Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 036
(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi)Kisah-kisah agung dari Nabi Ibrahim q adalah peneguhan nyata akan tauhid. Ketaatan dan keimanan yang luar biasa kepada Allah l mewujud pada tindakan yang niscaya akan teramat berat ditunaikan manusia pada umumnya. Sebuah keteladanan yang mesti kita tangkap dan nyalakan dalam kehidupan kita.
Nabi Ibrahim q Seorang Teladan Yang Baik
Nabi Ibrahim q adalah seorang teladan yang baik. Perjalanan
hidupnya selalu berpijak di atas kebenaran dan tak pernah
meninggalkannya. Posisinya dalam agama amat tinggi (seorang imam) yang
selalu patuh kepada Allah l dengan mempersembahkan segala ibadahnya
hanya untuk-Nya semata. Beliau pun tak pernah lupa mensyukuri segala
nikmat dan karunia ilahi. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan
teladan lagi patuh kepada Allah dan selalu berpegang kepada kebenaran
serta tak pernah meninggalkannya (hanif). Dan sekali-kali bukanlah dia
termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah l. Dia pun selalu
mensyukuri nikmat-nikmat Allah.” (An-Nahl: 120-121)
Nabi Ibrahim q merupakan sosok pembawa panji-panji tauhid.
Perjalanan hidupnya yang panjang sarat dengan dakwah kepada tauhid dan
segala liku-likunya. Bahkan Allah l jadikan beliau sebagai teladan dalam
hal ini, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagi kalian pada
Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya; ketika mereka berkata kepada
kaumnya: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan apa yang
kalian sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian serta telah
nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian untuk
selama-lamanya, sampai kalian beriman kepada Allah saja. Kecuali
perkataan Ibrahim kepada bapaknya; ‘Sesungguhnya aku akan memohonkan
ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu
(siksaan) Allah’. (Ibrahim berkata): ‘Ya Rabb kami, hanya kepada
Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan
hanya kepada Engkaulah kami kembali. Ya Rabb kami, janganlah Engkau
jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir, dan ampunilah kami
ya Rabb kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (Al-Mumtahanah: 4-5)
Demikian pula, beliau selalu mengajak umatnya kepada jalan Allah l
serta mencegah mereka dari sikap taqlid buta terhadap ajaran sesat nenek
moyang. Allah l berfirman:
“(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya:
‘Patung-patung apakah ini yang kalian tekun beribadah kepadanya?’ Mereka
menjawab: ‘Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya.’ Ibrahim
berkata: ‘Sesungguhnya kalian dan bapak-bapak kalian berada dalam
kesesatan yang nyata.’ Mereka menjawab: ‘Apakah kamu datang kepada kami
dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang
bermain-main?’ Ibrahim berkata: ‘Sebenarnya Rabb kalian adalah Rabb
langit dan bumi, Yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang
yang bisa memberikan bukti atas yang demikian itu. Demi Allah,
sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhala
kalian sesudah kalian pergi meninggalkannya.’ Maka Ibrahim membuat
berhala-berhala itu hancur berkeping-keping kecuali yang terbesar
(induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk
bertanya) kepadanya.” (Al-Anbiya`: 52-58)
Allah l memilihnya, menunjukinya kepada jalan yang lurus, serta
mengaruniakan kepadanya segala kebaikan dunia dan akhirat. Allah l
berfirman:
“Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.
Dan Kami karuniakan kepadanya kebaikan di dunia dan sesungguhnya dia di
akhirat termasuk orang-orang yang shalih.” (An-Nahl: 121-122)
Bahkan Allah l mengangkatnya sebagai khalil (kekasih). Sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan Allah mengangkat Ibrahim sebagai kekasih.” (An-Nisa`: 125)
Dengan sekian keutamaan itulah, Allah l wahyukan kepada Nabi
Muhammad n untuk mengikuti agama beliau q. Sebagaimana firman Allah l:
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): ‘Ikutilah agama
Ibrahim seorang yang hanif.’ Dan dia bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Allah.” (An-Nahl: 123)
Demikianlah sekelumit tentang perjalanan hidup Nabi Ibrahim q dan
segala keutamaan yang Allah l karuniakan kepadanya. Barangsiapa
mempelajarinya dengan seksama (mentadabburinya) niscaya akan mendulang
mutiara hikmah dan pelajaran berharga darinya. Terkhusus pada sejumlah
momen di bulan Dzulhijjah yang hakikatnya tak bisa dipisahkan dari sosok
Nabi Ibrahim q.
Nabi Ibrahim q dan Beberapa Amalan Mulia di Bulan Dzulhijjah
Bulan Dzulhijjah merupakan salah satu bulan mulia dalam Islam.
Karena di dalamnya terdapat amalan-amalan mulia; shaum Arafah, haji ke
Baitullah, ibadah qurban, dan lain sebagainya, yang sebagiannya tidak
bisa dipisahkan dari sosok Nabi Ibrahim q. Di antara amalan mulia
tersebut adalah:
a) Haji ke Baitullah
Haji ke Baitullah merupakan ibadah yang sangat mulia dalam agama
Islam. Kemuliaannya nan tinggi memosisikannya sebagai salah satu dari
lima rukun Islam. Rasulullah n bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ،
وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصِيَامِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ الْبَيْتِ
“Agama Islam dibangun di atas lima perkara; bersyahadat bahwasanya
tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah l dan beliau Muhammad itu
utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, shaum di bulan
Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah.” (HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim
no.16, dari sahabat Abdullah bin Umar c)
Ibadah haji yang mulia ini tidaklah bisa dipisahkan dari sosok Nabi
Ibrahim q. Terlebih tatkala kita menyaksikan jutaan umat manusia yang
datang berbondong-bondong dari segenap penjuru yang jauh menuju
Baitullah, menyambut panggilan ilahi dengan lantunan talbiyah:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْـمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ
لَكَ
“Kusambut panggilan-Mu Ya Allah, kusambut panggilan-Mu tiada sekutu
bagi-Mu, kusambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian, nikmat, dan
kerajaan hanyalah milik-Mu tiada sekutu bagi-Mu.”
Hal ini mengingatkan kita akan firman Allah l:
“Dan berserulah (wahai Ibrahim) kepada manusia untuk mengerjakan
haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan
mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,
supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka.” (Al-Hajj:
27-28)
Asy-Syaikh Abdullah Al-Bassam berkata: “Ibadah haji mempunyai
hikmah yang besar, mengandung rahasia yang tinggi serta tujuan yang
mulia, dari kebaikan duniawi dan ukhrawi. Sebagaimana yang dikandung
firman Allah l:
“Untuk menyaksikan segala yang bermanfaat bagi mereka.” (Al-Hajj: 28)
Haji merupakan momen pertemuan akbar bagi umat Islam seluruh dunia.
Allah l pertemukan mereka semua di waktu dan tempat yang sama. Sehingga
terjalinlah suatu perkenalan, kedekatan, dan saling merasakan satu
dengan sesamanya, yang dapat membuahkan kuatnya tali persatuan umat
Islam, serta terwujudnya kemanfaatan bagi urusan agama dan dunia
mereka.” (Taudhihul Ahkam, juz 4 hal. 4)
Lebih dari itu, ibadah haji mempunyai banyak hikmah dan pelajaran
penting yang apabila digali rahasianya maka sangat terkait dengan agama
dan sosok Nabi Ibrahim q, baik dalam hal keimanan, ibadah, muamalah, dan
akhlak yang mulia. Di antara hikmah dan pelajaran penting tersebut
adalah:
1. Perwujudan tauhid yang murni dari noda-noda kesyirikan dalam hati sanubari, manakala para jamaah haji bertalbiyah.
2. Pendidikan hati untuk senantiasa khusyu’, tawadhu’, dan
penghambaan diri kepada Rabbul ‘Alamin, ketika melakukan thawaf, wukuf
di Arafah, serta amalan haji lainnya.
3. Pembersihan jiwa untuk senantiasa ikhlas dan bersyukur kepada Allah l, ketika menyembelih hewan qurban di hari-hari haji.
4. Kepatuhan dalam menjalankan ketaatan kepada Allah l dan
Rasul-Nya tanpa diiringi rasa berat hati, ketika mencium Hajar Aswad dan
mengusap Rukun Yamani.
5. Tumbuhnya kebersamaan hati dan jiwa ketika berada di
tengah-tengah saudara-saudara seiman dari seluruh penjuru dunia, dengan
pakaian yang sama, berada di tempat yang sama, serta menunaikan amalan
yang sama pula (haji). (Lihat Durus ‘Aqadiyyah Mustafadah Min Al-hajj)
b) Menyembelih Hewan Qurban
Menyembelih hewan qurban pada hari raya Idul Adha (tanggal 10
Dzulhijjah) dan hari-hari tasyriq (tanggal 11,12, 13 Dzulhijjah)
merupakan amalan mulia dalam agama Islam. Di antara bukti kemuliaannya
adalah bahwa Rasulullah n senantiasa melakukannya semenjak berada di
kota Madinah hingga wafatnya. Sebagaimana yang diberitakan sahabat
Abdullah bin Umar c:
أَقَامَ النَّبِيُّ n بِالْـمَدِيْنَةِ عَشْرَ سِنِيْنَ يُضَحِّي
“Nabi n selama sepuluh tahun tinggal di kota Madinah senantiasa
menyembelih hewan qurban.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, dia -At-Tirmidzi-
berkata: ‘Hadits ini hasan’)
Penyembelihan hewan qurban, bila dirunut sejarahnya, juga tidak
lepas dari sosok Nabi Ibrahim q dan putra beliau Nabi Ismail q.
Sebagaimana yang Allah l beritakan dalam kitab suci Al-Qur`an:
“Maka tatkala anak itu (Ismail) telah sampai (pada umur sanggup)
untuk berusaha bersama-sama Ibrahim, berkatalah Ibrahim: ‘Hai anakku,
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka
pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Hai bapakku, lakukanlah apa
yang diperintahkan kepadamu, insyaallah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar.’
Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim telah membaringkan
anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami
panggillah dia: ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi
itu,’ sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang
yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.
Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami
abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang
yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’.”
(Ash-Shaffat: 102-109)
Demikianlah sosok Ibrahim, yang senantiasa patuh terhadap segala
sesuatu yang Allah l perintahkan kepadanya walaupun berkaitan dengan
diri sang anak yang amat dicintainya. Tak ada keraguan sedikit pun dalam
hatinya untuk menjalankan perintah tersebut. Ini tentunya menjadi
teladan mulia bagi kita semua, dalam hal ketaatan kepada Allah l.
Nabi Ibrahim q dan Para Da’i (Pegiat Dakwah)
Perjalanan hidup Nabi Ibrahim q mengandung banyak pelajaran
berharga bagi para da’i. Di antara pelajaran berharga tersebut adalah:
a) Para da’i hendaknya membangun dakwah yang diembannya di atas
ilmu syar’i. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan Nabi Ibrahim q ketika
mendakwahi ayahnya (dan juga kaumnya):
“Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian dari
ilmu yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan
menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (Maryam: 43)
Dan demikianlah sesungguhnya jalan dakwah yang ditempuh Rasulullah n, sang uswatun hasanah. Sebagaimana firman Allah l:
“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Inilah jalanku, aku berdakwah di jalan
Allah di atas ilmu, demikian pula orang-orang yang mengikuti jejakku.
Maha Suci Allah dan aku tidaklah termasuk orang-orang musyrik’.” (Yusuf:
108)
b) Para da’i hendaknya berupaya menyampaikan kebenaran yang
diketahuinya secara utuh kepada umat, serta memperingatkan mereka dari
segala bentuk kebatilan dan para pengusungnya. Kemudian bersabar dengan
segala konsekuensi yang dihadapinya. Hal ini sebagaimana yang
difirmankan Allah l tentang Nabi Ibrahim q:
“Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya:
‘Beribadahlah kalian kepada Allah semata dan bertaqwalah kalian
kepada-Nya. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mau
mengetahui. Sesungguhnya apa yang kalian ibadahi selain Allah itu adalah
berhala, dan kalian telah membuat dusta. Sesungguhnya yang kalian
ibadahi selain Allah itu tidak mampu memberi rizki kepada kalian, maka
mintalah rizki itu dari sisi Allah dan beribadahlah hanya kepada-Nya
serta bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya lah kalian akan
dikembalikan. Dan jika kalian mendustakan, maka umat sebelum kalian juga
telah mendustakan dan kewajiban Rasul itu hanyalah menyampaikan (agama
Allah) dengan seterang-terangnya.” (Al-‘Ankabut: 16-18)
Nabi Ibrahim q pun tetap bersabar dan istiqamah di atas jalan
dakwah manakala umatnya melancarkan segala bentuk penentangan dan
permusuhan terhadapnya, sebagaimana firman Allah l:
“Maka tidak ada lagi jawaban kaum Ibrahim selain mengatakan:
‘Bunuhlah atau bakarlah dia!’, lalu Allah menyelamatkannya dari api
(yang membakarnya). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman.”
(Al-‘Ankabut: 24)
Demikian pula Nabi besar Muhammad n, perjalanan dakwah beliau merupakan simbol kesabaran di alam semesta ini.
Sosok Nabi Ibrahim q merupakan teladan bagi para da’i secara khusus
dan masing-masing individu secara umum dalam hal kepedulian terhadap
kondisi umat dan negeri. Hal ini sebagaimana yang tergambar pada
kandungan doa Nabi Ibrahim yang Allah l abadikan dalam Al-Qur`an:
“Wahai Rabb-ku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa dan
berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di
antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” (Al-Baqarah: 126)
Nabi Ibrahim q dan Para Orangtua
Perjalanan hidup Nabi Ibrahim q, merupakan cermin bagi para
orangtua dalam perkara pendidikan dan agama anak cucu mereka. Allah l
berfirman:
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan kalimat itu kepada anak-anaknya,
demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): ‘Hai anak-anakku, sesungguhnya
Allah telah memilihkan agama ini bagi kalian, maka janganlah sekali-kali
kalian mati kecuali dalam keadaan memeluk agama Islam’.” (Al-Baqarah:
132)
Bahkan Nabi Ibrahim q tak segan-segan berdoa dan memohon kepada
Allah l untuk keshalihan anak cucunya, sebagaimana yang Allah l abadikan
dalam Al-Qur`an:
“Wahai Rabb-ku, jadikanlah negeri ini (Makkah) negeri yang aman,
dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari perbuatan menyembah
berhala.” (Ibrahim: 35)
“Wahai Rabbku, jadikanlah aku beserta anak cucuku orang-orang yang
selalu mendirikan shalat. Wahai Rabb kami, kabulkanlah doaku.” (Ibrahim:
40)
Setiap orangtua mengemban amanat besar untuk menjaga anak cucu dan
keluarganya dari adzab api neraka. Sehingga dia harus memerhatikan
pendidikan, agama dan ibadah mereka. Sungguh keliru, ketika orangtua
acuh tak acuh terhadap kondisi anak-anaknya. Yang selalu diperhatikan
justru kondisi fisik dan kesehatannya, sementara perkara agama dan
ibadahnya diabaikan. Ingatlah akan seruan Allah l:
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari adzab api neraka.” (At-Tahrim: 6)
Nabi Ibrahim q dan Para Anak
Perjalanan hidup Nabi Ibrahim q juga mengandung pelajaran berharga
bagi para anak, karena beliau adalah seorang anak yang amat berbakti
kepada kedua orangtuanya serta selalu menyampaikan kebenaran kepada
mereka dengan cara yang terbaik. Allah l berfirman:
“Ingatlah ketika ia (Ibrahim) berkata kepada bapaknya: ‘Wahai
bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tiada dapat mendengar,
tiada pula dapat melihat dan menolongmu sedikitpun? Wahai bapakku,
sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian dari ilmu yang tidak datang
kepadamu. Maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan
yang lurus. Wahai bapakku, janganlah menyembah setan, sesungguhnya
setan itu durhaka kepada Allah Dzat Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku,
sesungguhnya aku khawatir bahwa engkau akan ditimpa adzab dari Allah
Dzat Yang Maha Pemurah, maka engkau akan menjadi kawan bagi setan.”
(Maryam: 42-45)
Ketika sang bapak menyikapinya dengan keras, seraya mengatakan (sebagaimana dalam ayat):
“Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak
berhenti (dari menasihatiku) niscaya kamu akan kurajam! Dan
tinggalkanlah aku dalam waktu yang lama.” (Maryam: 46)
Maka dengan tabahnya Ibrahim q menjawab:
“Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun
bagimu kepada Rabb-ku, sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (Maryam:
47)
Demikianlah seyogianya seorang anak kepada orangtuanya, selalu
berupaya memberikan yang terbaik di masa hidupnya serta selalu
mendoakannya di masa hidup dan juga sepeninggalnya.
Nabi Ibrahim q dan Para Suami-Istri
Perjalanan hidup Nabi Ibrahim q juga mengandung pelajaran berharga
bagi para suami-istri, agar selalu membina kehidupan rumah tangganya di
atas ridha Allah l. Hal ini tercermin dari dialog antara Nabi Ibrahim q
dengan istrinya yang bernama Hajar, ketika Nabi Ibrahim membawanya
beserta anaknya ke kota Makkah (yang masih tandus dan belum berpenghuni)
atas perintah Allah l.
Diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas c, beliau berkata: “Kemudian
Ibrahim membawa Hajar dan sang putra Ismail –dalam usia susuan– menuju
Makkah dan ditempatkan di dekat pohon besar, di atas (bakal/calon) sumur
Zamzam di lokasi (bakal) Masjidil Haram. Ketika itu Makkah belum
berpenghuni dan tidak memiliki sumber air. Maka Ibrahim menyiapkan satu
bungkus kurma dan satu qirbah/kantong air, kemudian ditinggallah
keduanya oleh Ibrahim di tempat tersebut. Hajar, ibu Ismail pun
mengikutinya seraya mengatakan: ‘Wahai Ibrahim, hendak pergi kemana
engkau, apakah engkau akan meninggalkan kami di lembah yang tak
berpenghuni ini?’ Dia ulang kata-kata tersebut, namun Ibrahim tidak
menoleh kepadanya. Hingga berkatalah Hajar: ‘Apakah Allah yang
memerintahkanmu berbuat seperti ini?’ Ibrahim menjawab: ‘Ya.’ Maka
(dengan serta-merta) Hajar mengatakan: ‘Kalau begitu Dia (Allah) tidak
akan menyengsarakan kami.’ Kemudian Hajar kembali ke tempatnya semula.”
(Lihat Shahih Al-Bukhari, no. 3364)
Atas dasar itulah, seorang suami harus berupaya membina istrinya
dan menjaganya dari adzab api neraka. Demikian pula sang istri,
hendaknya mendukung segala amal shalih yang dilakukan suaminya, serta
mengingatkannya bila terjatuh dalam kemungkaran.
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah l, demikianlah mutiara
hikmah dan pelajaran berharga dari perjalanan hidup Nabi Ibrahim q yang
menyentuh beberapa elemen penting dari masyarakat kita. Semoga kilauan
mutiara hikmah tersebut dapat menyinari perjalanan hidup kita semua,
sehingga tampak jelas segala jalan yang mengantarkan kepada Jannah-Nya.
Amin ya Rabbal ‘Alamin….
No comments:
Post a Comment