuri piala raja. Di sini beliau melakukan muslihat. Hal ini seperti juga dalam firman Allah I yang menyebutkan ucapan beliau:
“Aku memohon perlindungan kepada Allah daripada menahan seorang, kecuali orang yang kami ketemukan harta benda kami padanya.” (Yusuf: 79)
Dan beliau tidak mengatakan: “orang yang mencuri harta benda kami.” Dan tidak boleh menjadi saksi melainkan dalam hal-hal yang diketahui dan jelas bukti-buktinya dengan melihat atau mendengar, seperti perkataan mereka yang disebutkan dalam ayat:
“Dan kami tidak menjadi saksi melainkan dengan sesuatu yang telah kami ketahui.” (Yusuf: 81)
Dan firman Allah I:
“Kecuali yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka mengetahuinya.” (Az-Zukhruf: 86)
37. Ini adalah ujian besar yang Allah I berikan kepada Nabi dan hamba pilihan-Nya Ya’qub u. Allah I menetapkan perpisahan antara dia dengan Yusuf anaknya, padahal dia tidak sanggup berpisah sedetikpun dari puteranya ini. Dan perpisahan itu betul-betul menimbulkan dukacita yang hebat dalam diri beliau. Apalagi ternyata perpisahan itu terjadi bertahun-tahun lamanya. Sedangkan Nabi Ya’qub u tak henti-hentinya dirundung kesedihan.
Akhirnya kedua mata beliau memutih (buta) karena dukanya, namun beliau adalah seorang yang kuat menahan amarahnya. Kesedihan itu semakin bertam-bah dengan berpisahnya beliau dari putera-nya yang kedua sesudah Yusuf u. Dalam keadaan demikian, beliau tetap bersabar terhadap keputusan Allah I, mengharap pahala dari Allah I atas keadaan ini. Bahkan beliau telah menjanjikan bagi dirinya kesabaran yang indah. Tidak diragukan lagi bahwa beliau telah menyempurnakan janji tersebut. Semua ini tidaklah terhapus walau-pun beliau mengucapkan keluhan seperti dalam ayat:
“Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.” (Yusuf: 86)
Jadi, keluhan kepada Allah I tidaklah menghapus kesabaran seseorang. Yang menghapus kesabaran adalah apabila seseorang mengadukan keluhannya kepada makhluk. Dan tidak disangsikan lagi bahwa Allah I mengangkat beliau dengan ujian ini kepada derajat yang tinggi serta kedudukan yang mulia, yang tidak mungkin dapat dicapai melainkan dengan keadaan-keadaan seperti ini.
38. Sesungguhnya kelonggaran itu senantiasa ada bersama kesulitan. Tatkala kesulitan itu semakin bertumpuk dan se-orang manusia mera-sa berat menanggung-nya, tentu akan dile-paskan oleh Zat yang melepaskan segala kesulitan, menying-kap segala kegeli-sahan lagi mengabul-kan doa orang-orang yang terdesak. Ini adalah kebiasaan yang indah, terutama bagi para wali Allah I dan orang-orang pilihan-Nya agar lebih terasa dan lebih tinggi kedudukannya, serta agar lebih mengenal Allah dan mencintai-Nya, sehingga muncul keyakinan yang menjadi acuan untuk mengukur apa yang menimpa seseorang.
39. Bolehnya mengabarkan apa yang dirasakan kepada orang lain dengan cara yang tidak menunjukkan ketidakrelaan terhadap musibah yang dialami. Hal ini seperti ditunjukkan dalam ayat:
“Aduhai duka citaku terhadap Yusuf.” (Yusuf: 84)
Juga perkataan saudara-saudara Nabi Yusuf u:
“Kami dan keluarga kami telah ditimpa kesengsaraan.” (Yusuf: 88)
40. Keutamaan sifat takwa dan sabar. Sesungguhnya seluruh kebaikan dunia dan akhirat merupakan akibat yang ditimbulkan oleh ketakwaan dan kesabaran. Bahkan sesungguhnya kesudahan orang yang bertakwa dan bersabar adalah paling baik, sebagaimana disebutkan dalam ayat:
“Sesungguhnya Allah telah melimpah-kan karunia-Nya kepada kami. Sesungguhnya barangsiapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (Yusuf: 90)
41. Apabila seorang hamba menda-patkan kenikmatan setelah mengalami hal yang sebaliknya, hendaknya dia mengingat keadaan yang telah berlalu agar turunnya nikmat yang dirasakannya ini sangat besar bagi dirinya, sehingga bertambah banyak rasa syukurnya kepada Allah I. Oleh sebab itulah Nabi Yusuf u mengatakan, sebagai-mana firman Allah I:
“Dan sesungguhnya Rabbku telah ber-buat baik kepadaku, ketika Dia membebaskan aku dari penjara dan ketika membawa kalian dari dusun padang pasir, setelah setan merusak hubungan antara aku dan saudara-saudaraku.” (Yusuf: 100)
42. Kisah ini mengandung banyak hal yang halus dan lembut, yang akan meri-ngankan semua cobaan atau musibah. Di antaranya adalah mimpi Nabi Yusuf yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam mimpi tersebut terdapat sesuatu yang menyejukkan rohani dan kelembutan bagi Nabi Yusuf dan Nabi Ya’qub e. Juga berita gembira dengan terbuktinya tafsir mimpi itu. Dan kelembutan Allah I terhadap Nabi Yusuf ketika mewahyukan kepada beliau yang waktu itu berada di dasar sumur bahwa dia akan menceritakan kepada mereka perbu-atan tersebut, sedangkan mereka tidak mengingatnya lagi. Begitu juga peralihan beliau dari suatu keadaan kepada keadaan lainnya. Dan sungguh dalam semua kejadi-an ini, benar-benar terdapat kelembutan baik yang nyata maupun yang tersembunyi. Karena itu pula, beliau mengatakan pada akhirnya, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat:
“Sesungguhnya Rabbku, Maha Lembut terhadap apa yang Dia kehendaki.” (Yusuf: 100)
Allah I menunjukkan kelembutan-Nya kepada beliau dalam perkara batin dan dalam perkara yang lahiriah. Bahkan mengantarkan beliau kepada derajat yang paling tinggi dari arah yang tidak pernah beliau sadari.
43. Sesungguhnya, seorang hamba seharusnya selalu meminta dan berdoa kepada Rabbnya agar Dia mengokohkan imannya dan memberikan kebaikan kepa-danya dalam perjalanan akhir urusannya, serta menjadikan hari-harinya yang terbaik adalah yang berada di akhir hidupnya. Begitu juga hendaknya dia berdoa meminta agar Allah I menjadikan amalnya yang terbaik adalah yang penghabisan. Sesungguhnya Allah Maha Pemurah, Maha Pemberi lagi Maha Penyayang.
(Diambil dari Taisir Al-Lathifil Mannan fi Khulashah Tafsiril Qur`an, karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t)

No comments: